Selalu ada gidik roma untuk setiap nama kiamat. Huru Hara Akhir Zaman? Best
seller. Produk-produk lain pun telah bernasib (mirip) sama: Dajjal dan Segitiga
Bermuda, Jesus Will Return, The Day After Tomorrow, Armageddon. Isu akhir zaman
merk dagang yang menjanjikan. Untuk film, untuk buku. Laris manis ditonton,
dibaca, diresapi orang-orang.
Uang bukan selalu momok alasan. Saya
yakin, ada sense lebih bila bicara hal ini. Dooms Day sudah diprediksi sejak
dulu: era kerasulan, analisa para ilmuwan sampai peramal-peramal ilmu setan tak
jelas. Headline yang (seringkali) berhasil menyedot perhatian massa dalam jumlah
besar. Tentu saja. Bermain-main dengan apa yang manusia pikirkan selalu menarik:
ketakutan, harapan, ingin tahu. Berdoa semoga saja kiamat masih jauh.
Semoga saja kita sudah mati sebelum itu terjadi. Kiamat: Ya, Allah,
semoga masih satu abad lagi!
Aneka ria reaksi meletup, bermunculan.
Macam-macam, tapi satu keyakinan: manusia tidak siap kehidupannya diganggu
jeritan sangkakala. Sangkakala yang akan berbunyi begitu tiba-tiba: saat
manusia-manusia berani berzina di pinggir jalan tanpa malu seperti sepasang
keledai. Hidup dunia terasa sangat nyaman; bokek maupun tidak bokek--hey, kenapa
bisa begitu sih? Semua orang lalu beramai-ramai melupakan kiamat bila mendengar
siapapun bicara kiamat. Sangat takut. Betul kecut.
Membayangkannya saja
kerut: gunung-gunung dihambur-hamburkan, langit pecah retak, bumi berguncang
luar biasa richter, asap merah berembus, manusia-manusia memutus pita suara
mereka dengan berteriak minta tolong--mencari perlindungan yang mungkin juga
tengah berteriak mencari perlindungan. Belum lagi bicara hari kebangkitan, hari
perhitungan, hari lewati jembatan rambut tujuh belahan: berpenampang neraka yang
apinya berwarna-warna: merah, hitam, putih (karena telah Allah siapkan demikian
lamanya).
Saya sama seperti orang-orang: takut, ngeri. Apa jadinya bila
saya mengalami itu semua? Apa saya siap? Apa saya mampu? Apa saya akan selamat?!
Blep. Kosong. Saya tidak punya jawaban. Saya kasihan terhadap diri saya
sendiri, dan semua orang; kita. Kita yang cuma mampu menduga-duga nasib kelak di
kampung akhirat. Mungkin begini, mungkin begitu. Astaga, siapa sih yang tidak
bergetar memikirkan itu semua?! Abu Bakar saja menangis. Rasul saja menangis.
Kita? Hoho, ada yang terlalu angkuh untuk melakoni itu semua. Padahal tidak ada
jaminan sedikitpun dari Allah, layaknya Nabi Muhammad atau assabiqunal awwalun.
Ibadah sedikit, sering tidak khusyuk. Sholat bertabur riya dalam setiap ruku
sujud tuma'ninahnya. Sekalinya ikhlas, dirusak dengan menceritakannya pada
orang-orang; serta tidak lupa busungkan dada, berharap terlihat gagah dan
sholeh/ah. Pelit sedekah, gampang marah-marah. Enggan ukir prassati kebajikan,
bahkan untuk diri sendiri.
Kalau sudah demikian, jawablah dengan
lantang: atas alasan yang mana kita harus masuk surga? Jangan katakan Allah
tidak menciptakan neraka untuk kita. Ah, tidakkah kalian tahu jika itu mungkin
saja? Mungkin, neraka memang diciptakan untuk membakar kita. Menghanguskan,
mendebukan jasad kita--tulang jadi debu, darah jadi debu; habis. Disiksa air
mendidih, disembelih parang besar milik malaikat berwajah garang--yang bahkan
berwajah masam pada Rasulullah. Tidakkah itu menakutkan? Tidakkah itu sedikit
saja membuat kita berpikir untuk menyudahi kepura-puraan kita? Bersandiwara
seolah amnesia, seolah lupa nyawa kita akan berakhir di liang kuburan dan
dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkannya.
Mungkin,
kebaikan-kebaikan yang kita lakukan tidak akan membawa kita terbang melewati
neraka. Mungkin tidak akan cukup untuk membayar tiket ke surga. Malah, bisa
saja, kebaikan itu yang menyeret kita ke bibir jurang nestapa dan melemparkan
kita ke dalamnya. Skeptis memang, tapi itulah masa depan.
Akhirat masih
misteri untuk seluruh makhluk hidup. Segalanya bisa saja terjadi.
Penyeru-penyeru dakwah bernasib sial. Pendosa-pendosa melenggang lintasi gerbang
kesyahduan; surga yang belum pernah dilihat manusia sebelumnya. Segala
tergantung Allah, Rabb penguasa alam--yang menggenggamnya dengan tiada kepayahan
sezarrah saja. Yang tahu setiap hati, yang tahu setiap niat yang terbersit.
Segalanya masih teka-teki. Akhir hidup kita, ujung nyawa kita. Saya kira benar
dugaan saya: saya dan Anda belum tentu masuk surga. Mungkin... malah sebaliknya.
Silahkan ketakutan. Silahkan menggigil sampai gila.
Hanya ada dua
pilihan: surga atau neraka. Kita akan berakhir di salah satunya. Selamanya
meneguk kenikmatan atau menangis sepanjang waktu, yang pedihnya tiada berujung
lagi sesudah itu.
Ada baiknya mulai sekarang kita bersujud. Mengingat
Allah sepenuhnya. Mohon ampun dan berazzam jadi hamba yang tawakkal. Ada baiknya
kita juga saling mendoakan. Saling menyelamatkan. Atas nama cinta, atas nama
kasih sayang. Sebab Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang. Yang memiliki ampunan
dan cinta lebih besar dari angkara-Nya terhadap kezaliman. Dia menyukai
orang-orang yang berbuat baik, yang menebar kebaikan. Orang-orang yang merelakan
harta, jiwa, dan tenaganya guna membela dien-Nya. Orang-orang yang tahu apa itu
ukhuwah dan menyemainya di hati peradaban. Bukankah risalah telah mengatakan:
ridho Allah membentang pada manusia yang saling mencintai karena-Nya?
Tengadahkan tangan, dan mulailah rangkai munajat. Saat sholat, setiap
ingat. Untuk saudara-saudara kita. Agar selamat dunia, agar selamat akhirat.
Cepat. Jangan ditunda-tunda, sebab tak ada cukup dalih untuk menunda-nunda. Para
ustadz sudah berceramah. Tanda-tanda zaman telah gamblang berkomentar: wanita
lebih banyak dari pria, para gembala berlomba membangun gedung-gedung pencakar
langit, AIDS-sindrom/penyakit yang belum pernah ditemui pada masa sebelum ini
dan tiada obatnya. Saya mohon... jangan tunggu Dajjal muncul lebih cepat dan
mengatakan kalau kiamat itu sudah dekat.
Asa Mulchias
[asamulchias at
yahoo dot com]
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar