Ada dua pokok topik pembicaraan yang umumnya digemari remaja. Pertama bagaimana
kelak, dimasa depan, mendapatkan pekerjaan atau kedudukan yang enak, dan yang
kedua bagaimana bisa memperoleh harta yang banyak. Lumrah kan? Ya! Karena hampir
setiap orangtua, dengan bangganya selagi putera-puteri mereka masih kecil,
pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, sebagai contoh, “Anak mama besok mau
jadi apa? Dokter ya?” sebuah paparan ideal. Pokoknya kalau tidak jadi dokter,
ya...insinyur. Padahal mereka tidak menyadari bahwa kedua profesi tersebut,
untuk saat ini, tidak sedikit yang berpredikat, maaf, pengangguran.
Ceritera lama kah ungkapan tersebut diatas? Tidak juga! Meski banyak
lulusan kedokteran yang pada akhirnya tidak kerja, ataupun insinyur yang
akhirnya jadi buruh pabrik, kedua profesi itu di sebagian besar belahan bumi
lain tetap menjadi profesi yang bergengsi. Hal ini disebabkan, menyandang gelar
sebagai dokter atau insinyur identik dengan kemapaman secara sosial dan
finansial. Jarang sekali orangtua yang memimpikan anaknya kelak, misalnya, jadi
‘imam besar’, atau cendekiawan Islam, meski yang satu ini tidak boleh dikatakan
bahwa secara finansial nanti akan lebih rendah dibanding kedua profesi dokter
atau insinyur. Di negara-negara Arab misalnya, jangankan menjadi seorang imam
masjid, cukup jadi muadzin nya saja bisa hidup ‘enak’! Jadi yang berada di jalur
madarasah, jangan berkecil hati!
Tapi teman saya yang satu ini, Salimin,
memang lain. Maklum orang desa, yang murni lugu dalam menyikapi kehidupan. Itu
terjadi dua puluh tahun lalu, ketika kami masih di bangku sekolah lanjutan atas.
Kami biasa omong-omong kosong di sore hari, sambil menunggu saat Maghrib tiba.
Desa kami agak masuk sekitar satu kilometer dari jalan raya utama di pesisir
pantai Laut Jawa, atau daerah Pantura (Pantai Utara) orang mengistilahkan. Pagi
dan sore hari banyak orang-orang dari desa kami yang mayoritas nelayan,
berlalu-lalang melewati jalan makadam tersebut. Obrolan kami tidak berfokus,
kesana-kemari, tapi tidak membicarakan kejelekan orang lain.
Ditengah-tengah obrolan tentang orang-orang yang ‘berseliweran’ di depan
mata kami, Salimin, entah apa yang mendorongnya, tiba-tiba berucap: “Jika suatu
saat nanti aku punya sepeda motor, akan aku bonceng orang-orang yang mau ke
jalan raya sana!”.
Saya tidak pernah menganggap pembicaraannya serius.
Layaknya remaja lain, yang suka ‘menggombal’, walaupun Salimin tidak bisa saya
samakan dengan mereka. Salimin amat sederhana. Dari keluarga kurang mampu. Untuk
melanjutkan sekolah saja saya tidak terlalu optimis akan bisa dilakukan. Tanpa
bermaksud merendahkannya, barangkali yang paling mungkin waktu itu adalah
meneruskan profesi ayahnya sebagai pelayan, bertani garam, atau menjual ikan ke
kota.
Sebagian masyarakat kami berlayar mencari ikan. Sebagian lagi
mengolah garam. Taraf sosial ekonomi mereka tidak bisa dibilang cukup, namun
juga tidaklah kekurangan. Sehari-hari hanya dunia bisnis laut itulah yang kami
lakukakan. Saya sendiri tidak terlalu paham dengan kedalaman nilai-nilai Islam
waktu itu. Wayang dan minuman keras adalah sebagian dari hiburan sebagian
masyarakat kami. Saya tidak bisa menyalahkan mereka. Bagaimana saya mau
menyalahkan kalau saya tidak punya modal sama sekali tentang apa-apa yang harus
saya sampaikan. Demikian pula dengan angan-angan Salimin barangkali. Pemuda
semacam Salimin merupakan sosok langka di desa kami. Jumlah musholah yang hanya
dua buah di desa kami, hanya dikunjungi oleh orang-orang disekitar musholah
saja, termasuk si Salimin.
Benar apa yang menjadi dugaan saya. Selepas
SLTA, Salimin tidak mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi
lagi. Saya agak beruntung. Belum tergolong kaya, namun dengan bekerja sebagai
guru SD, Bapak saya masih mampu untuk membeayai kuliah saya yang setingkat
program diploma tiga. Alhamdulillah.
Sejak saat itulah hubungan kami,
saya dan Salimin, ‘terputus’. Hubungan kami memang tidak terlalu dekat
sebenarnya. Hanya kesempatan-kesempatan seperti halnya obrolan menjelang Maghrib
sebagaimana yang saya kemukakan diatas, yang membuat kami bisa, boleh dikatakan,
melahirkan rasa persaudaraan sesama muslim.
Tahun-tahun berikutnya
membuat saya ‘beda’. Ya! Beda karena lingkungan tempat saya tinggal, belajar,
berteman, semuanya amat berpengaruh terhadap perkembangan saya baik sebagai
pribadi maupun anggota masyarakat dikemudian hari. Apalagi sesudah saya bekerja,
juga dituntut untuk memenuhi tuntutan perkembangan sebagai anggota profesi.
Tentu saja waktu-waktu yang tersita untuk pemenuhan kehidupan saya sebagai
kombinasi ‘ketiga makhluk’ tersebut, yaitu pribadi, profesi dan anggota
masyarakat’, membuat saya tidak lagi larut dalam kehidupan saya sebagaimana di
desa waktu itu. Salimin pun tidak lagi pernah saya temui. Musholah dekat rumah
kami juga paling banter hanya bisa saya kunjungi sebulan sekali, karena saya
tidak lagi tinggal di desa yang sama. Urban ke kota.
Dua puluh tahun
sudah berlalu. Tidak terasa sama sekali. Beberapa kali saya berganti pekerjaan.
Dari kota satu ke lainnya hingga ke luar negeri. Komunikasi dengan keluarga
hanya bisa saya lakukan lewat surat. Ditengah banjirnya sarana telekomunikasi
dan komputerisasi, sayangnya desa kami tetap tertinggal. Listrik meski sudah
masuk, tapi hanya beberapa tahun terakhir ini saja. Telepon belum bisa sambung
sampai ke desa. Padahal jarak ke jalan raya tidak terlalu jauh. Telepon genggam
juga suaranya tidak begitu jelas di daerah kami. Singkatnya, desa kami masih
tetap ketinggalan. Dari dulu hingga sekarang tidak berubah: nelayan,ikan dan
garam! Itulah kehidupan kami, meski sudah dua puluh tahun silam saya
meninggalkannya, kondisinya sama!
Setiap tahun saya pulang ke desa.
Namanya juga ketinggalan! Biar semaju apapun yang saya temui kehidupan di luar
negeri, saya tetap prihatin juga melihat kehidupan sebagian teman-teman yang
masih tetap menggeluti ketiga dunia yang saya sebutkan diatas. Sayangnya setiap
saya pulang, karena suatu dan lain hal, tidak selalu bisa ketemu dengan Salimin.
Sebenarnya tidak ada niat untuk melupakan, tapi entah kenapa yang namanya upaya
mengingatnya juga tidak ada. Wallahu’alam! Bisa saja karena, yang namanya kami
sekeluarga yang jarang ketemu, apalagi teman-teman selama kuliah dan kerja dulu
juga rasanya ‘menuntut’ untuk ditemui. Jadi, itulah, nama Salimin tidak pernah
tercantum dalam ‘agenda’ liburan saya. Hingga suatu hari.....
Saya heran,
sekalipun para nelayan desa kami memberikan sumbangsih yang tidak sedikit buat
kemajuan negeri ini, dengan ikan dan garam, tetapi jalan raya masuk ke desa kami
tidak pernah becus bangunannya. Dua puluh tahun sudah berlalu, masih juga tetap
‘makadam’ saja. Memang yang sekarang ini sudah beraspal, tapi ya... itu....
Maksudnya, biar aspal, tapi tetap makadam. Dengan kata lain, aspal ternyata
tidak membuat jalan jadi mulus, alias tetap geronjalan. Jadi apa
bedanya?
Orang kita kadang aneh!
Ditengah jumlah populasi desa
yang membengkak dan krisis ekonomi, alhamdulillah semakin banyak ternyata jumlah
penduduk desa kami yang memiliki sepeda motor. Saya kalau sedang pulang biasanya
juga meminjam kendaraan bermotor milik kakak atau Pak Lik yang kebetulan
punya.
Suatu hari ketika saya sedang mengendarai sepeda motor, dari rumah
ke jalan raya utama, kebetulan di dekat rumah ada seorang ibu yang mungkin saja
sedang menunggu Ojek, atau apa, saya tidak terlalu perhatian. Saya mengenalnya.
Saya sempat pula menyapanya, tidak lama, karena saya sedang berada diatas sepeda
motor, boncengan bersama adik saya. Kemudian saya pamit padanya untuk meluncur
duluan. Ibu tersebut mengiyakan.
Saya terkejut sekali ketika sesampai di
mulut jalan raya, kok ibu tersebut sudah berada duluan di depan saya. Ketika
saya tanya kepada beliau bagaimana bisa sampai datang duluan, dijawabnya “Saya
diboceng Pak Salimin, imam musholah kami!”
Byaaarrr.....! Ingatan saya
seperti dihantam halilintar untuk menengok kembali apa yang dulu pernah kami,
saya dan Salimin bicarakan. Bahwa kelak jika dia punya sepeda motor, dia akan
antarkan orang-orang desa menuju jalan raya sana. Saya yakin ini bukan suatu
kebetulan!
Subhanallah. Salimin. Saya tidak pernah menyangka bahwa apa
yang dikemukakan kepada saya dulu bukan omong kosong. Tidak sekedar basa-basi
dan tanpa makna. Salimin yang dulu ternyata sama dengan yang sekarang saya
temui, apalagi dia menduduki posisi lebih mulia kali ini, imam masjid.
Saya sadar bahwa ditengah arus globalisasi ini orang sudah banyak yang
mulai enggan perhatian terhadap nasib yang menimpa sesamanya kecuali jika
memberikan keuntungan. Artinya, setiap kebaikan yang dilakukan sebagian besar
umat manusia yang katanya moderen ini, lebih bersifat ‘riya’, alias bermakna
ganda. Kita hanya mau melakukan kebaikan karena mengharapkan imbalan.
Apa yang dilakukan Salimin benar-benar menggugah kesadaranku. Salimin
memiliki kepedulian yang tidak banyak dimiliki oleh sebagian besar umat manusia.
Salimin telah mengajarkan sebuah kebajikan yang kemudian diimplementasikan dan
menghasilkan produk yang bagi sementara orang nampaknya simpel sekali. Padahal
tidak!
Kebanyakan kita memang hanya pandai membuat janji, tapi tidak
cukup pandai untuk menepatinya. Dan, kebanyakan kita hanya pintar berangan-angan
hanya selagi dilanda kemiskinan. Tapi bukan bagi Salimin, sosok
kebanyakan.
Syaifoel Hardy
shardy@emirates.net.ae
Artikel ini
diilhami oleh ceramah Sdr. Noor Hadi di Ajman, UAE 12/3/2004.
sumber
: eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar