Hidup ini hanya curahan rahmat, kasih sayang dan bukti kecintaan Allah kepada
hamba-Nya. Betapapun keadaannya. Bagaimanapunkondisinya. Setiap sis, dinding,
celah dan rongga kehidupan ini sepenuhnya tak ada yang kosong dari kemurahan dan
kasih sayang Allah SWT. Kita memang tak punya modal atau andil apapun dalam
kehidupan ini. Karenanya, bersyukur dan berterima kasihlah pada Allah atas
semuanya.
Kalaupun ada amal-amal kebaikan yang kitalakukan dalam hitup,
itu juga tak pernah lepas dari karunia Allah dan dengan pertolongan-Nya. Karena
kita pasti beramal dengan pendengaran, penglihatan, pikiran, kekuatan,
kesehatan, anggota tubuh, yang semuanya semata-mata adalah nikmat dan karunia
Allah. Pantas dan sangat agung sekali perkataan Ahli surga yang dikutip Al
Qur`an: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini."
(QS. Al A'raf : 43). Mereka bersyukur pada Allah yang telah membimbing mereka
melakukan amal-amnal shalih dan memasukkan mereka ke dalam kenikmatan surga yang
abadi.
Karena itu saudaraku, Jangan pernah puas beramal. Jangan pernah
berhenti beramal karena menengok dan menghitung amal dan ketaatan yang telah
kita lakukan. Karena memperhatikan amal-amal kebaikan bisa menumbuhkan perasaan
cukup dan kemudian menjadikan kita merasa puas. Padahal rasa puas itulah yang
akan melemahkan semangat dan menghancurkan nilai-nilai amal itu sendiri.
Ingatlah, kita tidak pernah tahu nilai dan kualitas amal itu di hadapan Allah
SWT. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah perah menyinggung masalah ini. Katanya,
setiap amal baik yang dilakukan, pasti ada bagian dari nafsu dan syetan di
dalamnya. Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah SAW saat ia ditanya mengenai
orang yang menoleh ke arah lain dalam shalatnya. Kemudian Rasul menjawab, "Itu
adalah rampasan yang dilakukan syetan terhadap shalat seseorang..." (HR Bukhari,
Abu Daud, Nasai dan Al Hakim). Ibnu Mas'ud mengomentari hadits ini dengan
mengatakan, "Bagian kecil dan sedikit itu dianggap sebagai keuntungan dan andil
bagi syetan terhadap sholat seseorang. Bagaimana dengan amal-amal yang lainnya?"
Saudaraku, Ada alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk tidak
menghitung-hitung ketaatan dan kebaikan yang telah dilakukan. Seorang
salafushalih pernah mengatakan, "Adakalanya seorang melakukan kesalahan kemudian
lalu masuk surga dan adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu ia masuk
neraka." Orang-orang yang mendengarkannya bertanya, "Bagaimana itu bisa
terjadi?" Ia menjawab, "Dia berbuat dosa dan dosa itu selalu tampak di matanya.
Jika berdiri, duduk dan berjalan ia selalu teringat dengan dosanya itu lalu
membuat hatinya hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan kepada Allah,
sehingga keadaan itu menjadikannya selamat. Sementara orang yang melakukan
kebaikan, selalu melihat kebaikan itu di depan matanya. Jika ia berdiri, duduk
dan berjalan ia selalu ingat dengan kebaikan yag ia lakukan, sehingga ia menjadi
takabbur ujub dan merasa telah mendapatkan karunia Allah SWT. Padahal kondisi
itu menjadi sebab kebinasaannya.
Sungguh dalam makna perkatan yang
diuraikan Ibnul Qayyim menanggapi perkataan salafushalih itu. "Jika Allah
menghendaki suatu kebaikan pada seseorang hamba, maka Dia bisa saja akan
memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk, tidak ujub dan
tidak takabbur sehingga dosa ini lebih bermanfaat dari sekian banyak ketaatan.
Taubatnya inilah yang akan menyelamatkannya. Seperti obat yang diminum untuk
mengeluarkan penyakit di dalam tubuh." Hidup ini hanya curahan rahmat, kasih
sayang dan bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Betapapun keadaannya.
Bagaimanapunkondisinya. Setiap sis, dinding, celah dan rongga kehidupan ini
sepenuhnya tak ada yang kosong dari kemurahan dan kasih sayang Allah SWT. Kita
memang tak punya modal atau andil apapun dalam kehidupan ini. Karenanya,
bersyukur dan berterima kasihlah pada Allah atas semuanya.
Kalaupun ada
amal-amal kebaikan yang kitalakukan dalam hitup, itu juga tak pernah lepas dari
karunia Allah dan dengan pertolongan-Nya. Karena kita pasti beramal dengan
pendengaran, penglihatan, pikiran, kekuatan, kesehatan, anggota tubuh, yang
semuanya semata-mata adalah nikmat dan karunia Allah. Pantas dan sangat agung
sekali perkataan Ahli surga yang dikutip Al Qur`an: "Segala puji bagi Allah yang
telah menunjuki kami kepada (surga) ini." (QS. Al A'raf : 43). Mereka bersyukur
pada Allah yang telah membimbing mereka melakukan amal-amnal shalih dan
memasukkan mereka ke dalam kenikmatan surga yang abadi.
Karena itu
saudaraku, Jangan pernah puas beramal. Jangan pernah berhenti beramal karena
menengok dan menghitung amal dan ketaatan yang telah kita lakukan. Karena
memperhatikan amal-amal kebaikan bisa menumbuhkan perasaan cukup dan kemudian
menjadikan kita merasa puas. Padahal rasa puas itulah yang akan melemahkan
semangat dan menghancurkan nilai-nilai amal itu sendiri. Ingatlah, kita tidak
pernah tahu nilai dan kualitas amal itu di hadapan Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah perah menyinggung masalah ini. Katanya, setiap amal baik yang
dilakukan, pasti ada bagian dari nafsu dan syetan di dalamnya. Ia mengutip
sebuah hadits Rasulullah SAW saat ia ditanya mengenai orang yang menoleh ke arah
lain dalam shalatnya. Kemudian Rasul menjawab, "Itu adalah rampasan yang
dilakukan syetan terhadap shalat seseorang..." (HR Bukhari, Abu Daud, Nasai dan
Al Hakim). Ibnu Mas'ud mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Bagian kecil
dan sedikit itu dianggap sebagai keuntungan dan andil bagi syetan terhadap
sholat seseorang. Bagaimana dengan amal-amal yang lainnya?"
Saudaraku,
Ada alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk tidak menghitung-hitung ketaatan
dan kebaikan yang telah dilakukan. Seorang salafushalih pernah mengatakan,
"Adakalanya seorang melakukan kesalahan kemudian lalu masuk surga dan adakalanya
seorang hamba melakukan ketaatan lalu ia masuk neraka." Orang-orang yang
mendengarkannya bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Ia menjawab, "Dia
berbuat dosa dan dosa itu selalu tampak di matanya. Jika berdiri, duduk dan
berjalan ia selalu teringat dengan dosanya itu lalu membuat hatinya hancur,
bertaubat, menyesal dan memohon ampunan kepada Allah, sehingga keadaan itu
menjadikannya selamat. Sementara orang yang melakukan kebaikan, selalu melihat
kebaikan itu di depan matanya. Jika ia berdiri, duduk dan berjalan ia selalu
ingat dengan kebaikan yag ia lakukan, sehingga ia menjadi takabbur ujub dan
merasa telah mendapatkan karunia Allah SWT. Padahal kondisi itu menjadi sebab
kebinasaannya.
Sungguh dalam makna perkatan yang diuraikan Ibnul Qayyim
menanggapi perkataan salafushalih itu. "Jika Allah menghendaki suatu kebaikan
pada seseorang hamba, maka Dia bisa saja akan memberinya dosa yang membuat
hatinya hancur, kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabbur sehingga dosa
ini lebih bermanfaat dari sekian banyak ketaatan. Taubatnya inilah yang akan
menyelamatkannya. Seperti obat yang diminum untuk mengeluarkan penyakit di dalam
tubuh." Hidup ini hanya curahan rahmat, kasih sayang dan bukti kecintaan Allah
kepada hamba-Nya. Betapapun keadaannya. Bagaimanapunkondisinya. Setiap sis,
dinding, celah dan rongga kehidupan ini sepenuhnya tak ada yang kosong dari
kemurahan dan kasih sayang Allah SWT. Kita memang tak punya modal atau andil
apapun dalam kehidupan ini. Karenanya, bersyukur dan berterima kasihlah pada
Allah atas semuanya.
Kalaupun ada amal-amal kebaikan yang kitalakukan
dalam hitup, itu juga tak pernah lepas dari karunia Allah dan dengan
pertolongan-Nya. Karena kita pasti beramal dengan pendengaran, penglihatan,
pikiran, kekuatan, kesehatan, anggota tubuh, yang semuanya semata-mata adalah
nikmat dan karunia Allah. Pantas dan sangat agung sekali perkataan Ahli surga
yang dikutip Al Qur`an: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada
(surga) ini." (QS. Al A'raf : 43). Mereka bersyukur pada Allah yang telah
membimbing mereka melakukan amal-amnal shalih dan memasukkan mereka ke dalam
kenikmatan surga yang abadi.
Karena itu saudaraku, Jangan pernah puas
beramal. Jangan pernah berhenti beramal karena menengok dan menghitung amal dan
ketaatan yang telah kita lakukan. Karena memperhatikan amal-amal kebaikan bisa
menumbuhkan perasaan cukup dan kemudian menjadikan kita merasa puas. Padahal
rasa puas itulah yang akan melemahkan semangat dan menghancurkan nilai-nilai
amal itu sendiri. Ingatlah, kita tidak pernah tahu nilai dan kualitas amal itu
di hadapan Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah perah menyinggung masalah
ini. Katanya, setiap amal baik yang dilakukan, pasti ada bagian dari nafsu dan
syetan di dalamnya. Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah SAW saat ia ditanya
mengenai orang yang menoleh ke arah lain dalam shalatnya. Kemudian Rasul
menjawab, "Itu adalah rampasan yang dilakukan syetan terhadap shalat
seseorang..." (HR Bukhari, Abu Daud, Nasai dan Al Hakim). Ibnu Mas'ud
mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Bagian kecil dan sedikit itu
dianggap sebagai keuntungan dan andil bagi syetan terhadap sholat seseorang.
Bagaimana dengan amal-amal yang lainnya?"
Saudaraku, Ada alasan lain
kenapa kita dianjurkan untuk tidak menghitung-hitung ketaatan dan kebaikan yang
telah dilakukan. Seorang salafushalih pernah mengatakan, "Adakalanya seorang
melakukan kesalahan kemudian lalu masuk surga dan adakalanya seorang hamba
melakukan ketaatan lalu ia masuk neraka." Orang-orang yang mendengarkannya
bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Ia menjawab, "Dia berbuat dosa dan dosa
itu selalu tampak di matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan ia selalu
teringat dengan dosanya itu lalu membuat hatinya hancur, bertaubat, menyesal dan
memohon ampunan kepada Allah, sehingga keadaan itu menjadikannya selamat.
Sementara orang yang melakukan kebaikan, selalu melihat kebaikan itu di depan
matanya. Jika ia berdiri, duduk dan berjalan ia selalu ingat dengan kebaikan yag
ia lakukan, sehingga ia menjadi takabbur ujub dan merasa telah mendapatkan
karunia Allah SWT. Padahal kondisi itu menjadi sebab kebinasaannya.
Sungguh dalam makna perkatan yang diuraikan Ibnul Qayyim menanggapi
perkataan salafushalih itu. "Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada
seseorang hamba, maka Dia bisa saja akan memberinya dosa yang membuat hatinya
hancur, kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabbur sehingga dosa ini
lebih bermanfaat dari sekian banyak ketaatan. Taubatnya inilah yang akan
menyelamatkannya. Seperti obat yang diminum untuk mengeluarkan penyakit di dalam
tubuh."
Dikutip dari Majalah Tarbawi edisi 39
sumber :
eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar