Macet, macet, macet! Baru masuk kota sudah macet. Di dalam kota juga masih
macet. Bahkan di jalan-jalan protokol pun macet. Dimana sih di Jakarta ini yang
tidak macet? Padahal jalan sudah lebar. Bahkan sudah banyak jalan dibuat satu
arah. Terakhir malah banyak dibangun fly over dan under pass untuk mengurangi
kemacetan. Tetapi mengapa masih juga macet?
Perbandingan antara
pertambahan panjang jalan dan pertambahan banyaknya kendaraan tidak sebanding.
Itu salah satu alasan. Sopir angkutan umum tidak disiplin dan sering ngetem di
pertigaan, perempatan dan tempat-tempat umum. Itu sebab berikutnya. Pengguna
jalan tidak disiplin dan saling serobot. Itu termasuk di dalamnya. Pemerintah
salah melakukan tata kota, dimana kawasan pasar, terminal dan jalan raya menjadi
satu. Ini jawaban lain lagi. Masih banyak jawaban yang lainnya. Namun semuanya
berkonotasi ‘mereka’ dengan arti ‘pemerintah’, sopir angkot, para pedagang kaki
lima di pinggir jalan dan lain-lain. Semua orang lain. Bukan kita. Semua yang
berkonotasi orang lain adalah sesuatu yang diluar kontrol kita. Namun jika salah
satu sebab itu adalah kita, maka saya percaya kita pun akan bisa membenahinya.
Setidaknya dalam masalah kemacetan ini, kita akan sedikit bisa
berkontribusi.
Coba kita urai lebih dalam. Mengapa para sopir angkot
ngetem di perempatan? Karena jika ngetem di halte, sopirnya bilang, mereka tidak
akan memperoleh penumpang. Karena kita, para konsumennya, malas berjalan agak
jauh sedikit. Karena kita lebih suka mencegat angkot di tengah jalan, di pojok
perempatan, tanpa peduli bahwa tindakan kita akan menyebabkan mobil di belakang
terhalangi, atau kendaraan dari arah silang tidak bisa lewat jika itu lampu
merah. Jika demikian, siapa yang menyebabkan sopir angkot ngetem di
lokasi-lokasi yang potensial menyebabkan kemacetan panjang?
Mengapa para
pedagang kaki lima enggan dipindahkan ke lokasi yang agak jauh dari jalan raya?
Karena mereka bilang tidak ada pembeli. Dan pembeli itu adalah kita, yang malas
jalan kaki lebih jauh sedikit. Yang ingin bisa membeli barang begitu turun dari
mobil atau bahkan sambil di dalam mobil. Mampir sejenak, dengan tenang
memilih-milih barang dan tidak sadar atau tepatnya tidak peduli bahwa di
belakang antrian pun memanjang. Begitulah.
Sementara saat kita berada di
dalam angkot dan bis kota, ataupun mobil pribadi yang terjebak kemacetan, kita
mengeluh, menggerutu bahkan mengumpat orang dan pihak lain atas kemacetan yang
sedang terjadi. Sementara jauh di depan, sumber kemacetan itu tidak menyadari
bahwa mereka menyebabkan kemacetan dan diumpat banyak orang. Mereka itu adalah
pengguna jalan yang menyeberang jalan sembarangan, juga naik turun mobil
sembarangan, atau pengguna mobil pribadi yang main serobot. Dan termasuk
diantara mereka itu adalah kita di waktu dan tempat yang lain. Tak
percaya?
Pernahkah anda melalui jalan raya (Gunung Sahari) yang membelah
Atrium dengan terminal Senen? Demi ketertiban, pemerintah sudah membangun
jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua tempat itu. Pemerintah juga sudah
membangun pagar pemisah jalur berlawanan, bahkan pagar pemisah jalur cepat dan
jalur lambat. Tapi toh, kemacetan tetap saja terjadi, karena pejalan kaki yang
dari atau menuju kedua tempat itu lebih memilih melintasi celah pagar besi yang
telah dipotong sebelumnya dari pada sedikit berolah raga melemaskan kaki menaiki
jembatan. Demikian juga yang terjadi di Jalan Senen Raya depan Atrium. Jalan itu
hanya satu arah dan sangat lebar, tapi setiap pagi kemacetan terjadi karena
rata-rata penumpang lebih suka naik dan turun di pojok, dekat perempatan.
Pengguna jalan yang akan menyeberang pun juga menyeberang sembarangan, padahal
dalam radius 300 meter, telah dibangun sebuah jembatan penyeberangan, satu zebra
cross biasa dan satu zebra cross dengan traffic light. Tetapi para pengguna
jalan lebih suka menempuh resiko menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan,
dimanapun mereka ingin. Jembatan bagus itu pun sepi, dan zebra cross terabaikan.
Itu hanya sedikit contoh.
Bahwa ada faktor-faktor penyebab lain, itu
tidak kita nafikan. Tetapi disini kita ingin mengurai sesuatu yang bisa kita
kontrol. Yang bisa kita kerjakan. Dan itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan
individu-individu kita. Sesuatu yang disebut para pakar dan pemerintah sebagai
tingkat disiplin bangsa yang lemah. Namun saya lebih suka menyebutnya egoisme
pribadi yang tinggi. Egois untuk kepentingan kita sebagai perseorangan maupun
institusi. Bagaimana tidak bisa disebut egois jika kita naik dan turun bis di
persimpangan semata-mata karena kita ingin lebih cepat, lebih mudah tanpa peduli
akibatnya pada orang lain? Bagaimana tidak egois jika kita menyeberang seenaknya
hanya karena capek dan lama kalau harus naik jembatan tanpa peduli pengguna
jalan lain harus ngantri menunggui kita lewat?
Saya hanya membayangkan,
jika sebagian besar penumpang kendaraan bersedia menunggu angkutan di tempat
yang seharusnya, maka tidak perlu ada kemacetan yang disebabkan angkot ngetem
sembarangan. Jika sebagian besar pejala kaki bersedia menggunakan jembatan
penyeberangan alih-alah memotongi besi pagar pembatas jalan, maka tak perlu lagi
ada kemacetan di jalan-jalan umum. Jika,…
Jika kita bersedia lebih banyak
sedikit memikirkan efek samping dari tindakan kita pada orang lain, maka kita
akan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan budaya disiplin
dan empati pada orang lain.
Pada gilirannya nanti, hal-hal besar lain
akan dapat dicapai. Semisal pencegahan banjir karena saat hendak membangun
kawasan puncak ingat keluarga, saudara dan teman di Jakarta yang bisa kebanjiran
karena ulah kita. Tanah longsor tak perlu terjadi karena kerakusan dan keegoisan
kita menebangi pohon-pohon hutan. Sesungguhnya salah satu dosa besar adalah
berbuat kedzaliman terhadap banyak orang.
(azimah
rahayu/azi_75@yahoo.com)
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar