Perempuan setengah tua itu segera membuka pintu rumahnya dengan seonggok
senyuman, menyambutku. “Anak-anak sedang keluar. Bapaknya lagi kerja! Ayo
masuk....” ungkapnya ketika saya tanyakan kemana suami dan anak-anaknya. Sambil
mempersilahkan saya duduk di sofa tuanya, sekilas terlihat kedua bola matanya
berkaca-kaca setelah menerima sebuah jilbab putih, kado kecil saya kepadanya.
Seolah sedang mencoba mengingat kejadian masa lalu.
“Siapa yang tidak
menyukai harta banyak? Rasulullah SAW sendiri mengajarkan falsafah untuk berdoa
seolah-olah kita mati esok hari dan bekerja mencari harta seolah-olah kita hidup
selamanya. Saya sebagai manusia biasa, dibesarkan oleh keluarga yang kurang
mampu, sudah tentu berharap keluarga saya kelak, suami dan anak-anak saya, tidak
mengalami nasib yang sama menimpa saya. Sebuah cita-cita seorang perempuan yang
tidak terlalu muluk kan? Siapa pula yang tidak menyukai persaudaraan? Merasa
dicintai oleh anggota keluarga akan menciptakan suasana batin tersendiri. Betapa
lengkapnya jika kita memiliki kedua-duanya, harta dan cinta saudara. Rasulullah
SAW pula mengajarkan bahwa tidak akan dimasukkan kedalam golongan orang-orang
beriman selama tidak mencintai saudara-saudaranya sebagaimana kita mencintai
diri sendiri. Namun siapa menyangka bahwa kaitan cinta persaudaraan dan harta
yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini ternyata erat sekali? Bahwa
hilangnya harta akan sanggup melenyapkan pula cintanya”.
“Dua puluh tahun
lebih suami saya bekerja sebagai pegawai negeri di suatu institusi pemerintah.
Selama itu pula kami belum mampu untuk membeli rumah. Jangankan mendirikan
sendiri, rumah kaplingan pun kami belum mampu mengangsur. Dua anak kami yang
terpaut hanya dua tahun usianya semakin besar saja dan membutuhkan pendidikan
yang tidak lagi sedikit beayanya, sebagaimana tuntutan generasi mereka. Yang
pertama, laki-laki, memasuki perguruan tinggi. Yang kedua, perempuan, di sekolah
menengah atas waktu itu. Padahal penghasilan suami saya pas-pasan saja. Adakah
saya sebagai seorang istri yang kurang pandai bersyukur? Wallahu’alam!”
“Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Allah SWT disamping agar
digolongkannya kami sebagai orang-orang yang beriman, pandai bersyukur, juga
diantaranya memohon kesejahteraan keluarga kami. Sepuluh tahun lalu, selama
hampir dua puluh tahun sudah kami tinggal di rumah dinas. Karena
kesenioritasnnya suami saya kemudian dia menduduki jabatan sebagai salah satu
kepala bagian. Tapi itu bukan berarti menjadikan posisi kami secara finansial
semakin terdongkrak. Kami tetap biasa-biasa saja. Alhamdulillah suami saya bukan
tergolong orang yang gampang ‘tertular’ penyakit masa kini: korupsi dan
penyalahgunaan jabatan. Dalam hati ini ada rasa bangga. Bahwa ditengah-tengah
kesederhanaan keluarga kami, masih ada suatu yang amat berharga: menjaga
nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam, untuk tidak hidup diatas
penderitaan orang lain.”
“Subhanallah! Disaat demikian, ternyata Allah
SWT menjawab doa-doa saya. Pertama, diberikannya kesempatan kepada suami saya
untuk pergi haji atas beaya dinas. Dan yang kedua suami saya diberikan ijin cuti
di luar tanggungan negara, untuk bisa bekerja di luar negeri. Adalah rahmat dan
karunia yang amat besar. Air mata ini tidak terasa mengalir ditengah-tengah
ungkapan rasa syukur saya kehadiratNya.”
“Mendiang ayah saya, keturunan
Yaman, seorang Imam di mushollah kecil di desa kami. Beliau tergolong keras
dalam mendidik kami. Tidak seperti keluarga ayah saya lainnya, paman dan tante,
yang rata-rata pengusaha, keturunan Arab Yaman, yang bahkan beberapa orang
menetap di Saudi Arabia, sehari-hari kerja beliau hanyalah menjahit. Sementara
ibu tinggal di rumah, mengasuh kami anak-anaknya yang delapan orang. Sekolah
saya cuma sampai SD. Ketika saya menikah, suami saya boleh dikata tidak memiliki
apa-apa, kecuali masa depan pensiun. Sebagai seorang anak perempuan yang harus
patuh kepada orangtua, saya berprasangka baik terhadap niat mulia pernikahan,
walaupun mas kawin hanya Al Quran. Rejeki akan datang sesudah pernikahan. Saya
pikir permasalahannya hanyalah waktu.”
“Itulah kenangan 20 tahun silam
sebelum kami menikah, sebelum kedua ibu-bapak kami meninggalkan kami untuk
selamanya.”
“Sebelum suami saya bekerja di Saudi Arabia, hubungan kami
dengan seluruh keluarga, baik dari pihak saya ataupun suami nampak biasa-biasa
saja. Artinya kami tidak pernah mengalami konflik. Tidak terlalu erat, namun
juga tidak bisa dikatakan jauh dari hubungan persaudaraan. Demikian pula dengan
tetangga di dalam rumah dinas kami, termasuk hubungan kami dengan rekan-rekan
kantor suami saya.”
“Tidak lebih dari satu tahun setelah kepergian suami
ke luar negeri, ketika keluarga kami mulai menampakkan perubahan secara materi,
hubungan kami mulai berubah, sekali lagi, sikap baik dari keluarga saya ataupun
suami, juga rekan-rekan kantor suami. Saya rasa bisa dimengerti mengapa ini
terjadi tanpa harus banyak saya ceriterakan disini. Saya sering terima tamu,
pujian, dan kadang-kadang ‘sindiran’.”
“Terus terang secara materi kami
pada akhirnya berlimpah. Kedua anak kami segala kebutuhannya jadi tercukupi.
Kuliah tidak terganggu karena masalah beaya, sarana transportasi ada,
barang-barang kebutuhan rumah tangga, elektronik, hingga kebutuhan sekunder lain
pendeknya lengkap tanpa harus repot-repot, seperti kebanyakan orang lain,
mengkredit atau hutang di bank. Dalam waktu dekat bahkan kami bisa membeli
sepetak tanah kaplingan untuk mendirikan rumah yang ukurannya cukup lumayan buat
ukuran kami. Apalagi letaknya di pojokan jalan yang strategis. Siapapun yang
lewat akan bertanya “Rumah siapa ini?” Subhanallah, betapa besar karunia yang
Engkau limpahkan terhadap hambaMu ini! Engkau Mahakaya ya
Allah!”
“Seiring dengan rutinnya pengiriman uang dari suami saya,
satu-demi-satu ujian kepada saya mulai berdatangan. Pertama soal rumah dinas
kami. Saya, seorang istri, perempuan yang secara kodrati lemah, terkadang tidak
kuat mendengar sindiran teman-teman suami saya yang mengatakan bahwa posisi kami
dienakkan. Sudah tidak kerja di kantor, tetapi menempati rumah dinas besar yang
gratis. Saya sempat kalut karena tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa
mengambil keputusan untuk pindah rumah, kontrak di tempat lain tanpa kehadiran
suami. Belum lagi ‘suara-suara’ tetangga yang pada hemat saya ‘iri’. Padahal,
subhanallah, saya tidak pernah memamerkan kekayaan suami. kalau barang-barang
kebutuah rumah tangga itu kami beli, karena memang tuntutan dan banyak orang
yang mampu memilikinya. Vespa, sepeda motor, TV, kamera, bawaan suami juga bukan
barang mewah kan? Dari jauh suami yang sering telepon hanya bisa menghibur untuk
‘tenang’, karena status kami di rumah dinas adalah legal. Tetapi suami saya
tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari. Padahal saya disaat yang sama juga
harus memikirkan rumah kami yang sudah mulai dibangun. “Saya harus kuat
menghadapi semua ini!” Saya coba menghibur diri. Tetapi sampai kapan?”
“Sesudah tetangga, rekan-rekan suami serta masalah kantor yang bertubi
menghantam pikiran saya, kini giliran saudara-saudara. Saudara-saudara kami,
dari kedua belah pihak, mulai sering berdatangan, dan saya pada akhirnya tidak
bisa menghindar dari apa yang sesungguhnya saya benci, utang-piutang. Ada yang
hutang dengan janji akan mengembalikan dalam beberapa bulan yang ternyata tidak
bisa ditepati. Ada pula yang mengajak ikut serta saya dalam bisnisnya. Sekali
lagi, suami saya yang memang memberikan kepercayaan kepada untuk melakukan
segala sesuatu, saya tidak bisa menolak, apalagi datangnya dari saudara sendiri.
“Toh mereka tidak akan menipu!” demikian pemikiran polos ini muncul begitu saja.
Konflikpun kemudian menjadi bertumpuk, dan saya tidak kuasa mengatasinya
sendirian. Suami juga ikut ‘kacau’ pikirannya. Lewat berbagai pertimbangan,
akhirnya diputuskannya balik ke Indonesia.”
“Padahal kontrak kerja di
Saudi Arabia belum selesai. Padahal rumah baru yang sedang dibangun masih tujuh
puluh persen. Padahal kuliah anak belum rampung. Padahal aku juga ingin naik
haji. Padahal kami masih punya hak untuk menempati rumah dinas. Padahal usia
suami masih jauh dari pensiun. Padahal cuti diluar tanggungan negara masih dua
tahun lagi....”
“Masih banyak ‘padahal-padahal’ lainnya yang mendasari alasan
suami saya untuk tidak segera pulang sesudah tiga tahun di luar negeri.
“Barangkali sudah suratan!” itulah jawaban sederhana saya menyikapi kenyataan
yang ada.”
“Suami pulang! Kami bahagia dan juga haru. Bahagia karena saya
tidak lagi sendirian menghadapi segala dilema hidup ini. Kalau selama 3 tahun
terakhir suami hanya pulang disaat cuti tahunan, kini kami berkumpul kembali.
Haru karena sudah berbulan-bulan ternyata suami juga ikut stress memikirkan apa
yang sedang menimpa kami tanpa ada penyelesaiaan yang jelas. Dia tidak kuasa
melihat saya sendirian mengatasinya. Dua perasaan yang berlawanan arus ini
mengguncang batin saya.”
“Harapan sesudah balik ke Indonesia dapat
segera kerja lagi dan memperoleh gaji seperti semula ternyata meleset. Semula
kami mengira, dengan sedikit tabungan yang ada, dan gaji bulanan suami sebagai
pegawai negeri akan cukup bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dan sekolahnya anak-anak. Nyatanya....suami saya harus pulang balik
Jakarta-Malang berkali-kali untuk mengurusi ketidakberesan administrasi yang
ada, yang membuat status kepegawaiaannya terkatung-katung. Suami saya tidak bisa
bekerja lagi secara otomatis seperti sediakala. Lebih dari setahun sudah
berlalu, dan status kepegawaiannya belum juga beres. Sementara dua orang anak
kami sedang kuliah. Kebutuhan sehari-hari harus pula kami penuhi. Dengan kondisi
suami yang demikian, tanpa kerja dan penghasilan, bagaimana kami bisa
memenuhinya?”
“Akhirnya, jangankan untuk meneruskan pembangunan rumah
dan melunasi beaya kuliah dua anak kami, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
kami terpaksa, harus menjual satu demi satu barang-barang hasil pembelian suami
di luar negeri. Barang-barang elektronik, kamera, sepeda motor, vespa, hingga
investasi kami yang paling berharga, rumah, sudah tidak lagi menjadi hak milik
kami.”
“Subhanallah! Dalam kondisi yang demikian, siapa lagi yang mau
mendekati kami? Hanya orang-orang yang berhati tulus saja yang mau menengok
keadaan kami. Saudara-saudara yang tadinya setiap saat nongol di depan pintu
rumah tanpa diundang, kini menjauh. Sesudah mengetahui keadaan kami, mereka
tidak ada lagi beritanya. Ya...Allah.. inikah buah kepemilikan harta ini? Harta
yang tidak lebih hanya membuat sikap sebagian umatMu lupa, bahwa semuanya ini
hanya sementara, hanya titipan, hanya sekejap.....”
“Sesudah berjuang
selama satu setengah tahun, Alhamdulillah suami saya mendapatkan kembali
hak-haknya, walaupun tanpa ‘rapelan’. Ia mulai bekerja lagi, tanpa jabatan
seperti yang diharapkan. Tidak masalah. Begitu batin saya.”
“Satu tahun
lagi suami saya akan pensiun. Rasanya kami memang lebih baik begini keadaannya.
Tidak harus bergelimang harta. Pengalaman kami mencatat, meski tidak semua orang
kaya mengalaminya, harta ternyata membuat banyak kepalsuan hidup. Cinta dan
persaudaraan rusak karenanya. Itulah yang kami rasakan. Kami harus meninggalkan
rumah dinas yang kami tempati hampir tiga puluh tahun beberapa saat lagi. Saya
tidak tahu kami akan tinggal dimana nantinya, sementara dua anak kami masih
harus mencari kerja. Tapi satu yang saya pasti, Allah SWT lah Yang akan membantu
kami, karena cintaNya yang tanpa batas. Kemurnian cintaNya tidak dibatasi oleh
jumlah kekayaan yang dimiliki oleh hambaNya.”
Kedua bola mata perempuan
setengah tua itu kembali berkaca-kaca saat saya berpamitan. “Nanti akan saya
sampaikan salam mu kepada Bapaknya!” katanya sambil menggenggam jilbab putih,
mengiringi langkah-langkah kaki saya menjauhi rumah dinas yang mulai nampak
keropos dinding-dindingnya. Seolah ikut mencoba mengingat kejadian masa lalu
penghuninya.
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar