Apa yang terjadi bila manusia mendengar kabar kenalannya telah meninggal dunia?
Saya tak pernah menyangka harus mengalaminya secepat ini. Seseorang kenalan saya
telah dikabarkan meninggal dunia, Jumat, 30 Juli yang lalu. Tepat setahun
setelah kelulusannya dari STM Pembangunan, Jakarta. Ya, dia baru lulus satu
tahun. Namanya: Yusna. Yusna Dianto.
Dia, adik kelas saya-terpaut hanya
satu tingkatan. Umurnya? Ah, dia belum setua saya. Mungkin umurnya belum genap
21 tahun. Untuk itu saya banyak diam. Yusna telah pergi di usianya yang masih
sangat muda. Seperti Nike Ardilla, Marilyn Monroe. Juga seperti Ade Irma
Suryani. Muda, mati.
Sebelum ini -entah kenapa- saya selalu yakin:
orang-orang Jakarta -yang saya kenal- akan mati karena usia. Di Jakarta tidak
sedang perang seperti di Palestina, atau di Irak. Satu-satunya peperangan yang
terjadi di sini adalah peperangan kekuasaan. Mungkin, keyakinan saya itu terlalu
konyol. Orang bisa mati karena apa saja, bukan? Karena tertimpa batu, kecebur
sumur, ditusuk penodong dalam bis, jatuh dari tangga, keracunan, atau tertabrak
mobil saat menyeberang jalan.
Tapi, tidakkah kita semua -tanpa sadar-
tengah percaya pada keyakinan yang sama? Saya bukannya tidak tahu orang mati
bisa karena apa saja, tapi kenapa, ya, pengetahuan itu seolah lenyap dari jati
diri keseharian kita? Bukankah hanya orang-orang yang punya keyakinan seperti
itu yang hidup tanpa beramal baik setiap harinya?!
Lihat saja kita
sekarang. Pergi pagi, pulang senja. Kerja, kerja, kerja. Habis waktu untuk
mencari uang. Subuh kesiangan, Zuhur habis buat makan siang, Ashar tanggung
sedikit lagi pulang, Maghrib ada di jalan, Isya berbaring tidur kecapekan
-persis lagu sindiran pengamen jalanan. Kalaupun ada waktu untuk berbuat amal,
itu harus seijin rasa malas di hati kita.
Padahal... ah, rasanya kok,
ya, percuma saja. Bicara mati pada orang kota itu sangat susah. Harusnya mereka
sendiri yang mengalaminya. Harusnya mereka sendiri yang disadarkan dengan
kematian salah satu kerabatnya. Kalau hanya lewat tulisan, besar kemungkinan
mereka akan melewatkannya dengan sebelah mata. Sudah mati rasa bila bicara hal
semenyeramkan itu. Mungkin mereka masih -terus- percaya: orang-orang Jakarta
akan mati bila usia mereka sudah tua. Mereka begitu yakin: mati nanti bila usia
telah tua. Dan kini, ketika mereka masih muda, tak perlu risaukan maut dengan
banyak beribadah. Kelak mereka akan melakukannya; bila sudah renta, bila ajal
semakin nyata di depan mata. Kalau begitu, bila mereka masih percaya itu
keyakinan yang tak berguru itu, saya yakin mereka tak akan pernah betul-betul
sadar: orang mati bisa kapan saja.
Asa
Mulchiasasamulchias@yahoo.com
Untuk Yusna: Yus, maafkan saya selama ini.
Maaf atas segala kesalahan, atas segala kekhilafan. Maafkan segera, sebelum saya
menyusulmu kesana... Ah, Yus... sedikit lagi, kan, bulan puasa....
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar