Pagi ini aku menerima sebuah pesan dalam telepon genggamku dari seorang sahabat,
“Saudaraku, beri nasihat untukku hari ini …” Aku sempat tertegun membacanya,
sambil menghela nafas kata-kata itu seperti menembus relung terdalam bathinku
yang sedang berteriak keras, bahwa sejujurnya disaat ini akulah yang seharusnya
lebih banyak mengirimkan pesan semacam itu kepada semua sahabat, saudaraku
dimana saja.
Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan menerima
nasihat, dan lebih aneh lagi jika ternyata ada orang yang gemar berkata-kata
tanpa banyak menggunakan telinganya untuk mendengarkan orang lain. Dilihat dari
struktur indera yang kita miliki, seharusnya setiap manusia sadar bahwa
keberadaan dua telinga yang ditempatkan Allah di kanan dan kiri manusia agar
dapat menangkap setiap pesan dan masukan lebih banyak. Bukan sebaliknya, menutup
telinga rapat-rapat sementara membuka mulut dengan lebar sambil mengeluarkan
banyak kata. Fitrah dan kodratnya demikian.
Allah ciptakan mulut dengan
dua katup bibir yang bisa bergerak menutup dan membuka agar manusia bisa
mengerti kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir itu pula yang
seharusnya mengontrol gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut. Sudah
jelas, jika bibir tidak terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga tak
ada kata-kata yang keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan cuping
yang lebar tanpa kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu saja,
karena Allah menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk
mendengar, filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah
setiap pesan yang masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau
tidak.
Paul Madaule, Direktur The Listening Centre di Toronto dalam
bukunya Earobics, mengatakan bahwa otak bekerja lebih cepat daripada lidah,
dimana otak menerima masukan lebih banyak dari mendengar dan melihat (dua
telinga dan dua mata). Ini menyadarkan kita, bahwa kecil kemungkinan orang
belajar dari kata-katanya sendiri. Lagi pula biasanya lidah akan bekerja jika
otak sudah menerima input dari indera yang lain. Tentu saja, jika ada orang yang
berbicara tanpa bekal masukan dari otak (sebelumnya dari telinga dan mata), kita
fahami bahwa apa yang keluar darinya tidak lebih dari sekedar bualan belaka,
nyaris tanpa makna.
Di halaman lain buku tersebut, Paul malah menegaskan
bahwa dengan mengefektifkan pendengaran, seseorang bisa mendapatkan energi baru,
arah dan fokus untuk membantunya menemukan motivasi kuat dalam langkah-langkah
selanjutnya. Sekali lagi kita mendapatkan pelajaran, bahwa jika mau disadari
pada saat kita berbicara yang kita harapkan adalah orang lain memusatkan
perhatiannya sehingga menemukan energi baru dari kata-kata yang kita keluarkan.
Lalu kenapa tidak kita yang melakukan proses mendengar itu?
Oleh
karenanya, kepada sahabat yang pagi ini mengirimkan SMS untuk meminta nasihat
kepadaku, terus terang aku meminta, berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa
sebenarnya saat ini aku yang jauh lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan
suntikan energi, arah dan motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah
yang berbunyi dalam Surah Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling
menasihati. Artinya, jika anda sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara
anda selama ini, adillah kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu
saja, ini bukan sekedar latihan bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci.
Wallahu a’lam bishshowaab. (Bayu Gautama)
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar