Tiga hari lalu kakakku punya hajatan. Anak perempuan pertamanya menikah dengan
seorang perjaka dari keluarga yang cukup. Sebagaimana saya bayangkan sebelumnya,
yang datang dalam pesta pernikahan pasti banyak sekali, dari berbagai pihak.
Dari pihak keluarga kakak perempuanku, dari suaminya, teman-teman kerja,
tetangga dan orang-orang kampung lainnya, teman sang mempelai, serta masih
banyak lagi.
Berapa tahun lamanya kakakku tidak pernah punya hajat?
Selama ini, kakakku beserta suaminya, selalu menerima undangan-undangan
macam-macam, mulai dari perkawinan, khitanan, kelahiran, dan hajatan lainnya.
Pada saat demikian mereka harus merogoh sakunya, untuk 'dibelanjakan', kepada
sang punya hajat. Apakah itu dalam bentuk hadiah, kado, ataupun uang.
Singkatnya, tidak ada istilah 'tanggal tua' untuk urusan yang satu ini. Terpaksa
atau tidak, harus menghadiri undangan dan membawa serta 'sesuatu', atau kalau
kepepet, tidak datang. Padahal, belum tentu kakakku selalu punya duit kan?
Sebagaimana keadaan orang lain yang mendapatkan undangan serupa. Tapi siapa
peduli? Pada hari yang 'berbahagia' ini, seolah-olah semua orang senang dan
gembira. Adakah kenyataannya demikian?
Melihat jumlah tamu yang datang
dalam hajatan tersebut, kakakku tentu senang, karena mereka yang diundang
'menjawab'. Dalam hatiku berkata, jujur saja, kakakku pasti akan dapat duit
banyak. Demikian pula jumlah kadonya. Macam-macam deh andai saja saya
diperbolehkan membukanya. Tapi kan nggak etis? Saya yakin ada yang memberi
piring, gelas, cangkir, kain, sprei, taplak meja, hingga album. Saya nggak akan
berpikir sampai mobil, karena kakakku kan bukan kelas 'The Have'.
"Banyak
tamunya ya Mbak?" tanyaku kepadanya. "Ya... alhamdulillah!" jawab kakakku
tersenyum. Andaipun saya yang jadi tuan rumah waktu itu, saya juga akan bersikap
serupa. Senyum, tanda ungkapan kebahagiaan. "Alhamdulillah tidak hujan". Lanjut
kakakku, 'menghindar' dari topik pembicaraan kami dan beralih tentang cuaca.
Hujan memang paling ditakuti oleh orang yang punya hajat. Terlepas apakah sang
tuan rumah menanti 'bawaan' si tamu, ataukah hanya tamunya, hujan tetap jadi
penghambat. Berbicara tentang hujan ini, betapa enaknya orang-orang di negeri
Arab sana yang jarang hujan, mereka bisa punya hajat setiap saat!
Kembali
ke hajatan kakakku...
Sesudah itu aku mencoba 'menyendiri'
ditengah-tengah keramaian para tamu. Menyendiri bukan dalam artian fisik, namun
psikologis. Aku jadi mikir, dari sekian ratus tamu yang datang tadi, adakah
mereka benar-benar punya duit untuk menghadiri hajatan kakakku? Adakah mereka
jujur dengan keadaan diri mereka sendiri? Jangan-jangan hanya karena mereka
tidak ingin menyakiti hati kakakku sehingga mereka datang dalam acara pernikahan
tersebut. Jangan-jangan anggota keluarga mereka ada yang sedang sakit,
membutuhkan obat dan butuh duit yang tidak sedikit untuk kepentingan itu.
Jangan-jangan anggota keluarga mereka juga ada yang punya hajat yang sama yang
membutuhkan beaya pula. Pokoknya, macam-macam lah yang ada di pikiran ini
sehingga membuatku tidak 'bahagia' di hari yang mestinya saya turut berbahagia
menyaksikan pernikahan keponakanku.
Aku tidak sempat berbicara kepada
siapapun tentang konflik yang saya alami pada hari itu. Saya pikir saya saja
yang terlalu melebih-lebihkan hal-hal yang mestinya wajar. Sudah berapa ratus
tahun peristiwa serupa terjadi, toh tidak ada orang yang 'mengeluh'. Masyarakat
menganggap hal ini wajar. Take and give, kata mereka. Ada saat dimana kita
memberi, dan ada saat kita menerima. Walaupun, memberi memang lebih baik dari
pada menerima. Tangan diatas lebih baik daripada tangan yang
dibawa.
Siang tadi, seorang rekan bertanya kepada saya, "Kamu punya uang
berapa?" Saya tahu pasti ada alasan dibalik pertanyaan ini. Saya bukan bank,
tapi kalau uang sedikit insyaallah ada! "Tapi untuk apa?" Kataku berusaha ingin
jawaban terbuka. "Keponakanku akan menikah" jawabnya. "Lantas kalau mau menikah,
apa urusanmu?" tanya saya pura-pura tidak mengerti akan maksudnya. "Ya...kamu
tahu sendiri kan? Saya kan pamannya, masak nggak ngasih apa-apa?" jelasnya.
"Kamu memang pamannya, namun kalau kamu nggak punya sesuatu untuk diberikan, apa
lantas harus pinjam kesana-kemari?" ungkapku berusaha menyeberang terhadap pola
pikiran yang ada di benaknya. "Kalau aku nggak ngasih apa-apa, mukaku ini
ditaruh dimana? Orang-orang kan pada ngomongin, si Fulan ngasih apa sama kamu?,
padahal si itu ngasih ini, si ini ngasih itu... dan seterusnya! Kami sudah
terbiasa menyumbang sesuatu jika salah satu keluarga kami ada yang punya hajat!"
"Saya mengerti maksudmu. Yang tidak saya mengerti adalah, kalau kamu
nggak punya saat ini, kenapa mesti repot-repot harus hutang ke orang lain.
Bilang aja sama keponakanmu nanti deh, hadiah dari paman nyusul. Kan
beres?"
Dasar pelit! Barangkali itulah kesan yang ada pada temanku
tentang sikapku yang 'nyeleneh'.
Tidak sesederhana yang saya
duga!
Dua kejadian diatas adalah salah satu bentuk budaya kita yang tanpa
disadari dapat melilit leher saudara-saudara kita sendiri. Kita seringkali
justru tidak berusaha jujur dengan diri sendiri. Kalau dalam kondisi punya,
barangkali bukan jadi masalah untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Namun
kalau kondisi kita juga kepepet? Apakah orang lain juga bisa berbahagia andai
saja mengetahui bahwa hasil pemberian kita tadi adalah buah dari hutang? Saya
tidak jamin! Kecuali naluri sosial kemanusiaan kita sudah
leleh.
Orang-orang Barat saja, yang katanya nilai moralnya mulai luntur,
bahkan mengalami dekadensi, jika menghadiri undangan semacam tidak harus membawa
hadiah. Sementara kita yang katanya penuh santun, sudah dipermak sedemikian rupa
bahwa undangan pesta, apakah itu pernikahan dan semacamnya selalu dikaitkan
dengan duit dan kado. Padahal orang kan nggak tidak selalu secara finansial
cukup?
Oleh karena itu saya setuju sekali jika suatu saat dalam undangan
tertulis 'Tidak Menerima Kado atau Uang Sumbangan!' Seorang rekan saya asal
Semarang pernah melaksanakan hal serupa. Membuat saya salut! Dengan demikian,
orang yang akan menghadiri hajatan tersebut benar-benar merasa bahwa yang
diharapkan oleh si empunya hajat adalah 'doa restu' nya, bukan kado apalagi
duitnya. Sikap yang sama juga akan menghindarkan terjadinya unsur 'paksaan'
terhadap mereka yang di hari hajatan tersebut sedang 'kosong'
sakunya.
Kapan kita bisa melakukan hal yang serupa? Butuh perjuangan yang
tidak ringan. Diperlukan pembelajaran kepada masyarakat tentang budaya yang
tidak seharusnya kita pertahankan mati-matian. Siapapun tahu, membantu beban
mereka yang punya hajat itu adalah sikap yang terpuji. Tradisi masyarakat,
utamanya di pedesaan, bantuannya terkadang tidak tanggung-tanggung, bisa berupa
kambing hingga sapi. Padahal, belum tentu mereka mampu membelinya. Praktek yang
ada justru biasanya karena dulu kita pernah menyumbang sapi ke si Fulan, maka
hajatan mendatang ini, giliran si Fulan yang harus menyumbang sapi sama kita.
Kalau sudah begini yang terjadi, dimana unsur bantuannya? Dimana keikhlasannya?
Apa bedanya dengan hutang?
Kendala yang kedua, masyarakat kita kadang
masih mau memaksakan sesuatu diluar jangkauan kemampuannya. Sudah mengetahui
bahwa secara ekonomi misalnya kurang mampu, kenapa harus merencanakan hajatan
yang besar? Undangan mencapai 500 orang, hiburan kalau perlu Dangdut, penyanyi
terkenal dari Ibu Kota, pakaian seragam buat seluruh yang terlibat dalam pesta,
sound system yang bagus, penata rias yang beken dan lain-lain. Akhirnya? Budget
yang semula bisa terjangkau, jadi membengkak. Guna menutupinya, hal-hal yang
mestinya bisa dihindari akhirnya justru membebani. Yang paling tidak diinginkan,
apabila niat hajatan yang tadinya mengharapkan 'doa restu', berubah menjadi
berharap 'kado' dari para tamu.
Masyarakat perlu pembelajaran akan
kesadaran yang satu ini. Itu bisa dimulai dari diri sendiri untuk tidak terbiasa
mengikuti arus budaya yang selama ini justru tidak mendidik. Biarlah apa kata
orang tentang kita, selagi niat kita tulus dan ibadah. Seringkali kita melakukan
sesuatu hanya karena kuatir omongan orang meskipun tidak mendidik sifatnya. "Tuh
si Fulan, uangnya digunakan tuk apa? Masa hajatannya begitu sederhana sekali?
Hanya 100 orang yang diundang?" dan sebagainya. Memangnya kalau 100 kenapa?
Bahkan meski 500 orang pun yang kita undang, masyarakat juga masih ngomong terus
tentang segala kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh si Fulan. Ini terjadi
karena proses pembelajaran masyarakat tadi belum terbentuk.
Repot sekali
bermasyarakat?
Contoh kecil lain: Zulaikah adalah ibu rumah tangga yang
baru pindah ke sebuah perkampungan, katakanlah perumnas. Ibu disekitarnya akan
membicarakan Zulaikah sebagai ibu yang tidak mau bergaul sama tetangganya jika
dia tidak pernah keluar rumah. Jika pun si Zulaikah sebagai orang baru, setiap
hari keluar mengunjungi tetangganya, saya yakin si tetangga juga menggunjingnya
sebagai orang yang senang keluyuran. Lucunya, kalaupun Zulaikah mengunjungi
tetangganya Senin-Kamis, masih tetap juga dibicarakan, bahwa Zulaikah sebagai
orang yang plin-plan. Kan?
Seorang rekan mengatakan begitulah resiko
hidup bermasyarakat. Mereka yang hidup di pedalaman hutan sana tidak disibukkan
dengan aneka ragam undangan sebagaimana yang kita temui sekarang ini. Seorang
rekan lainnya mengatakan pemberian kado atau sumbangan adakalanya sudah menjadi
kesepakatan masyarakat yang tak tertulis. Ada pula yang mengistilahkan kebiasaan
ini sebagai suatu 'arisan'.
Apapun istilah yang disebutkan untuk kegiatan
yang satu ini, hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya fenomena diatas.
Nilai positif nya tidak dapat dipungkiri, namun segi negatifnya juga tidak
terabaikan. Pemberian undangan kepada mereka yang kurang mampu atau yang sedang
'terdesak' cenderung mengandung unsur 'pemaksaan'.
Jika upaya pendidikan
yang sederhana tentang kasus diatas tidak diperkenalkan kepada masyarakat, kapan
masyarakat kita mulai belajar? Setidaknya belajar mengetahui penderitaan orang
lain lewat introspeksi kala mereka punya hajat. Masyarakat perlu tahu bahwa
dikala menyelenggarakan sebuah hajatan, tidak semua tamu yang kita undang itu
punya duit untuk memberikan kado atau sumbangan.
Dari tamu-tamu yang kita
undang, adakalanya mereka tidak dapat memenuhinya karena beberapa alasan,
diantaranya adalah karena kondisi finansial yang memang tidak mendukung. Namun,
betapa sedih sebenarnya jika kita pada akhirnya mengetahui bahwa sebagian
orang-orang yang kita undang, ternyata dalam kondisi yang terpaksa untuk
menghadirinya. Bukannya ikhlas. Hanya karena ingin membayar 'hutang' terhadap
kado atau sumbangan yang pernah kita berikan kepada mereka di masa lalu mereka
lantas memenuhi hajatan. Wallahualam!
Syaifoel Hardy
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar