Sabtu, 06 Februari 2016

Hajatan

Tiga hari lalu kakakku punya hajatan. Anak perempuan pertamanya menikah dengan seorang perjaka dari keluarga yang cukup. Sebagaimana saya bayangkan sebelumnya, yang datang dalam pesta pernikahan pasti banyak sekali, dari berbagai pihak. Dari pihak keluarga kakak perempuanku, dari suaminya, teman-teman kerja, tetangga dan orang-orang kampung lainnya, teman sang mempelai, serta masih banyak lagi.

Berapa tahun lamanya kakakku tidak pernah punya hajat? Selama ini, kakakku beserta suaminya, selalu menerima undangan-undangan macam-macam, mulai dari perkawinan, khitanan, kelahiran, dan hajatan lainnya. Pada saat demikian mereka harus merogoh sakunya, untuk 'dibelanjakan', kepada sang punya hajat. Apakah itu dalam bentuk hadiah, kado, ataupun uang. Singkatnya, tidak ada istilah 'tanggal tua' untuk urusan yang satu ini. Terpaksa atau tidak, harus menghadiri undangan dan membawa serta 'sesuatu', atau kalau kepepet, tidak datang. Padahal, belum tentu kakakku selalu punya duit kan? Sebagaimana keadaan orang lain yang mendapatkan undangan serupa. Tapi siapa peduli? Pada hari yang 'berbahagia' ini, seolah-olah semua orang senang dan gembira. Adakah kenyataannya demikian?

Melihat jumlah tamu yang datang dalam hajatan tersebut, kakakku tentu senang, karena mereka yang diundang 'menjawab'. Dalam hatiku berkata, jujur saja, kakakku pasti akan dapat duit banyak. Demikian pula jumlah kadonya. Macam-macam deh andai saja saya diperbolehkan membukanya. Tapi kan nggak etis? Saya yakin ada yang memberi piring, gelas, cangkir, kain, sprei, taplak meja, hingga album. Saya nggak akan berpikir sampai mobil, karena kakakku kan bukan kelas 'The Have'.

"Banyak tamunya ya Mbak?" tanyaku kepadanya. "Ya... alhamdulillah!" jawab kakakku tersenyum. Andaipun saya yang jadi tuan rumah waktu itu, saya juga akan bersikap serupa. Senyum, tanda ungkapan kebahagiaan. "Alhamdulillah tidak hujan". Lanjut kakakku, 'menghindar' dari topik pembicaraan kami dan beralih tentang cuaca. Hujan memang paling ditakuti oleh orang yang punya hajat. Terlepas apakah sang tuan rumah menanti 'bawaan' si tamu, ataukah hanya tamunya, hujan tetap jadi penghambat. Berbicara tentang hujan ini, betapa enaknya orang-orang di negeri Arab sana yang jarang hujan, mereka bisa punya hajat setiap saat!

Kembali ke hajatan kakakku...

Sesudah itu aku mencoba 'menyendiri' ditengah-tengah keramaian para tamu. Menyendiri bukan dalam artian fisik, namun psikologis. Aku jadi mikir, dari sekian ratus tamu yang datang tadi, adakah mereka benar-benar punya duit untuk menghadiri hajatan kakakku? Adakah mereka jujur dengan keadaan diri mereka sendiri? Jangan-jangan hanya karena mereka tidak ingin menyakiti hati kakakku sehingga mereka datang dalam acara pernikahan tersebut. Jangan-jangan anggota keluarga mereka ada yang sedang sakit, membutuhkan obat dan butuh duit yang tidak sedikit untuk kepentingan itu. Jangan-jangan anggota keluarga mereka juga ada yang punya hajat yang sama yang membutuhkan beaya pula. Pokoknya, macam-macam lah yang ada di pikiran ini sehingga membuatku tidak 'bahagia' di hari yang mestinya saya turut berbahagia menyaksikan pernikahan keponakanku.

Aku tidak sempat berbicara kepada siapapun tentang konflik yang saya alami pada hari itu. Saya pikir saya saja yang terlalu melebih-lebihkan hal-hal yang mestinya wajar. Sudah berapa ratus tahun peristiwa serupa terjadi, toh tidak ada orang yang 'mengeluh'. Masyarakat menganggap hal ini wajar. Take and give, kata mereka. Ada saat dimana kita memberi, dan ada saat kita menerima. Walaupun, memberi memang lebih baik dari pada menerima. Tangan diatas lebih baik daripada tangan yang dibawa.

Siang tadi, seorang rekan bertanya kepada saya, "Kamu punya uang berapa?" Saya tahu pasti ada alasan dibalik pertanyaan ini. Saya bukan bank, tapi kalau uang sedikit insyaallah ada! "Tapi untuk apa?" Kataku berusaha ingin jawaban terbuka. "Keponakanku akan menikah" jawabnya. "Lantas kalau mau menikah, apa urusanmu?" tanya saya pura-pura tidak mengerti akan maksudnya. "Ya...kamu tahu sendiri kan? Saya kan pamannya, masak nggak ngasih apa-apa?" jelasnya. "Kamu memang pamannya, namun kalau kamu nggak punya sesuatu untuk diberikan, apa lantas harus pinjam kesana-kemari?" ungkapku berusaha menyeberang terhadap pola pikiran yang ada di benaknya. "Kalau aku nggak ngasih apa-apa, mukaku ini ditaruh dimana? Orang-orang kan pada ngomongin, si Fulan ngasih apa sama kamu?, padahal si itu ngasih ini, si ini ngasih itu... dan seterusnya! Kami sudah terbiasa menyumbang sesuatu jika salah satu keluarga kami ada yang punya hajat!"

"Saya mengerti maksudmu. Yang tidak saya mengerti adalah, kalau kamu nggak punya saat ini, kenapa mesti repot-repot harus hutang ke orang lain. Bilang aja sama keponakanmu nanti deh, hadiah dari paman nyusul. Kan beres?"

Dasar pelit! Barangkali itulah kesan yang ada pada temanku tentang sikapku yang 'nyeleneh'.

Tidak sesederhana yang saya duga!

Dua kejadian diatas adalah salah satu bentuk budaya kita yang tanpa disadari dapat melilit leher saudara-saudara kita sendiri. Kita seringkali justru tidak berusaha jujur dengan diri sendiri. Kalau dalam kondisi punya, barangkali bukan jadi masalah untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Namun kalau kondisi kita juga kepepet? Apakah orang lain juga bisa berbahagia andai saja mengetahui bahwa hasil pemberian kita tadi adalah buah dari hutang? Saya tidak jamin! Kecuali naluri sosial kemanusiaan kita sudah leleh.

Orang-orang Barat saja, yang katanya nilai moralnya mulai luntur, bahkan mengalami dekadensi, jika menghadiri undangan semacam tidak harus membawa hadiah. Sementara kita yang katanya penuh santun, sudah dipermak sedemikian rupa bahwa undangan pesta, apakah itu pernikahan dan semacamnya selalu dikaitkan dengan duit dan kado. Padahal orang kan nggak tidak selalu secara finansial cukup?

Oleh karena itu saya setuju sekali jika suatu saat dalam undangan tertulis 'Tidak Menerima Kado atau Uang Sumbangan!' Seorang rekan saya asal Semarang pernah melaksanakan hal serupa. Membuat saya salut! Dengan demikian, orang yang akan menghadiri hajatan tersebut benar-benar merasa bahwa yang diharapkan oleh si empunya hajat adalah 'doa restu' nya, bukan kado apalagi duitnya. Sikap yang sama juga akan menghindarkan terjadinya unsur 'paksaan' terhadap mereka yang di hari hajatan tersebut sedang 'kosong' sakunya.

Kapan kita bisa melakukan hal yang serupa? Butuh perjuangan yang tidak ringan. Diperlukan pembelajaran kepada masyarakat tentang budaya yang tidak seharusnya kita pertahankan mati-matian. Siapapun tahu, membantu beban mereka yang punya hajat itu adalah sikap yang terpuji. Tradisi masyarakat, utamanya di pedesaan, bantuannya terkadang tidak tanggung-tanggung, bisa berupa kambing hingga sapi. Padahal, belum tentu mereka mampu membelinya. Praktek yang ada justru biasanya karena dulu kita pernah menyumbang sapi ke si Fulan, maka hajatan mendatang ini, giliran si Fulan yang harus menyumbang sapi sama kita. Kalau sudah begini yang terjadi, dimana unsur bantuannya? Dimana keikhlasannya? Apa bedanya dengan hutang?

Kendala yang kedua, masyarakat kita kadang masih mau memaksakan sesuatu diluar jangkauan kemampuannya. Sudah mengetahui bahwa secara ekonomi misalnya kurang mampu, kenapa harus merencanakan hajatan yang besar? Undangan mencapai 500 orang, hiburan kalau perlu Dangdut, penyanyi terkenal dari Ibu Kota, pakaian seragam buat seluruh yang terlibat dalam pesta, sound system yang bagus, penata rias yang beken dan lain-lain. Akhirnya? Budget yang semula bisa terjangkau, jadi membengkak. Guna menutupinya, hal-hal yang mestinya bisa dihindari akhirnya justru membebani. Yang paling tidak diinginkan, apabila niat hajatan yang tadinya mengharapkan 'doa restu', berubah menjadi berharap 'kado' dari para tamu.

Masyarakat perlu pembelajaran akan kesadaran yang satu ini. Itu bisa dimulai dari diri sendiri untuk tidak terbiasa mengikuti arus budaya yang selama ini justru tidak mendidik. Biarlah apa kata orang tentang kita, selagi niat kita tulus dan ibadah. Seringkali kita melakukan sesuatu hanya karena kuatir omongan orang meskipun tidak mendidik sifatnya. "Tuh si Fulan, uangnya digunakan tuk apa? Masa hajatannya begitu sederhana sekali? Hanya 100 orang yang diundang?" dan sebagainya. Memangnya kalau 100 kenapa? Bahkan meski 500 orang pun yang kita undang, masyarakat juga masih ngomong terus tentang segala kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh si Fulan. Ini terjadi karena proses pembelajaran masyarakat tadi belum terbentuk.

Repot sekali bermasyarakat?

Contoh kecil lain: Zulaikah adalah ibu rumah tangga yang baru pindah ke sebuah perkampungan, katakanlah perumnas. Ibu disekitarnya akan membicarakan Zulaikah sebagai ibu yang tidak mau bergaul sama tetangganya jika dia tidak pernah keluar rumah. Jika pun si Zulaikah sebagai orang baru, setiap hari keluar mengunjungi tetangganya, saya yakin si tetangga juga menggunjingnya sebagai orang yang senang keluyuran. Lucunya, kalaupun Zulaikah mengunjungi tetangganya Senin-Kamis, masih tetap juga dibicarakan, bahwa Zulaikah sebagai orang yang plin-plan. Kan?

Seorang rekan mengatakan begitulah resiko hidup bermasyarakat. Mereka yang hidup di pedalaman hutan sana tidak disibukkan dengan aneka ragam undangan sebagaimana yang kita temui sekarang ini. Seorang rekan lainnya mengatakan pemberian kado atau sumbangan adakalanya sudah menjadi kesepakatan masyarakat yang tak tertulis. Ada pula yang mengistilahkan kebiasaan ini sebagai suatu 'arisan'.

Apapun istilah yang disebutkan untuk kegiatan yang satu ini, hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya fenomena diatas. Nilai positif nya tidak dapat dipungkiri, namun segi negatifnya juga tidak terabaikan. Pemberian undangan kepada mereka yang kurang mampu atau yang sedang 'terdesak' cenderung mengandung unsur 'pemaksaan'.

Jika upaya pendidikan yang sederhana tentang kasus diatas tidak diperkenalkan kepada masyarakat, kapan masyarakat kita mulai belajar? Setidaknya belajar mengetahui penderitaan orang lain lewat introspeksi kala mereka punya hajat. Masyarakat perlu tahu bahwa dikala menyelenggarakan sebuah hajatan, tidak semua tamu yang kita undang itu punya duit untuk memberikan kado atau sumbangan.

Dari tamu-tamu yang kita undang, adakalanya mereka tidak dapat memenuhinya karena beberapa alasan, diantaranya adalah karena kondisi finansial yang memang tidak mendukung. Namun, betapa sedih sebenarnya jika kita pada akhirnya mengetahui bahwa sebagian orang-orang yang kita undang, ternyata dalam kondisi yang terpaksa untuk menghadirinya. Bukannya ikhlas. Hanya karena ingin membayar 'hutang' terhadap kado atau sumbangan yang pernah kita berikan kepada mereka di masa lalu mereka lantas memenuhi hajatan. Wallahualam!

Syaifoel Hardy


sumber : eramuslim 

0 komentar:

Posting Komentar