Beberapa diantara kita laksana tinta,
Dan beberapa lagi seperti kertas
Jika bukan karena hitamnya, sebagian kita menjadi bisu
Jika bukan karena
putihnya, sebagian kita menjadi buta
(Gibran)
Mudah-mudahan
apa yang akan saya sampaikan berikut, memberikan manfaat. Tadinya saya tidak
berniat menuliskan sosok bersahaja ini. Insya Allah, saya bukan sedang
mengkultuskan seseorang, saya hanya ingin membagi pesonanya dengan kalian. Sebut
saja 'Kang Wahid'.
Ibu saya harus ke rumah sakit minggu kemarin. Demam
tinggi dan dehidrasi, menyebabkannya kekurangan cairan. Akhirnya orang rumah
berinisiatif menginapkan ibunda di sebuah kamar rumah sakit. Untuk membawa ibu
ke rumah sakit, saya mendatangi 'Kang Wahid', meminjam mobilnya. "Jam 8 yah"
pinta saya, menyebutkan waktu mengantarkan ibu.
Terakhir berakrab-akrab
dengan beliau, ketika kami belajar ngaji. Sudah lama sekali, mungkin hampir 7
tahun yang lalu. Dia menjelma guru ngaji yang sama sekali jauh dari atribut
ustadz seperti yang sekarang ini saya lihat. Dia tidak berbaju koko, jeans belel
di padu dengan kemeja kotak-kotak lebih sering menjadi kostum kebanggaannya.
Kami tidak pernah mendapatinya memakai peci, dia sendiri bilang "lucu kali yah
rambut gondrong memakai peci". Selalu bersandal jepit, dan yang pasti dia baru
saja lulus SMU, bukan jebolan pesantren. Yang membuat banyak orang terpesona
mungkin karena dia tidak pernah absen berjamaah shalat di mesjid setiap
waktunya.
Suatu malam, kang Wahid datang menemui ayah. "Nak, kang Wahid
ngajak ngaji bareng tuh. Tempatnya di rumah pak lurah, selepas maghrib. Awas
kalo ngga ikut!" itu yang diucapkan ayah setelah kang Wahid pergi. Nampaknya
orang tua yang memiliki anak perempuan seusia saya saat itu didatangi kang Wahid
satu persatu. Dan mungkin karena diplomasinya yang bagus, para Ayah mengharuskan
kami menghabiskan selepas maghrib di rumah pak lurah. Mengaji.
Jadilah,
kami mengaji. Jangan berharap bisa absen, karena sebelumnya kami disatroni satu
persatu. Dari luar pagar rumah, suara khasnya menggema setiap bubaran shalat
maghrib. "Ngaji, dek!". "Kasihan, sudah capek-capek keliling, masa kamu tidak
datang!" itu yang ibu saya katakan setiap kali saya ingin absen ngaji, karena
ada ulangan di sekolah.
Mengajinya sederhana, baca al-qur'an setiap
orang 5 ayat, selanjutnya mendengarkan terjemahannya. Setelah selesai, dia akan
membacakan tentang banyak hal yang didapatinya dari sebuah buku. Kalau tidak
salah buku panduan menjadi muslim yang baik. Begitu saja. Yang tidak sederhana
mungkin kelakuan kami kepadanya. Kami sering sekali membuatnya menautkan alis.
Membuatnya pulang tanpa sandal seringkali terjadi. Menaburkan garam di air putih
yang disediakan tiap mengaji, bukan hal yang baru. Membuatnya terkejut, karena
tiba-tiba kami berada dibelakang pintu dan berteriak "Daarrrr". Sampai
mencandainya terang-terangan "Aduh kang Wahid, ganteng deh malam ini!!!". Yang
terakhir efeknya ternyata tidak bagus, ngajinya seringkali jadi berantakan.
Karena setiap kali dia terlihat salah tingkah, kami semakin bertanduk dan
memujinya lagi.
Kang Wahid dikenal soleh, oleh orang-orang kampung, tua
muda, bahkan anak-anak. Ayah saya pernah bilang "Kalau saja pemuda yang tertaut
hatinya pada mesjid seperti Kang Wahid lebih dari satu, ulama di desa kita ngga
harus khawatir kehilangan penerus". Saat itu Ayah menambahkan, "Tadi subuh, ayah
ngobrol dengannya. Dia baru di vonis hidup enam bulan lagi oleh Dokter.
Jantungnya semakin akut."
Kabar vonis menyebar ke seantero kampung.
Banyak yang berempati, termasuk kami yang mengaji. Kami semua tahu usianya masih
sangat muda. Tapi anehnya beliau tenang-tenang saja. Saat kami menanyakan "Kang
gimana perasaannya sekarang?" sebuah jawaban yang terlontar sama sekali tidak
kami perkirakan "Ah biasa saja, maut itu di tangan Allah, ghaib. Bisa jadi
kalian duluan!". Suatu waktu dia bercerita telah bertengkar dengan dua orang
pada hari yang sama, pertama ibunya dan yang kedua paranormal. Ibunya mengajak
ke paranormal yang bisa menghilangkan semua penyakit, setelah bertengkar hebat,
akhirnya Kang Wahid mau menemui si Paranormal. Nah saat si "mbah" membaca
mantera, biasanya pasiennya langsung rubuh, tapi kang Wahid tidak, kang Wahid
malah berdakwah di depan si mbah yang sedang beraksi. Buntut-buntutnya karena
ngga mau rubuh juga, kepala kang Wahid dibenturkan si Mbah ke tembok, kali ini
kang Wahid memang rubuh. Pas pamitan mau pergi, si Mbah marah-marah sama ibunya,
gara-gara kang Wahid beberapa ilmunya terlepas.
***
Enam bulan
berlalu, dan kami masih dapat menjumpai kang Wahid di rumah pak Lurah. Kematian
memang bukan urusan manusia. Kampung kami masih dapat mendengar suara adzannya,
kami tidak kehilangan sosok yang mengurusi madrasah, Kang Wahid masih saja
membina para pemuda sehabis isya, dan Kang Wahid masih tekun mengelola warung di
depan rumahnya. Bukan itu saja, selanjutnya Kang Wahid membuka pengajian ibu-ibu
setiap hari Kamis.
Beberapa waktu selanjutnya, surat kaleng beredar pada
kami yang mengaji, surat yang dikirimkan lewat pos, pengirimnya "Hamba Allah di
Totogan Masjid". Saat itu kami sepakat, mengarahkan telunjuk pada satu orang
tersangka, siapa lagi kalau bukan Kang Wahid. Kami memboikot untuk tidak
mengaji. Tapi karena bukti yang kami punya sama sekali tidak ada, maka acara
pemboikotan tidak berlangsung lama. Saat mengaji lagi, kang Wahid berkata "adik
saya mendapat surat kaleng, apa kalian juga?". Pernyataan tadi, membuat kami
melepaskan semua praduga. Saya masih mengingat suratnya beberapa kalimat,
kalimat yang membekas karena begitu pedas.
"Surat ini saya tujukan bukan
untuk tukang bakso atau tukang sayur, tapi hanya untuk saudariku Muslimah yang
dicintai Allah dan mempunyai akal yang pintar" "Saudariku, kenapa kau kenakan
jilbab hanya disekolah saja, sedangkan setelah pulang ke rumah kau tanggalkan
begitu mudah. Apa kau bangga ditatap tukang sayur, apa kau gembira auratmu
dilihat tukang bakso"
Mujarab juga, suratnya, meski hanya untuk beberapa
lama. Kami berjilbab ke luar rumah dan selanjutnya bongkar pasang lagi. Dari
anak pak lurah yang sama-sama mengaji, ternyata bukan hanya kami, pak lurah juga
mendapatkan surat kaleng, isinya kritik tajam, tentang hiburan dangdutan yang
diselenggarakan pak lurah karena terpilih lagi menjadi lurah. Konon pak lurah
sampai banyak melamun dan tidak bisa tidur, investigasi pun dilakukan.
***
"Kampung kita mengenaskan sekarang" kata si Akang tadi sore
setelah membesuk ibu. "Surat kaleng sudah tidak ampuh lagi" tambahnya. Maka
sekonyong-konyong memori saya berlari, pada saat saya bersama teman-teman
berembuk mencari tersangka pengirim surat kaleng berlabel "Hamba Allah di
Totogan Masjid". Ingin sekali saya bersorak, karena saya sudah tahu siapakah
dia. Hanya saya malu, karena saat itu ada seseorang yang baru saja menyandang
status "Istri Kang Wahid". "Kang lain kali, pengirimnya jangan Hamba Allah di
Totogan masjid, tulis saja Dari Presiden Republik Indonesia, biar cespleng" saya
mengucapkannya sambil menahan senyum. "Eh Jangan bilang-bilang neng..." seru
Kang Wahid seperti kena setrum. Saking gembiranya, saya sampai menuangkannya ke
dalam tulisan.
Sampai sekarang, jantungnya masih saja
lemah.
Husnul Rizka
Mubarikah
mahabbah12@yahoo.com
sumber :
eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar