Sabtu, 06 Februari 2016

Hamba Allah Di Totogan Masjid

Beberapa diantara kita laksana tinta,
Dan beberapa lagi seperti kertas
Jika bukan karena hitamnya, sebagian kita menjadi bisu
Jika bukan karena putihnya, sebagian kita menjadi buta


(Gibran)

Mudah-mudahan apa yang akan saya sampaikan berikut, memberikan manfaat. Tadinya saya tidak berniat menuliskan sosok bersahaja ini. Insya Allah, saya bukan sedang mengkultuskan seseorang, saya hanya ingin membagi pesonanya dengan kalian. Sebut saja 'Kang Wahid'.

Ibu saya harus ke rumah sakit minggu kemarin. Demam tinggi dan dehidrasi, menyebabkannya kekurangan cairan. Akhirnya orang rumah berinisiatif menginapkan ibunda di sebuah kamar rumah sakit. Untuk membawa ibu ke rumah sakit, saya mendatangi 'Kang Wahid', meminjam mobilnya. "Jam 8 yah" pinta saya, menyebutkan waktu mengantarkan ibu.

Terakhir berakrab-akrab dengan beliau, ketika kami belajar ngaji. Sudah lama sekali, mungkin hampir 7 tahun yang lalu. Dia menjelma guru ngaji yang sama sekali jauh dari atribut ustadz seperti yang sekarang ini saya lihat. Dia tidak berbaju koko, jeans belel di padu dengan kemeja kotak-kotak lebih sering menjadi kostum kebanggaannya. Kami tidak pernah mendapatinya memakai peci, dia sendiri bilang "lucu kali yah rambut gondrong memakai peci". Selalu bersandal jepit, dan yang pasti dia baru saja lulus SMU, bukan jebolan pesantren. Yang membuat banyak orang terpesona mungkin karena dia tidak pernah absen berjamaah shalat di mesjid setiap waktunya.

Suatu malam, kang Wahid datang menemui ayah. "Nak, kang Wahid ngajak ngaji bareng tuh. Tempatnya di rumah pak lurah, selepas maghrib. Awas kalo ngga ikut!" itu yang diucapkan ayah setelah kang Wahid pergi. Nampaknya orang tua yang memiliki anak perempuan seusia saya saat itu didatangi kang Wahid satu persatu. Dan mungkin karena diplomasinya yang bagus, para Ayah mengharuskan kami menghabiskan selepas maghrib di rumah pak lurah. Mengaji.

Jadilah, kami mengaji. Jangan berharap bisa absen, karena sebelumnya kami disatroni satu persatu. Dari luar pagar rumah, suara khasnya menggema setiap bubaran shalat maghrib. "Ngaji, dek!". "Kasihan, sudah capek-capek keliling, masa kamu tidak datang!" itu yang ibu saya katakan setiap kali saya ingin absen ngaji, karena ada ulangan di sekolah.

Mengajinya sederhana, baca al-qur'an setiap orang 5 ayat, selanjutnya mendengarkan terjemahannya. Setelah selesai, dia akan membacakan tentang banyak hal yang didapatinya dari sebuah buku. Kalau tidak salah buku panduan menjadi muslim yang baik. Begitu saja. Yang tidak sederhana mungkin kelakuan kami kepadanya. Kami sering sekali membuatnya menautkan alis. Membuatnya pulang tanpa sandal seringkali terjadi. Menaburkan garam di air putih yang disediakan tiap mengaji, bukan hal yang baru. Membuatnya terkejut, karena tiba-tiba kami berada dibelakang pintu dan berteriak "Daarrrr". Sampai mencandainya terang-terangan "Aduh kang Wahid, ganteng deh malam ini!!!". Yang terakhir efeknya ternyata tidak bagus, ngajinya seringkali jadi berantakan. Karena setiap kali dia terlihat salah tingkah, kami semakin bertanduk dan memujinya lagi.

Kang Wahid dikenal soleh, oleh orang-orang kampung, tua muda, bahkan anak-anak. Ayah saya pernah bilang "Kalau saja pemuda yang tertaut hatinya pada mesjid seperti Kang Wahid lebih dari satu, ulama di desa kita ngga harus khawatir kehilangan penerus". Saat itu Ayah menambahkan, "Tadi subuh, ayah ngobrol dengannya. Dia baru di vonis hidup enam bulan lagi oleh Dokter. Jantungnya semakin akut."

Kabar vonis menyebar ke seantero kampung. Banyak yang berempati, termasuk kami yang mengaji. Kami semua tahu usianya masih sangat muda. Tapi anehnya beliau tenang-tenang saja. Saat kami menanyakan "Kang gimana perasaannya sekarang?" sebuah jawaban yang terlontar sama sekali tidak kami perkirakan "Ah biasa saja, maut itu di tangan Allah, ghaib. Bisa jadi kalian duluan!". Suatu waktu dia bercerita telah bertengkar dengan dua orang pada hari yang sama, pertama ibunya dan yang kedua paranormal. Ibunya mengajak ke paranormal yang bisa menghilangkan semua penyakit, setelah bertengkar hebat, akhirnya Kang Wahid mau menemui si Paranormal. Nah saat si "mbah" membaca mantera, biasanya pasiennya langsung rubuh, tapi kang Wahid tidak, kang Wahid malah berdakwah di depan si mbah yang sedang beraksi. Buntut-buntutnya karena ngga mau rubuh juga, kepala kang Wahid dibenturkan si Mbah ke tembok, kali ini kang Wahid memang rubuh. Pas pamitan mau pergi, si Mbah marah-marah sama ibunya, gara-gara kang Wahid beberapa ilmunya terlepas.

***

Enam bulan berlalu, dan kami masih dapat menjumpai kang Wahid di rumah pak Lurah. Kematian memang bukan urusan manusia. Kampung kami masih dapat mendengar suara adzannya, kami tidak kehilangan sosok yang mengurusi madrasah, Kang Wahid masih saja membina para pemuda sehabis isya, dan Kang Wahid masih tekun mengelola warung di depan rumahnya. Bukan itu saja, selanjutnya Kang Wahid membuka pengajian ibu-ibu setiap hari Kamis.

Beberapa waktu selanjutnya, surat kaleng beredar pada kami yang mengaji, surat yang dikirimkan lewat pos, pengirimnya "Hamba Allah di Totogan Masjid". Saat itu kami sepakat, mengarahkan telunjuk pada satu orang tersangka, siapa lagi kalau bukan Kang Wahid. Kami memboikot untuk tidak mengaji. Tapi karena bukti yang kami punya sama sekali tidak ada, maka acara pemboikotan tidak berlangsung lama. Saat mengaji lagi, kang Wahid berkata "adik saya mendapat surat kaleng, apa kalian juga?". Pernyataan tadi, membuat kami melepaskan semua praduga. Saya masih mengingat suratnya beberapa kalimat, kalimat yang membekas karena begitu pedas.

"Surat ini saya tujukan bukan untuk tukang bakso atau tukang sayur, tapi hanya untuk saudariku Muslimah yang dicintai Allah dan mempunyai akal yang pintar" "Saudariku, kenapa kau kenakan jilbab hanya disekolah saja, sedangkan setelah pulang ke rumah kau tanggalkan begitu mudah. Apa kau bangga ditatap tukang sayur, apa kau gembira auratmu dilihat tukang bakso"

Mujarab juga, suratnya, meski hanya untuk beberapa lama. Kami berjilbab ke luar rumah dan selanjutnya bongkar pasang lagi. Dari anak pak lurah yang sama-sama mengaji, ternyata bukan hanya kami, pak lurah juga mendapatkan surat kaleng, isinya kritik tajam, tentang hiburan dangdutan yang diselenggarakan pak lurah karena terpilih lagi menjadi lurah. Konon pak lurah sampai banyak melamun dan tidak bisa tidur, investigasi pun dilakukan.

***

"Kampung kita mengenaskan sekarang" kata si Akang tadi sore setelah membesuk ibu. "Surat kaleng sudah tidak ampuh lagi" tambahnya. Maka sekonyong-konyong memori saya berlari, pada saat saya bersama teman-teman berembuk mencari tersangka pengirim surat kaleng berlabel "Hamba Allah di Totogan Masjid". Ingin sekali saya bersorak, karena saya sudah tahu siapakah dia. Hanya saya malu, karena saat itu ada seseorang yang baru saja menyandang status "Istri Kang Wahid". "Kang lain kali, pengirimnya jangan Hamba Allah di Totogan masjid, tulis saja Dari Presiden Republik Indonesia, biar cespleng" saya mengucapkannya sambil menahan senyum. "Eh Jangan bilang-bilang neng..." seru Kang Wahid seperti kena setrum. Saking gembiranya, saya sampai menuangkannya ke dalam tulisan.

Sampai sekarang, jantungnya masih saja lemah.

Husnul Rizka Mubarikah
mahabbah12@yahoo.com



sumber : eramuslim

0 komentar:

Posting Komentar