Sabtu, 30 Januari 2016

Berbicara, Mendulang Pahala atau Dosa?

Bicara adalah kebutuhan.. Dengan bicara gagasan-gagasan yang tersimpan di kepala, dan emosi yang tersimpan di hati jadi bisa ditangkap oleh orang lain. Hal ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi kita. Bahkan menyehatkan! Apalagi bila kemudian gagasan dan emosi kita ini direspon oleh lawan bicara, tentu ini makin membuat kita merasa diperhatikan.

Begitu banyak orang yang merasa diterima di sebuah lingkungan hanya gara-gara dia bisa mendominasi pembicaraan atau karena orang-orang mau mendengarkan kata-katanya, juga mengagumi isi ceritanya. Respon yang positif ini akan mendorong seseorang untuk melakukaan hal yang sama di lain tempat dan waktu.

Sebaliknya banyak orang yang merasa ditolak hanya gara-gara dia tidak bisa mengimbangi lawan bicaranya, atau tak ada yang mengagumi cerita-ceritanya, bahkan tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya.

Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya. Semua kata yang keluar dari lisan seorang muslim seharusnya punya konsekuensi yang lebih besar dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Ini disebabkan seorang muslim berbicara diawali dengan pemahaman atas apa yang dia bicarakan dan pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia bicarakan, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Pemahaman atas apa yang dia bicarakan membuat seorang muslim tidak bicara “ngaco”. Ilmu menjadi dasarnya, baik ilmu yang diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal, bahkan ilmu dari pengalaman hidup sekalipun. Pemahaman terhadap ilmu ini akan membuat seorang muslim bisa bijaksana memilah kata-kata yang tepat, sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan orang yang diajak bicara.

Pengetahuan tentang konsekuensi atas apa yang dia bicarakan pun akan mendorong seorang muslim untuk menjaga lisannya agar hanya mengeluarkan kata-kata terbaik yang mengandung kemanfaataan dan keselamatan bagi orang lain. Bukan sekedar kata-kata basa-basi dengan harapan mendapat decak kagum dari orang lain. Bukan juga kalimat-kalimat manis yang diluncurkan hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, tanpa ada nilai manfaatnya bagi orang lain.

Dalam beberapa hal, ini masih bisa ditolerir pada batas-batas tertentu. Namun bila kemudian menjadi kebiasaan yang berkepanjangan dikhawatirkan bisa menjerumuskan kita pada kata-kata dusta tanpa kita sadari, hanya untuk tujuan ini; tujuan pengakuan dari orang lain. Sungguh, sebuah kebohongan yang kita ucapkan sekali, dan kemudian kita ulangi kedua kali bahkan sampai ketiga kalinya tanpa adanya penyesalan akan menjadikan kita terbiasa olehnya.

Satu kata kebaikan yang keluar dari lisan seorang muslim pun punya konsekuensi bahwa dialah orang pertama yang melaksanakan kata-katanya tersebut. Apa pun kata-kata itu; diucapkan langsung ataupun dalam bentuk tulisan. Bukan suatu yang mudah memang. Kadang tuntutan ini membuat kita jadi takut mengajak orang lain pada kebenaran. Akhirnya kita lebih memilih diam. Padahal satu kebaikan yang kita sebarkan melalui kata-kata kita, kemudian orang lain ikut melaksanakan, maka pahalanya akan mengalir kepada kita tanpa mengurangi pahala orang yang melaksanakannya sedikit pun. Apalagi jika kebaikan itu terus menyebar dan dilaksanakan oleh banyak orang, terus dan terus.

Begitu murahnya Allah memberikan balasan berlipat-lipat atas kebaikan yang telah kita ucapkan kepada orang lain, walau itu hanya sepatah kata. Jika kemudian Allah juga menuntut kita untuk melaksanakan kata-kata kita, itu bukan bermaksud untuk memberatkan, tapi untuk menunjukkan kepada kita bahwa apa pun yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawabannya.

Berbicara untuk kebaikan dan kemanfaatan akan mudah kita lakukan jika ini sudah menjadi kebiasaan.Tanpa diformat terlebih dahulu, semuanya akan mengalir dengan sendirinya. Mudah dan ringan. Tentu saja bagi yang belum terbiasa harus memformat awal semua kebaikan di dalam kepala dan hati kita, kemudian kita ingatkan diri kita untuk mengulanginya kembali, melaksanakan sedikit demi sedikit apa yang kita mampu, berulang-ulang, sampai kemudian menjadi kebiasaan yang keluar secara otomatis. Yang jelas memang butuh waktu dan proses. Dengan demikian gagasan-gagasan dan emosi yang tersimpan di kepala dan hati bisa kita keluarkan dengan lebih baik, tanpa menimbulkan kesia-siaan bagi diri kita juga bagi orang lain.

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kemurkaan Allah atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu perbuat.” (ash shaff : 2-3). Wallahu a’lam. (Kinan Nasanti)

sumber : eramuslim 

Berapa Nilai Dirimu, Saudaraku ?

Kita makhluk yang paling mulia yang telah diciptakan oleh Allah SWT, makhluk yang paling kuat karena ternyata dari sekian ratus ribu sel sperma yang berjuang untuk hidup, kita lah pemenangnya. Pernahkah kita berpikir untuk memberikan berapa nilai dari diri kita? Apakah harga diri kita hanya sebatas dunia yang ingin kita kuasai, emas dan perak yang ingin kita miliki?

Padahal jelas - jelas Rasulullah bersabda, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi : “Dunia ini terkutuk, semua yang ada di dalamnya terkutuk, kecuali dzikir kepada Allah, hal-hal yang bersangkutan dzikir, seorang ‘alim dan seorang pelajar.” Dunia dengan emas dan peraknya, kekuasan dan jabatan yang selalu ingin kita kejar, kemewahan dengan rumah megahnya, sama sekali tidak berhak mengalirkan setetes pun air mata kita. Terkadang kita melupakan bahwa dunia ini hanyalah titipan buat kita. Demikian yang dikatakan oleh Labid.

Harta dan keluarga tak lain adalah barang titipan, dan suatu saat barang titipan itu akan dikembalikan.

Tapi sekali lagi, terkadang kita benar-benar melupakannya, selalu setiap bergantinya hari yang kita pikirkan hanyalah bagaimana agar bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita perlukan, dan pernahkah kita berpikir, apakah saudara-saudara kita di luar sana membutuhkan bantuan kita hanya untuk sekedar makan hari ini?, pernahkah terbersit sedikit saja dipikiran kita bahwa mereka sebenarnya meminta bantuan kita,hanya saja kita selalu membutakan mata dan menulikan telinga kita untuk mereka?

Lalu, apakah kita juga mengetahui kalau setiap jiwa mukmin itu lebih berharga dari dunia dan seisinya?, Dan pernahkah kita sedikit saja merenung, bahwa semua kekayaan dan kedudukan yang kita miliki bisa menangguhkan bahkan menghambat maut dari kita, dapat menolong kita dari siksa dan azabnya Allah?, Jika kita tahu jawabannya tidak, lalu kenapa kita masih selalu saja menghargai diri kita hanya sebatas harta, emas dan perak?

Demi hidupmu, kekayaan takkan memberi manfaat kepada seorang pun ketika dada sudah tersengal dan sesak (Hatim Ath-Thai)

Pertanyaannya adalah seberapa besarkah nilai kita sebagai seorang manusia yang mulia dan manusia yang terpilih?

Hasan Al-Bashri mengatakan, ”Jangan tentukan harga dirimu kecuali dengan surga. Jiwa orang yang beriman itu mahal, tapi sebagian dari mereka justru menjualnya dengan harga yang murah.”

Sayangnya, hanya sebagian kecil dari kita yang menyadari kalau jiwa kita sebagai makhluk yang beriman sangatlah mahal, atau mungkin kita selalu berpikir kalau harta dan dunia ini lebih berharga dan lebih mahal dari sebuah jiwa yang beriman, sehingga yang sering kita tangisi adalah di saat kita kehilangan uang, kebakaran rumah yang mewah, kehilangan pekerjaan, kita tidak pernah merasa menyesal dan menangis ketika hati kita mulai terasa mati dan jauh dari Allah, tidak pernah ada air mata ketika kita mengingat semua dosa-dosa yang telah kita perbuat, lalu jika sudah seperti ini, apa lagi yang bisa kita harapkan untuk membantu kita di hari akhir nanti?, dan jika ketaatan kepada Rabb sudah tidak ada lagi, maka dapatkah terwujud untuk mendapatkan cinta-Nya dan bertemu dengan-Nya dalam keadaan terbaik?

Subhanallah, ketika menuliskan artikel ini pun, saya berusaha untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada, akankah keinginan untuk memiliki sebuah rumah di syurga-Nya dan engkau menjadi tetangga saya ya saudaraku, dapat terwujud? Insyaallah, Amin.

Amda Usnaka
Stt Telkom
usnaka@yahoo.com


sumber : eramuslim 

Berani Hidup

Aktivitas harian kadang menghadirkan rasa bosan sampai ke tingkat jenuh. Badan malas bergerak dan otak jadi malas mikir. Sangat tidak produktif! Yah, hari itu giliran saya mengalami entah untuk yang keberapa kalinya. Walau telah banyak buku teori yang dibaca sebagai penangkal, masih saja gagal.

Bermalas-malasan menjadi satu-satunya pilihan sambil berusaha merangkai khayalan yang indah tentang segala obsesi yang belum tercapai. Silih berganti dengan berandai-andai yang tanpa sadar membawa kepada rasa putus asa, "andai saja…" dan sederet rasa penyesalan yang tak kunjung usai. (Jauh sekali dari ummat dambaan Rasulullah: seorang mukmin yang kuat).

Kuasa Allah mengalihkan khayalan itu jadi sebuah perenungan yang panjang. Suara hati berebutan dalam proses penyadaran.

"Kamu Pengecut, kamu tidak berani hidup! Orang yang berani hidup akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, karena hidup yang sekarang hanyalah sementara. Dia takkan menyia-nyiakannya, dia ingin hidup bahagia selamanya disamping Rabbul Izzati”

“Bukankah kamu pernah membaca? Rasulullah bersabda “dunia adalah sebaik-baik kendaraan menuju akhirat". Dengan caramu sekarang, jangan harap deh kamu bisa menghasilkan yang terbaik".

"Wake up donk! Atau kamu ingin bergabung bersama mereka yang bunuh diri hingga kamu tidak perlu lagi capek di hari esok atau kamu akan biarkan syarafmu tegang terus jadi tidak berfungsi hingga esok hari tidak usah berpikir lagi?”.

“Allah kuasa memberi peringatan dalam bentuk apapun. Kenapa harus menunggu peringatan itu datang kalau akal sehat masih mampu memperbaiki kesalahan yang terjadi? Menurut berita terbaru, 3 dari 1000 orang di Indonesia sakit jiwa. Kamu ingin menambah panjang daftar itu?”

Na’udzubillaahi min dzalik. Saya sadar... kemalasan telah 'mengecilkan' keberadaan Sang Khalik yang telah mempersembahkan semua yang terbaik untuk hamba-Nya. Awan beraneka rupa, tak pernah sama dari hari ke hari. Dihadirkan-Nya duka agar saya bisa merasakan indahnya bahagia, dihadiahi-Nya rasa gagal agar saya bisa memanjatkan syukur yang tak berhingga ketika berhasil. Sayalah yang menjadikan hidup terasa menjemukan. Astaghfirullahal’adziim. Sesungguhnya Allah tidak pernah zalim kepada hamba-hambaNya. Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazhaalimin.

Ya, segala hal yang bersifat manusiawi selalu bisa jadi alasan hingga kita permisif dalam menyikapi kemalasan dan kejenuhan. Bukan berarti, kita harus memaksakan diri dalam melakukan suatu pekerjaan. Bukan! Masih banyak alternatif lain untuk menjadikan hidup bermakna. Hobi tidak pernah mendatangkan rasa jenuh bukan? Namanya juga hobi –hal-hal yang disukai dan disenangi. Bagi yang hobi memasak, segera bangkit dari tempat tidur, masak makanan terbaik dan suguhkan untuk keluarga tercinta. Bagi yang hobi jalan-jalan, simaklah keagungan ciptaan-Nya dan ajaklah anak yatim, bahagiakan hati mereka. Percayalah, kebahagiaan itu menular! Bagi yang hobi membaca, bacalah sebanyak-banyaknya buku, cari hikmahnya dan ceritakan kepada yang lain. Tanpa disadari, kita sudah berdakwah. Atau langkahkan kaki ke rumah sahabat lama, guru atau orang yang pernah menyakiti kita sekalipun. Yakinlah, silaturahmi bisa merubah suasana hati. Dan jika memang terlalu lelah, berdzikirlah dalam diam... rasakan bahwa Dia begitu dekat... dekaaaat sekali...

Ah, ternyata dunia ini sungguh indah. Kunci menghilangkan rasa jenuh, ternyata sangat sederhana: BERGERAK! Hingga kita akhirnya hanya punya dua pilihan: ingin hidup seratus tahun lagi untuk berkarya atau ingin mati besok karena kita yakin hidup kita selama ini telah mengantongi cukup bekal dalam menyongsong kehidupan hakiki di surga-Nya. BERANI HIDUP!!! Wallaahu 'a'lam.

farah_adibah@yahoo.com



sumber : eramuslim

Bening Hati Berbalas Surga

Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para sahabat. Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba Rasulullah berhenti sejenak dan berkata,”Akan hadir diantara kalian seorang calon penghuni surga”. Para sahabat pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan antusias mereka menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang ke arah pintu.

Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid. Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy. Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar keistimewaan dia.

Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari selanjutnya. Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian muncul.

Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang i-laki itulah yang dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni surga?

Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari, sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.

Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki makan, si sahabat ikut makan. Saat si sahabat mengerjakan pekerjaan rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa saja. “Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus,” pikirnya. Tapi ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur’an dan mengerjakan ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.

Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.

Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya bermalam. Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia bertanya,“Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau lakukan sehingga kau disebut salh satu calon penghuni surga oleh Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu”.

Si laki-laki menjawab,” Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun da satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu.
Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan ubuang semua iri, dengki, dendam dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian.”

Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi berseri-seri. “Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu para sahabat mengenai hal ini”. Sang sahabat pun pamit dengan membawa pelajaran berharga.

***
Kawan, kisah di atas barangkali tak lagi asing. Namun tiada rugi untuk ditutur kembali. Surga bukan hanya hak para wali, nabi, syuhada dan ulama. Jika kita merasa hanyalah orang kebanyakan, itu tak berarti kita tak berhak atas nikmat surga. Karena amalan kecil pun bisa menjadi kunci masuk surga. Dan ternyata kebersihan hati itu sangat besar nilainya.

Jangan pernah berputus asa atas rahmatNya. Sungguh Dia Maha Pemberi Karunia. InsyaAllah, jika kita ikhlas, tulus dan mengerjakan penuh cinta, Dia takkan menyia-nyiakan hambaNya. Wallahu a’lam.

sumber : eramuslim

Belajar Bersyukur

Seorang Ibu terlihat gusar, setelah melihat tumpukan piring kotor di dapurnya. Semua itu bekas makan siang beberapa orang tamu yang baru saja berkunjung. Bukan karena banyaknya cucian piring, tetapi masih terlihatnya potongan-potongan daging bersisa, belum lagi sisa nasi yang masih menumpuk di piringnya. Ah… padahal untuk menyediakan lauk pauk itu tentu si ibu mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Semua itu demi menjamu tamunya.

Kalau saja para tamu itu hanya memakan daging dan mengambil nasi secukupnya saja, tentu tidak akan ada makanan bersisa di piring kotor. Dan anak-anaknya bisa ikut menikmati sebagian daging utuh lainnya. Melihat sisa potongan daging itu, si Ibu bingung, mau di buang ... sayang... mau di olah lagi… sudah kotor bercampur sisa makanan lain…. tapi Alhamdulillah tetangga sebelah punya kucing… mungkin ini rezeki si kucing.

***

“Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl:18).

Begitu banyak nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat penghidupan (harta, ilmu, anak, waktu luang, ketentraman, dan lain-lain) serta nikmat-nikmat lain yang tak terkira. Namun dengan sekian banyak nikmat yang Allah berikan seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang sedikit sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur, Na'udzubillahi min dzalik…

Seringkali kita baru menyadari suatu nikmat bila nikmat itu di ambil atau hilang dari siklus hidup kita. Ketika sakit, baru kita ingat semasa sehat, bila kita kekurangan baru kita ingat masa-masa hidup cukup.

Syukur diartikan dengan memberikan pujian kepada yang memberi kenikmatan dengan sesuatu yang telah diberikan kepada kita, berupa perbuatan ma’ruf dalam pengertian tunduk dan berserah diri pada-Nya.

Cobalah kita memikirkan setiap langkah yang kita lakukan. Bila makan tak berlebihan dan bersisa. Bayangkan, di tempat lain begitu banyak orang yang kesulitan dan bekerja keras demi untuk mencari sesuap nasi. Bahkan banyak saudara-saudara kita yang kurang beruntung, mencari makan dari tong-tong sampah. Lantas sedemikian teganyakah kita menyia-nyiakan rezeki makanan yang didapat dengan berbuat mubazir.

Ketika punya waktu luang malah dipergunakan untuk beraktivitas yang tidak bermanfaat bahkan cenderung merugikan orang lain. Kala tubuh sehat, malah lebih banyak dipakai dengan melangkahkan kaki ke tempat tak berguna. Tidak terbayangkah bila nikmat itu hilang dengan datangnya penyakit atau musibah lainnya. Ah... alangkah ruginya… karena semuanya menjadi percuma disebabkan tidak bersyukurnya kita atas nikmat. Bahkan karena sikap-sikap tadi yang didapat hanyalah dosa dan murka-Nya. Na'udzubillah….

Kita harus berusaha mengaktualisasikan rasa syukur kita dari hal-hal yang sederhana. Setiap aktifitas sekecil apapun usahakan untuk selalu sesuai aturan-Nya, selaku pencipta kita. Kerusakan yang sekarang timbul di sekeliling kita tidak lain karena sikap kufur nikmat sebagian dari kita. Bayangkan, negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi sebagian besar rakyatnya miskin.

Untuk itu, tidak ada salahya bila kita mulai dari diri dan keluarga, belajar bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Agar nikmat itu jangan sampai menjadi naqmah (balasan siksa), karena kufur akan nikmat-Nya. Mulailah untuk sering melihat kondisi orang-orang yang berada di bawah kita. Jika sudah, tentulah kita akan lebih banyak mengatakan “Alhamdulillah”. Seperti dalam hadits Rasulullah Saw, ”Perhatikanlah orang yang berada di bawah tingkatanmu (dalam urusan duniawi), dan jangalah kamu memandang kepada orang yang berada di atasmu. Itu lebih layak bagimu supaya kamu tidak menghina pemberian Allah kepadamu.” (HR.Muslim).

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat (yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya kesehatan (yang engkau anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).

(Ervin Hidayati/ummu_fatih@yahoo.com)

sumber : eramuslim 

Jumat, 29 Januari 2016

Belajar dari Pak Tino

Bagus... bagus... Iih, bagus apaan??? Segitu aja dibilang bagus, dalam hati kesal. Diambilnya lagi sebuah gambar, kali ini tentang pemandangan sebuah desa, ada pegunungan, awan yang berhiaskan burung elang, sawah, ... begitu sederhana, namun lagi-lagi ia berkata, "Ini juga karya teman kalian, bagus... bagus..." sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ah... Kalau saja kita yang berada di tivi itu, mungkin kritikan atau malah cemoohan yang terlontar, "Mestinya, bisa lebih baik lagi dong!!! Masa' sih gambar jelek gini dikirim ke sini? bla... bla... bla..." Sadis? Kalo gak gitu gimana mereka bisa maju?

Namun hari demi hari, acara itu selalu mempesona setiap generasi anak-anak. Mereka duduk asyik di depan tivi berbekalkan kertas-kertas dan pinsil warna, asyik dengan kesibukannya.

"Tarik garis melengkung ke atas, juga ke bawah, lalu beri satu titik hitam, tidak perlu takut-takut ya. Kita beri warna merah, kuning juga boleh, nah... jadi gambar apa ini adik-adik? Iya benar, seekor ikan," kemudian sambungnya lagi, "Menggambar itu mudahkan." Bagai para prajurit perang, anak-anak itu begitu patuh pada perintah. Mereka ikuti komandonya kata demi kata.

Dan, begitu orang yang selalu berkaca mata dengan bingkai hitam dan bertopi itu menutup acaranya, "Sampai jumpa minggu depan," lalu mereka berhamburan, berteriak-teriak untuk memamerkan gambarnya kepada siapa saja dengan bangga, "Adek udah bisa gambar ikan!!!" jerit mereka kegirangan. "Lho, ini gambar ikan? Ikan apaan?"

Deg!!!

Belajar menghargai orang lain, kadang teramat berat buat sebagian kita, apalagi bila itu berbentuk lontaran pujian. Padahal menurut ilmu psikologi, manusia lebih suka menerima pujian daripada celaan.

Seorang ahli psikologi Jess Lair, di dalam bukunya I Ain't Much Baby, But I'm All I've Got berpendapat, "Pujian laksana cahaya yang menerangi semangat manusia. Kita tidak mampu berkembang dan membesar tanpanya. Kebanyakan manusia hanya bersedia memberikan kritikan kepada seseorang, tetapi enggan untuk menyatakan pujian kepadanya."

Ahli pendidikan, John Dewey juga berpendapat, dorongan yang paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk dianggap penting. "Pujian akan menimbulkan perasaan berharga, perasaan mampu, dan percaya diri."

Tentu saja yang dimaksud disini adalah pujian yang sewajarnya. Apakah lalu dalam Islam tidak boleh mengkritik? Bukankah khalifah Abu Bakar radiyallahu 'anhu dan Umar bin Khatab radiyallahu 'anhu lebih mencintai kritikan? "Jika aku bertindak salah, luruskanlah," kata Abu Bakar radiyallahu 'anhu saat pidato pertamanya sebagai khalifah, tegas. Bahkan seorang rakyat dengan berani menghunus pedangnya apabila Umar bin Khatab radiyallahu 'anhu nanti bertindak salah, dan beliau hanya tersenyum saja.

Kritikan sangat berbeda dengan celaan. Kritikan yang baik akan membuat orang lain bangkit dari kekhilafan, tetapi celaan akan dilihatnya sebagai tantangan yang akan memancing lagi sikap kerasnya.

Sayang... sungguh teramat sayang, kadang kita lebih senang mengendus-endus kesalahan saudara kita, lalu menggunjingkannya di mana-mana. Menghina, menganggap remeh pendapat serta kerja mereka, gampang menilai orang lain tak punya kemampuan, hingga dengan ringan melontarkannya dari lidah-lidah yang memang tak bertulang.

AstaghfiruLLAH al 'adzim...

Pujian yang ikhlas sebenarnya akan memberikan gugusan rang keyakinan, dan ia adalah sebuah perasaan yang terpendam di lautan jiwa yang terdalam. Pun layaknya seperti tanaman, ia-nya akan tumbuh subur apabila ada daya lain yang menumbuhkan, dan salah satunya adalah pujian. Karena pujian adalah motivasi untuk membina jatidiri seseorang.

Karena itu pula Aa' Gym pernah berkata, "Belajarlah untuk senang dengan kesenangan orang lain, belajarlah untuk memuji dan menghargai prestasi orang lain, belajarlah untuk menjadi bagian dari kesuksesan orang lain, serta belajarlah untuk menikmati bagaimana diri kita menjadi bagian dari keutamaan dan kemuliaan orang lain, insya Allah hidup akan lebih nikmat, tentram dan bahagia."

Almarhum Pak Tino Sidin, telah banyak mengajarkannya pada masa kecil kita.

Dari sebuah kata sederhana, "Bagus... bagus..." mungkin tiada makna, tapi sebenarnya ia adalah sebuah mutiara yang berbentuk ungkapan penghargaan, lahir dari hati yang bersih dan jiwa yang besar. ALLAHua'lam bi shawab.

sumber : eramuslim

Belajar dari Ikrimah

Mengingat Ikrimah bin Abu Jahal adalah mengingat sosok sahabat nabi yang menjadi tauladan dalam beritsar. Ikrimah menjadi contoh kemuliaan pribadi yang mengutamakan kepentingan orang lain. Sejarah mencatat, di antara orang-orang yang termasuk dalam barisan Perang Yarmuk adalah Haris bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amar. Di saat-saat kematian mereka, ada seorang sahabat yang memberinya air minum, akan tetapi mereka menolaknya. Setiap kali air itu akan diberikan kepada salah seorang dari mereka yang bertiga orang itu, maka masing-masing mereka berkata: “Berikan saja air itu kepada sahabat di sebelahku.” Demikianlah keadaan mereka seterusnya, sehingga akhirnya mereka bertiga menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan belum sempat meminum air itu.

Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa sebenarnya Ikrimah bermaksud untuk meminum air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia melihat ke arah Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah berkata: “Berikanlah saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih memerlukannya daripadaku.” Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris melihat kepadanya. Akhirnya Suhail berkata: “Berikanlah air minum ini kepada siapa saja, barangkali sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku.” Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, sehingga ketiganya mati syahid.

Dari cerita Ikrimah tentang beritsar, saya teringat tentang ucapan seorang ulama yang mengatakan bahwa mengutamakan orang lain tidak perlu dengan melakukan hal-hal yang besar. Kita dapat melakukan hal-hal sederhana yang mungkin oleh orang lain dianggap remeh. Di dalam angkutan kota misalnya, bantulah orang lain dengan duduk di tempat yang memudahkan orang untuk masuk. Jika tempat duduk yang lain masih kosong, sebaiknya tidak duduk di dekat pintu dengan alasan lebih gampang untuk turun, lebih segar karena terkena angin dari arah pintu atau alasan-alasan yang menyenangkan diri sendiri lainnya padahal hal tersebut justru menyulitkan orang lain yang akan masuk. Begitu pula halnya jika kita menghadiri majelis taklim. Sering kita duduk di tempat-tempat yang justru menyulitkan orang lain yang akan masuk, di tangga atau di dekat pintu masuk misalnya. Padahal tidak terlalu sulit bagi kita untuk mengambil tempat duduk di tempat lain meskipun mungkin tidak senyaman di tangga atau di dekat pintu.

Satu contoh pengamalan konsep beritsar oleh masyarakat dapat ditemui di Jepang. Jika kita menaiki tangga berjalan, sebaiknya mengambil tempat di bahu kiri, karena bahu kanan biasanya digunakan oleh orang lain yang hendak bergegas menuju tempat lain. Contoh lainnya, pengendara mobil biasanya memberi kesempatan kepada pengendara sepeda untuk menyebrang, utamanya pada jalan-jalan yang tidak menggunakan lampu lalu lintas. Mungkin contoh ini hanyalah contoh kecil, tapi memberikan kenyamanan yang tinggi pada masyarakatnya karena kepentingan orang lain terperhatikan. Masih berkaitan dengan itsar. Contoh yang lain dari Nasrudin Hoja. Meskipun cerita ini bukan sesuatu yang bisa dijadikan teladan.

Guru Nasrudin Hoja mengajarkan pada Nasrudin, bahwa salah satu ciri pribadi yang mulia adalah dengan mengutamakan kepentingan orang lain. Suatu hari, Nasrudin dan gurunya makan di sebuah warung makan. Pelayan kemudian menyajikan 2 buah piring berisi ikan, yang salah satu piringnya berisi ikan yang lebih besar dari ikan di piring lain. Dengan tangkas Nasrudin mengambil ikan yang besar. Terkejut, gurunya berkata pada Nasrudin 'Bukankah sudah kuajarkan kepadamu bahwa pribadi yang mulia adalah mereka yang mengutamakan kepentingan orang lain?'. Nasrudin menjawab 'Benar Guru, dan saya bermaksud untuk memuliakan Guru.'

Mudah-mudahan yang kita teladani adalah sikap Ikrimah dalam beritsar, dan bukannya sikap Nasrudin Hoja. Waallahu’alam bishshowab.

sumber : eramuslim

Belajar Malu Dari Fathimah dan Hussain (Membaca vs TV)

"Iiihhh... malu..." Fathimah menjerit kecil sambil menutupi matanya. Begitu pula Hussain, sang adik langsung ikut berucap,"Matiin aja Om, tipinya...". Saya dan istri tak urung menjadi salah tingkah dibuatnya. Memang siang itu, kebetulan di salah satu acara infotainment TV swasta sedang diulas beberapa selebriti yang akan menghabiskan waktunya di acara penghujung tahun 2003, salah satunya adalah Ibu Inul Daratista yang --maaf-- dengan goyang ngebor sporadisnya nyaris mendominasi layar TV 21 inch saya.

Dan secara tak sengaja, dua bocah balita itu sedang konsentrasi melihat acara-acara yang ada sambil sesekali mengganti channel, tapi siapa nyana, mata dua anak itu tertumbuk pada acara yang memang secara fithrah merupakan tontonan aneh bagi mereka, maka tak ayal terlontarlah respon seperti itu...

Langsung saja saya rebut remote control TV yang sedang Hussain pegang, dan saya tekan tombol OFF tanpa babibu lagi."Fiuuuh..., aman", batin saya. Tapi tak berhenti sampai disitu, Fathimah masih saja menutupi kedua matanya dengan tangannya, masih sambil bergumam,"Iiiih... malu, ih maluuu..." Lho...?!?!

***

Sudahkah anak-anak kita merespon begitu cepat setiap tontonan yang mereka saksikan di layar TV...? Sudahkah kita merasa aman kalau dengan membiarkan anak-anak kita duduk manis berlama-lama di depan TV dibanding berkotor-kotor dengan teman-temannya di halaman...? Sudahkah kita mempunyai anak-anak yang responsif dan reaktif dengan tontonannya seperti layaknya Fathimah dan Hussain...?

Saya disini bukan ingin mengajak berdebat kusir masalah klasik mengenai apakah TV memang layak untuk anak-anak kita ataukah tidak. Saya yakin kita semua akan berpolemik panjang mengenai itu semua. Tapi yang membuat saya tergelitik adalah kemampuan kita (baca:orang tua) untuk memberikan pengaruh (influence) kepada anak-anak kita terhadap semua yang diberikan TV sehingga anak-anak kita akan mampu dengan sendirinya mempunyai daya kekebalan (immunne) terhadap acara-acara nyeleneh yang tidak patut ditonton oleh mereka.

Saya iseng-iseng menemukan artikel di internet mengenai korelasi negatif TV dan anak-anak ini, yang merupakan tulisan dari Dr. Ellen Abell (Extension Family and Child Development Specialist, Alabama Cooperative Extension System, U.S.A), dia kurang lebih mengatakan seperti ini,"The visual nature of television or other media stimuli do not develop the part of the brain responsible for language. Children who watch too much television and do not read enough may have trouble paying attention and listening to comprehend language. It's important that parents take time reading out loud to their children and help them develop their own reading and comprehension skills. I suggest that parents make plans with their children for weekly television viewing. Select shows that you will allow children to watch instead of leaving the television on all the time".

Nah, disini kita kembali diusik untuk jujur pada diri kita sendiri, apakah kita sudah menempatkan TV sebagai satu-satunya hiburan rohani yang menyegarkan? Apakah kita tidak bisa menemukan alternatif hiburan selain apa yang disuguhkan TV kepada kita? Apakah semua informasi akan out of date dari ingatan kita manakala TV tidak menghiasi pandangan kita setiap hari?

Kembali kita harus menghadapi hal yang retoris, dilematis bahkan ironis. Dari artikel yang saya kutip diatas, Dr. Ellen sudah memberikan alternatif (bahkan bukan sekedar alternatif, tapi bisa menjadi solusi), yaitu hidupkan budaya membaca!

Membaca bisa memberikan kesan visual dan imajinatif tak kalah hebat dengan TV (tentunya buku yang dibaca haruslah menarik dan atraktif menurut usia dan pola fikir anak), apalagi ditambah dengan bantuan orang tua yang bisa memberikan atmosfir yang hidup untuk suasana baca tersebut. Banyak anak malas membaca karena kurangnya motivasi dari orang tua terhadap mereka, bukan karena memang mereka tidak bergairah membaca.

Dan mungkin yang kedua adalah, jangan sungkan dan bosan untuk selalu menanamkan kepada anak apa-apa yang haq dan yang bathil baik secara teoritis maupun aplikatif. Yang ingin saya utarakan adalah, sering kita menasehati anak tanpa kita berusaha untuk menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) bagi mereka. Walhasil, mereka akan gamang dalam menentukan sikap. Praktisnya, tingkah laku anak bisa jadi adalah cerminan (mir'ah) dari pola didik yang diterapkan orang tuanya kepadanya.

***

Saya bersyukur Allah SWT menasihati saya dengan sikap reaktif Fathimah dan Hussain terhadap hal-hal miring yang terpampang jelas di depan mereka. Betapa saya banyak bersikap acuh tak acuh ketika melihat tayangan yang seyogyanya sudah tidak pantas dikonsumsi lagi (bahkan untuk dewasa, apalagi untuk anak seusia mereka?!?!).

Sambil memangku Hussain, saya melihat geli ke arah istri saya yang sedang "ditodong" oleh Fathimah untuk membacakan sebuah novel anak setebal 100-an halaman, dan Fathimah tampak tekun mendengarkan, seperti yang tak bosan menunggu selesai sampai dengan halaman terakhir. Alhamdulillah TV dari tadi sudah dimatikan...

Kotabaru, Yogyakarta
Maulana Muzaqi
muzaqi@cbn.net.id



sumber : eramuslim

Belajar dari Pengalaman

Suasana kota Bandung pagi itu tampak cerah seiring dengan terbitnya matahari di ufuk timur. Amir, tampak bergegas meninggalkan kediamannya, ia berjalan agak cepat menuju tempat pemberhentian angkutan kota (angkot). Kemudian angkot itupun membawanya ke stasiun kereta api. Angkot pun kemudian berhenti tepat di serambi stasiun. Amir, lalu menuju loket penjualan tiket KA, sesampai di dalam balkon setasiun, harus antri terlebih dahulu untuk dapat karcis-nya.

Saat, menunggu giliran mendapatkan tiket. Amir, tampak tertegun dengan seseorang di samping nya, terlihat seorang bapak yang hidupnya sederhana. Hal ini, dapat dilihat dari cara berpakaian, maupun perlengkapan yang dibawa berupa sebuah tas yang biasa dipakai pelajar, juga sendal alas kakinya. Karena, penasaran Amir pun menyapa bapak itu, "Assalamu’alaikum pak, " Wa alaikumussalam, jawab nya sambil diiringi senyuman.

Kedua-nya pun terlihat saling bersilaturahmi, hingga karcis yang ditunggu didapatkan. Sambil berjalan menuju kereta yang akan dinaiki, bapak itu memperkenalkan dirinya bernama pak Wiryono biasa dipanggil pak "Wir". Pak Wir berencana pulang ke rumah nya di Solo Jateng.

Alhamdullilah tempat duduk Amir dan pak Wir berdekatan hingga tanpa sengaja pak Wir memulai percakapan dengan kisah hidupnya, ia bercerita bahwa di Bandung baru saja menjenguk putrinya yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung, pak Wir berharap putrinya itu bisa berhasil dalam masa belajar untuk masa depannya.

Dibalik begitu banyak godaan kehidupan mahasiswa/mahasiswi yang bersifat negatif kehidupan apabila tinggal dan hidup dirantau jauh dari orang tua, hal ini dapat terlihat di berbagai media baik elektronik misal : TV, internet maupun media massa; surat kabar, majalah, tabloid. Dimana penyelewengan kasus penyalahgunaan narkoba, life style yang cenderung hedonis, ataupun pergaulan bebas. Sehingga kepada putrinya pak Wir, menanamkan untuk dapat memilih lingkungan yang mengenal agama Islam secara baik, sehingga dapat dijaga pergaulan ataupun tingkah lakunya dalam keseharian. Alhamdullilah kini putrinya telah mengenakan jilbab, tutur pak "Wir" sambil diselingi senyum khasnya. Prestasi belajar putrinya pun diceritakan pak Wir, ternyata dari prestasi akademik sekolah yang patut dibanggakan maupun lingkungan belajar di rumah, hingga ketrampilan hidup telah ditanamkan sejak kecil oleh pak Wir kepada putrinya dengan hidup sederhana.

Pak Wir pun menceritakan tentang aktifitas nya, ia bekerja di salah satu RS di Solo Jateng, bagian teknisi pembuatan kaki palsu, Subhanallah, ucap Amir dalam hati, berarti pak Wir telah membantu banyak orang yang terkena musibah. Banyak kisah-kisah hidup yang diceritakan pak Wir seperti seseorang yang terkena musibah kecelakaan hingga kaki nya harus diamputasi, maka disamping memberikan semangat hidup agar tetap optimis, juga solusi agar percaya diri dalam menyelesaikan berbagai masalah hidup. Pernah pula seseorang yang terpandang berobat ke pak Wir disebabkan salah satu kakinya harus diamputasi pula karena menderita sakit diabetes, hingga perlu kaki palsu. Kereta api pun terus melaju, seiring dengan lantunan kisah hidup pak Wir yang banyak menolong orang lain yang sedang ditimpa musibah. (Sandi Muda)

sumber : manajemenqolbu.com

Begitu Cepat Engkau Menggantinya, Ya Allah

Udara begitu segar di pagi hari, apalagi semalaman hujan. Saya merapatkan sweater yang diberikan kakak sebelum pergi. Hup... terlompati sudah genangan air untuk ke dua kalinya. Stasiun Bogor masih lengang, Alhamdulillah, berarti saya tidak usah berjuang hanya untuk bisa terangkut. Saya duduk dengan tenang di gerbong belakang yang sudah terisi sebagian. Hari masih muda, tetapi para pedagang asongan, peminta-minta bahkan pencari sumbangan sudah berseliweran dengan suara-suara khas mereka.

Saya mulai mengamati, mencari vitamin hati. Seorang nenek terhuyung-huyung mengedarkan mangkuk berharap dermawan memberi uang belas kasihan, sekelompok pemuda tuna netra yang hampir semua sepatunya robek-robek mematung menunggu sang nenek pindah ke gerbong lain. Ada seorang perempuan yang terus menerus menggumamkan "Lapar... Lapar.." di pojok gerbong, pakaiannya lusuh dan yang jelas dia sepertinya kurang waras. Kini giliran bocah laki-laki yang menyapu lantai kereta, hampir sekujur tubuhnya kudisan, mata yang merah, dan kepala diperban, membentak para penumpang jika tidak memberinya uang. Sebenarnya saya ingin sekali mengulurkan tangan seperti orang lain, jika saja dompet yang berisi recehan itu tidak tertinggal di kamar. Saya memang selalu mencari recehan sisa kembalian untuk hal-hal seperti ini. Hingga setiap kali tangan atau wadah tempat belas kasih itu datang saya menyambutnya dengan senyuman dan kata maaf.

Kereta berhenti di Stasiun Cilebut, ketika seorang bocah laki-laki, berpeci, mengenakan seragam putih hijau, naik. Dengan gugupnya ia berdiri dan sekedar berpidato, intinya meminta para dermawan saling tolong menolong dalam kebenaran dengan bershadaqah untuk panti asuhan yang ditinggalinya. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya, sedangkan tangan mungil itu gemetar, belum lagi kata-kata yang keluar dari awal sudah putus-putus. Saya mengamatinya, mungkin pertama kalinya untuk bocah itu melakukan hal ini. Iba hati saya, ketika dia mengedarkan kotak amal, refleks saya membuka dompet dan memasukkan uangnya ke dalam kotak. Tak disangka-sangka dia membungkukkan badan dan tak henti-henti mengucap "terima kasih kak, terima kasih banyak...". Dia melakukannya agak lama. Saya jadi rikuh ditatap banyak orang.

Sampai di kamar, saya baru tahu kenapa bocah tadi begitu semangat berterima kasih. Uang selembar yang diberikan kakak dengan embel-embel "Dik, pergunakan uang ini sebaik-baiknya sampai akhir bulan ... " itulah yang saya masukkan ke dalam kotak, sedangkan selembar uang 500-an yang saya maksudkan untuk berinfak masih ada di dompet. "Innalillahii.." bisik saya berulang-ulang. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Yang saya patrikan saat itu adalah "Pasti ada hikmah... pasti ada hikmahnya".

Siang, Jam menunjukkan jarum pendeknya diangka 2. Saya pilih shirah nabawiyah untuk menentramkan gemuruh hati. Kisah-kisah kehidupan nabi Al-Musthafa begitu sempurna. Lapar yang saat itu saya rasakan belum seberapa dibandingkan dengan Lapar yang dialami Nabi, keluarganya dan para sahabat. Betapa luar biasanya mereka dalam hal zuhud. Saya tergugu ketika membaca kisah suatu hari Umar R.A bertemu dengan sahabatnya Jabir bin Abdullah dan menemukan sepotong daging ditangannya. Kemudian umar bertanya "Apa itu Jabir", "Aku ingin makan daging, lalu saya membelinya" begitu pengakuan jabir. Selanjutnya Umar pun bertutur "Apakah setiap yang kamu inginkan kamu usahakan membelinya? Apakah kamu tidak takut ayat ini, "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja)" (QS Al-Ahqaf: 20).

Saya sering lebih memilih untuk membeli buku dibandingkan membeli kupon dari pencari dana kegiatan amal. Saya bahkan dengan hati seringan awan menambah koleksi kerudung daripada menambah investasi akhirat dengan memberi sedekah nenek buta yang setiap hari terlewati. Betapa dungunya saya ketika seorang tetangga datang ke rumah meminta sumbangan untuk membangun rumahnya yang ambruk, saya hanya meminta maaf karena memberi alakadarnya, padahal besoknya saya sibuk memilih-milih sepatu di pusat pertokoan. Astaghfirullah...., air mata menetes lagi.

Maghrib, baru saja terlewati, sementara perut dari tadi hanya diisi air. Subhanallah, apakah ini yang dirasakan mereka yang kelaparan setiap harinya. Perut melilit, bersuara aneh dan sesekali perih. Ingin rasanya mengetuk pintu kamar sebelah, tapi saya tahu sekarang bulan sudah tua. Dan saya ingat kemarin pagi para pemilik kamar sudah berkoar-koar tidak karuan tentang kerontangnya isi dompet mereka. Jika saja uang tadi tidak tertukar, jika saja saya lebih berhati-hati, andai saya tadi tertidur,.... Astaghfirullahaladzim....

Saya mengingat banyak hal untuk menghibur hati, diantaranya janji Allah yang disampaikan ustadz di pengajian minggu yang lalu. "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya" (QS. Saba: 39). Lirih mulut berucap "Ya Rabb, saya ikhlas dengan skenario ini, mudah-mudahan Engkau mengganti dengan yang lebih baik, karena hamba yakin Engkau maha kaya dan tidak akan berkurang sedikitpun karena permohonan mahluknya".

Adzan Isya berkumandang, waktu seperti cepat bergulir. Belum selesai melipat mukena, pintu kamar diketuk "Mba... ayo ke tempat makan, mamanya Ayu baru datang dan membawakan makan malam buat kita semua, cepetan nanti keabisan". Itu pasti teman sebelah kamar, suaranya khas. Saya tersenyum, terima kasih ya Allah. Di ruang makan, semuanya nampak bergembira, ibunya Ayu sibuk mempersilahkan mereka, padahal untuk makanan gratis, tanpa dipersilahkan pun semangat kami tetap semangat 45. Lagi asyik-asyiknya menikmati berkah, Ayu tersenyum ke arah saya dan berujar, "Eh mbak, beasiswanya sudah keluar, tadi Ayu liat di kampus. Besok uangnya udah bisa diambil".

Dan hati saya pun luruh. Begitu cepat Engkau menggantinya Ya Allah. (Sebuah kenangan, mahabbah12@yahoo.com)



sumber : eramuslim

Beginilah Musuh Islam, dan Beginilah Umat Islam

Ibu Guru berjilbab rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari'at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, "Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah "Kapur!", jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah "Penghapus!" Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.

Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, "Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah "Penghapus!", jika saya angkat penghapus, maka katakanlah "Kapur!". Dan permainan diulang kembali. Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.

"Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.

Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika."

"Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?" tanya Guru kepada murid-muridnya. "Paham Bu Guru"

"Baik permainan kedua," Ibu Guru melanjutkan. "Bu Guru ada Qur'an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu "dijaga" sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?" Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.

Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur'an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet. "Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan..."

"Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari'at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan."

"Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?" tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo'a dahulu sebelum pulang..."

Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

***

Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya: "Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu." (9:32).

Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.

Maka tampak dari luar masih Muslim, padahal internal dalam jiwa ummat, khususnya generasi muda sesungguhnya sudah ibarat poteng (tapai singkong, peuyeum). Maka rasakan dan pikirkanlah itu dan ingatlah bahwa dunia ini hanya persinggahan sementara, ingatlah akan Hari Pengadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

H.Muh.Nur Abdurrahman

Kolom Tetap Harian Fajar, dengan judul 'Permainan Ibu Guru' dari milist Faktual



sumber : eramuslim

Bebas Kanker dengan Tahajjud

Sholat tahajjud ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah (Qs Al-Isra:79) tapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran. Menurut hasil penelitian Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, salah satu salat sunah itu bisa membebaskan seseorang dari serangan infeksi dan penyakit kanker. Tidak percaya? "Cobalah Anda rajin-rajin sholat tahjjud. Jika anda melakukannya secara rutin, benar,khusuk, dan ikhlas, niscaya anda terbebas dari infeksi dan kanker". Ucap Sholeh.

Ayah dua anak itu bukan 'tukang obat' jalanan. Dia melontarkan pernyataanya itu dalam desertasinya yang berjudul 'Pengaruh Sholat tahajjud terhadap peningkatan Perubahan Respons ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi" Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya Selasa pekan lalu.

Selama ini, menurut Sholeh, tahajjud dinilai hanya merupakan ibadah salat tambahan atau sholat sunah. Padahal jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi.

Sholat tahajjud yang dimaksudkan Sholeh bukan sekedar menggugurkan status sholat yang muakkadah (Sunah mendekati wajib). Ia menitikberatkan pada sisi rutinitas sholat, ketepatan gerakan, kekhusukan, dan keikhlasan.

Selama ini, kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis. Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan tekhnologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol.

Parameternya, lanjut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya anatara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00- normalnya antara 69-345 nmol/liter. "Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan. Begitu sebaliknya. Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang membantah paradigma lama yang menganggap ajaran agama (Islam) semata-mata dogma atau doktrin.

Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden sisa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan sholat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan sholat tahjjud selama dua bulan. Sholat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11 rakaat, masing-masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di Surabaya (paramita, Prodia dan Klinika).

Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil. "Jadi sholat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress," katanya.

Nah, menurut Sholeh, orang stres itu biasnya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan sholat tahjjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Dan, berdasarkan hitungan tekhnik medis menunjukan, sholat tahajjud yang dilakukan seperti itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik. (taken from mailist bdi-kps)

sumber : eramuslim

Bayangkanlah, Bila....

"Bu, kenapa sih kok bapak kerjanya di pasar, temen-temen Aa bapak nya kerja nya dikantor, katanya enak bu, kalo dikantor itu bersih, ada komputer terus ada buku-buku, ntar kalau Aa maen ke kantor bapak, Aa bisa maen komputer..." Itu pertanyaan polos dari keponakan saya yang baru berumur 5 tahun dan masih duduk di bangku TK.

Mungkin karena faktor teman- temannya di sekolah yang sering bercerita tentang ayah-ayah mereka yang kebanyakan memang pegawai kantoran dan bercerita tentang segala "keistimewaan" bekerja di kantor sehingga muncul pertanyaan tersebut. Tentu saja sang ibu keponakan saya itu berusaha dengan "bahasa yang dapat dimengerti anak-anak" menjelaskan dengan lugas tentang apa itu pekerjaan.

Yang pasti dari sejak kecil, anak-anak memang harus ditanamkan bahwa pekerjaan itu cakupannya luas dan amat luas seluas samudera kalau memang kita bisa mencari, menggali dan mewujudkan walaupun dengan perjuangan yang amat panjang.. apapun bentuk pekerjaan itu, asalkan halal. Dan tentu saja bagi orang-orang yang beruntung mempunyai pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang bagus bukan berarti harus berbesar kepala seolah tidak membutuhkan lagi orang - orang disekelilingnya, terutama orang - orang yang karena pendidikannya terbatas dan hanya berkesempatan untuk menjadi pedagang asongan, pembantu rumah tangga dan lain sebagainya.

Karena semua pekerjaan adalah mata rantai yang tak terputus seperti simbiosis mutualisma yang saling menguntungkan satu sama lain tanpa harus korupsi, tanpa harus sikut sana sikut sini. Dan pekerjaan itu bukan terbatas hanya dikantor saja. Kalau semua orang bekerja dikantor, kita dapat bayangkan betapa sulit ruang gerak kita. Bukan begitu?

Bayangkanlah bila para penumpang bis, angkot dan sebagainya yang akan kelimpungan tujuh keliling bila para supir "ngambek" tidak mau menyupir.

Bayangkanlah bila orang-orang di dalam mobil yang kehausan tapi dia tidak menemukan satupun pedagang asongan yang menjual minuman karena semua pedagang asongan "ngambek" untuk berdagang. Dan saya pernah merasakan tersiksanya kehausan setelah berpeluh keringat mengejar bis sementara pedagang asongan tak kunjung muncul. Ketika itu saya hanya bisa membayangkan betapa indahnya meminum seteguk air yang ditawarkan pedagang asongan andai saja mereka muncul dihadapan saya saat itu.

Bayangkanlah bila murid2 ketinggalan banyak pelajaran karena guru mereka "bosan" mengajar.

Bayangkanlah bila para kontraktor perencana gedung yang "hilang" tender karena buruh2 bangunan "enggan" bekerja.

Bayangkanlah bila para karyawan digedung-gedung perkantoran yang kelaparan saat makan siang.. karena pedagang-pedagang makanan disekitar kantor mereka "mogok" jualan.

Bayangkanlah bila ibu-ibu dirumah yang harus "berpeluh keringat " mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya karena para khadimat mereka "pulang kampung" dan tidak mau lagi bekerja.

Bayangkanlah bila kantor-kantor, mall-mall ataupun perusahaan-perusahaan yang gedungnya kotor tak terurus karena para petugas cleaning service nya "tidak mau" lagi bekerja.

Ternyata...kita butuh mereka...para supir, pedagang asongan, pedagang makanan, para pembantu rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka amat berjasa bagi kita walaupun kadang keberadaan mereka tidak kita hargai.

Keramahan dan penghargaan terhadap orang - orang kecil dan hal - hal kecil amat sangat dibutuhkan, apapun status dan pekerjaan orang tersebut.

Seperti raut muka ceria anak anak ditempat saya mengajar tiap sabtu dan Minggu yang dengan semangatnya menceritakan pekerjaan ayah mereka yang hanya seorang pemulung dimata orang lain. Tetapi dimata mereka ayah mereka lah pahlawan dikeluarga, yang dengan tegarnya menghadapi tantangan hidup, walaupun hanya bisa memberi tempat tinggal sebuah petakan ukuran 3x4 m dengan harga sewa Rp. 70.000 ribu perbulan.

Dan tidak ada salahnya kita bergaul dengan mereka, untuk mengingatkan agar selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.

Dan anak-anak yang beruntung karena keluarga mereka berkecukupan pun harus tahu dan diajarkan bahwa disekitar mereka masih banyak anak-anak yang kurang beruntung. Indahnya bila hidup ini saling mengasihi dan menghargai.

Satu hal lagi dari sekian banyak PR yang harus kita bayangkan, yaitu...

Bayangkanlah bila para istri "berhenti total" untuk mengurus anak-anak, suami dan rumah tangga nya karena terlalu jenuh dengan rutinitas seputar dapur, sumur dan kasur. Mengenai hal satu ini ada satu pertanyaan dari salah seorang teman saya, "Lalu kami ini para lelaki harus bagaimana? Membiarkan para istri bekerja dikantor dan anak-anak serta keluarga terbengkalai?"

Ups...tentu saja tidak. At least memberi ruang gerak bagi para istri untuk maju bersama. Intinya maju bersama dalam artian dalam rumah tangga. Kalau suami maju dan berkembang, dia juga harus berfikir dan bertindak untuk membuat istrinya maju juga. Sehingga proses pembelajaran di rumah tangga terus menerus berlangsung, long life learning, sehingga istri bisa mengaktualisasikan diri.

Sehingga konteks rumah tangga itu bukan berarti "memperbantukan" istri ibarat pembantu yang harus stay tune 24 jam sehari dengan tanpa adanya proses pembelajaran buat si istri. Menjadi ibu rumah tangga secara full pun tidak masalah apalagi bila dibarengi dengan kegiatan - kegiatan yang manfaat di sekitar lingkungannya. Menjadi ibu bekerja pun juga tidak masalah asalkan balance antara keluarga dan pekerjaan. Karena yang terpenting dalam keluarga adalah kualitas komunikasi yang intens bukan kuantitasnya, dan saling berbagi tugas dengan suami dalam mengurus rumah tangga.

Dan bagi para ibu, tentu saja bekerja bukan hanya dikantor saja, nanti kalau semua ibu - ibu bekerja dikantor, lalu siapa nanti yang akan sabar mengajar anak - anak TK, SD, SMP, SMU sampaiUniversitas? Siapa yang akan memeriksa ibu - ibu hamil jika saja tidak ada dokter kandungan perempuan? Siapa yang akan berjualan masakan untuk disantap para karyawan?Dan tentu saja masih banyak lagi profesi - profesi lainnya bagi para ibu yang bekerja.

Saya masih ingat dulu saat SD, dibuku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia sering terdapat contoh - contoh kalimat seperti :

"Ibu pergi ke pasar, bapak pergi kekantor..", kalau boleh merevisi nya sih... rasa-rasanya tidak ada salahnya kalau konteks kalimat itu ditambahkan lagi menjadi :

"Ibu pergi mengajar, bapak pergi kekantor"

Atau konteks itu bisa berubah total secara situasional dan kondisional..:

"Pada hari Minggu ... ayah pergi ke pasar, ibu istirahat di rumah..."

Asik kan? Bila saling berbagi tugas apalagi dimulai di Ramadhan yang penuh berkah ini...

Bayangkan dan wujudkan...
Bekasi, Ramadhan penuh cinta 1424 H
dini@mipp.ntt.net.id




sumber : eramuslim

Bayangkan Saat Maut Menjemput

Sesosok tubuh berselimut kain putih terbujur kaku. Disekelilingnya terlihat sanak saudara saling berangkulan, dan sesekali terdengar sesegukkan diiringi tetesan air mata kepiluan, keheningan dan kesedihan yang teramat dalam. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari beberapa orang yang hadir menambah kepiluan mereka yang ditinggalkan. Hari ini, satu lagi saudara kita menghadap Rabb-nya, tidak peduli ia siap atau tidak. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun.

Saudaraku, setiap yang hidup akan merasakan mati. Hal itu termaktub dengan tegas dan lugas dalam kitab-Nya. Maka, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambut maut yang kedatangannya tidak diketahui namun pasti itu. Saat seorang saudara kita mendapatkan gilirannya untuk menghadap Sang Khaliq, saat kita melihat tubuhnya membujur kaku, saat ia terbungkus kain putih bersih, saat tubuh tanpa nyawa itu diusung untuk dibawa ketempat peradilan utama atas setiap amalnya, dan saat kita bersama-sama menanamkan jasadnya ke dalam tanah merah serta menimbunkan tanah dan bebatuan diatas tubuhnya, sadarkah kita bahwa giliran kita akan tiba, bahwa waktu kita semakin dekat.

Saudaraku, pernahkah membayangkan betapa dahsyatnya maut menjemput, kita harus meregang nyawa saat Izrail pesuruh Allah menarik nyawa manusia perlahan-lahan untuk memisahkan dari jasadnya. Ketahuilah, Rasulullah manusia kecintaan Allah dan para malaikat-pun menjerit keras merasakan pedihnya sakaratul maut. Dan saat lepas ruh dari jasad, mata kita yang terbuka lebar dan menatap keatas, mengisyaratkan ketidakrelaan kita meninggalkan keindahan dunia atau mungkin isyarat ketakutan yang teramat sangat akan ganjaran yang akan diterimanya di akhirat.

Saudaraku, bayangkan jika saudara yang baru saja kita saksikan prosesi pemakamannya itu adalah diri kita sendiri, bayangkan juga jika yang terbujur kaku terbungkus kain putih itu adalah diri kita yang saat ini tengah menikmati indahnya dunia, kita begitu rapuh, tidak berdaya dan takkan bisa berbuat apa-apa yang dapat menolong kita dari peradilan Allah, kita hanya diam dan membisu dan membiarkan seluruh tubuh kita bersaksi didepan Allah dan para malaikat-Nya atas waktu dan kesempatan yang diberikan, dan kita hanya bisa menunggu keputusan yang akan diberikan Allah.

Saudaraku, saat itu kita harus rela menerima keputusan dan menjalankan balasan atas segala perbuatan. Tentu tidak ada tawar-menawar, negosiasi, permohonan maaf, belas kasihan, bahkan air mata pun tidak berlaku dan tidak membuat Allah membatalkan keputusan-Nya. Karena kesempatan untuk semua itu sudah diberikan saat kita hidup didunia, hanya saja kita tidak pernah mengambil dan memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada untuk tunduk, takut, menangis berharap akan ampunan-Nya. Tidak saudaraku, semua itu sudah lewat.

Saudaraku, saat tubuh kita terusung diatas kepala para sanak dan kerabat yang menghantarkan kita ke tanah peradilan, tahukah kita bahwa saat itu kita berada dipaling atas dari semua yang hadir dan berjalan, tubuh dan wajah kita menghadap kelangit, itu semata untuk memberitahukan bahwa kita semakin dekat untuk memenui Allah. Tentu kita harus berterima kasih, karena masih ada orang-orang yang mau mengangkat tubuh kita dan mau bersusah-susah menghantarkan, menanam bahkan membiayai prosesi pemakaman kita. Bayangkan jika kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan su'ul khotimah, sehingga semua orang memalingkan mukanya dari muka penuh kotor dan nista ini. Saat itu, tentu tak satupun dari orang-orang yang masih hidup menangisi kepergian kita bahkan mereka bersyukur. Na'udzubillaahi min dzaalik

Saudaraku, kita tentu juga mesti bersyukur saat Allah mengizinkan tanah-tanah merah yang juga makhluk Allah itu menerima jasad kita. Padahal jika tanah-tanah itu berkehendak -atas seizin Allah- ia akan menolak jasad kita karena kesombongan kita berjalan dimuka bumi. Jika ia mau, ia tentu berkata, "Wahai manusia sombong, ketahuilah bahwa tanah ini disediakan hanya untuk orang-orang yang tunduk". Ia juga bisa mengadukan keberatannya kepada Tuhannya untuk tidak mau menerima jasad manusia-manusia yang dengan sewenang-wenang dan serakah menikmati hasil bumi. Tanah-tanah itu juga tentu bisa berteriak, "Enyahlah kau wahai jasad penuh dosa, tanah ini begitu suci dan hanya disediakan untuk orang-orang yang beriman" Tapi, atas kehendak Allah jualah mereka tidak melakukan itu semua. Namun, tentu saat itu sudah terlambat bagi kita untuk menyadari kesalahan, dan kekhilafan.

Oleh karena itu saudaraku, saat sekarang Allah masih memberikan waktu dan kesempatan, saat sekarang kita tengah menunggu giliran untuk menghadap-Nya, ingatlah selalu bahwa setiap yang hidup pasti merasakan mati. Saat kita mengantar setiap saudara yang mati, jangan tergesa-gesa untuk kembali ke rumah, tataplah sejenak sekeliling kita, disana terhampar luas bakal tempat kita kelak, ya, tanah-tanah merah itu sedang menunggu jasad kita. Tapi, sudahkah semua bekal kita kantongi dalam tas bekal kita yang saat ini masih terlihat kosong itu? (Bayu Gautama)

sumber : eramuslim

Bau Busuk Itupun Hilang

Seumur-umur baru kali ini aku dapat order pembelian minyak wangi berdrum-drum. Dalam waktu dua hari paling tidak tiga drum habis terjual. Pembelinya pun tak tanggung-tanggung, mereka para politikus dan pejabat busuk yang hampir tiap hari muncul di tv.Tak terkecuali anggota dewan yang busuk dan ketua-ketua partai busuk. Sebagian dari mereka tidak langsung datang ke rumah. Karena takut ketahuan publik, biasanya mereka menelepon minta dikirimi, menyuruh bawahannya, dan ada pula yang mengajak janjian untuk ketemu di hotel atau vila tertentu. Tak jarang saat aku harus mengantarkan minyak wangi pesanan mereka, aku diharuskan membungkus rapat minyak wangi tersebut hingga tidak tercium baunya.Bahkan ada yang meminta aku menelan dalam bentuk kapsul seperti kapsul heroin.

Awalnya aku rikuh juga memenuhi permintaan mereka yang neko-neko tersebut tapi toh akhirnya aku terbiasa, malah aku sering melakukan eksperimen-eksperimen untuk menyembunyikan minyak wangi pesanan mereka, kadang kuselipkan di pantat, kadang kuselipkan diantara karangan bunga, dalam sepatu, sering pula ku sembunyikan di dalam kue atau roti, paket tv, tape, komputer, dalam jok mobil dan pernah sekali ku kirim lewat merpati pos. Sedang mereka yang datang langsung ke rumah selalu berdandan aneh-aneh, menyamar, itu kata mereka.

Banyaknya pejabat dan politikus busuk menjadi pelangganku saat ini tak lepas dari seorang politikus, merupakan penghuni perumahan elit di sebelah kampungku yang dikenal kalangan mahasiswa sebagai politisi busuk, dengan bau badannya yang sangat busuk datang bersama jaguar hitamnya ke rumahku, dia datang menghampiriku yang sedang asyik duduk bergurau dengan istriku di ruang tamu, merangkul dan mencium tanganku selayak memohon berkah seperti memohon berkah pada kyai-kyai. Istriku pingsan begitu mencium bau busuknya. Sedang aku hampir muntah mencium baunya kalau tidak cepat-cepat kutahan nafas dan refleks menjepit lubang hidung dan menutup mulutku dengan tangan kiri. Bau busuknya luar biasa. Dia menangis tersedu-sedu.

"Mas...., toolong sssay...ya...., Masss... Tol..llong hilangkan bau busuk dari tubuh saya, Mas. Mas kan penjual minyak wangi. Tolong, Mas.... hwaaa....hwaaa..." Nangisnya makin menjadi. Dadaku sesak karena sedari tadi menahan nafas. Dia bersimpuh di kakiku dan memegangnya erat, merengek. Satu-dua tetanggaku mulai berdatangan ke halaman rumahku, clingak-clinguk mencari apa kiranya yang berbau busuk. Aku keluar mendatangi kerumunan orang yang makin banyak itu, mengatakan pada mereka bahwa septitank di rumahku jebol. Terpaksa aku berbohong karena takut massa akan mengeroyok si politikus busuk itu. Sebagian dari mereka mengingatkan aku untuk segera memanggil penyedot tinja, ada yang memaki dan marah, ada juga yang diam. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum kecut. Segera setelah para tetanggaku kembali ke rumah masing-masing, aku kembali ke ruang tamu dan menemukan si politikus busuk tersebut mengintip dari balik kelambu jendela dalam keadaan cemas, berkeringat, wajahnya pucat pasi.

"Mereka sudah pergi ?"
"Sudah" jawabku.
"Terimakasih, Mas," kembali dia mencium tanganku.

"Duduklah." Aku mempersilakan dia untuk duduk sambil mencoba menyadarkan istriku "Bu..Bu..sadar, Bu" Kutepuk pipi istriku berulang-ulang. Istriku mulai sadar. Ketika kesadarannya kembali utuh secara refleks istriku menutup hidung, kemudian memandang kearah asal bau busuk itu. "Ya, Bu, dia yang berbau busuk" Istriku tahu kalau orang itu pasti politisi busuk karena istriku sering pula menyaksikan dia disebut sebagai politisi busuk di tv-tv. Dia mengangguk malu dan takut. "Ibu Nggak apa-apa kan ?" Istriku mendelik matanya. Marah. Dia semakin takut. "Sudah deh, kalau gitu Ibu keluar aja dulu" bisikku, Istriku kupapah berdiri. Sebenarnya istriku enggan, tapi aku paksa keluar rumah dan kupanggilkan tukang becak untuk mengantar pergi kemana istriku suka. "Nanti Ibu bisa kembali kalau sudah beres. Dan Ibu jangan bilang sapa-sapa". Tukang becak pun menutup hidung karena mencium bau busuknya. Agak kesulitan tukang becak itu mengayuh becaknya karena sebelah tangannya digunakan untuk menutup hidung. Sesudah becak itu agak jauh aku kembali menemuinya. Aku mencoba membiasakan mencium bau busuknya.

"Sekarang jelaskan dulu mengapa Bapak bisa berbau busuk seperti ini." tanyaku
" Saya nggak tahu, Mas"
"Lho koq bisa" Aku kerutkan dahi. Heran. Dahinya juga mengkerut. Dia takut
"Pokoknya setelah saya bangun tidur tadi, bau saya sudah busuk."
"Bapak anggota DPR ya ?"
"Bbb..bee..nnar, mas"
"Maaf, pak. Bapak politikus busuk ?"
"Nnnggak... Sunggguh, Mas", mencoba mengelak
"Tapi bau bapak busuk" Dia diam sejenak.
"Mas bisa bantu saya ?"
"Maksud Bapak ?"
"Mas punya minyak wangi yang bisa menghilangkan bau busuk seperti ini ?"

"Wah saya kan hanya penjual minyak wangi biasa, Pak, mana mungkin bisa menghilangkan bau sebusuk ini" Bibirnya mengkerut. Dia sedikit kecewa atas jawabanku. "Tapi sebentar." Aku masuk kedalam kamar, kubuka tumpukan kardus minyak wangi yang biasa kujajakan. Semua hanyalah minyak wangi biasa. Kuputar otak. Aku bingung memilih mana yang bisa menghilangkan bau sebusuk itu.

Akhirnya aku putuskan mengoplos saja beberapa minyak wangi menjadi satu. Kucium bau wanginya yang aneh, tapi tak apalah, apa salahnya dicoba. Segera aku kembali ke ruang tamu dan menyodorkan padanya. Dengan tak sabar dioleskannya banyak-banyak ke sekujur tubuhnya. Aneh, dalam sekejap bau busuknya lenyap seketika. Berkali-kali dia merangkulku, berjingkat girang, menari-nari, merangkul kembali, mencium tangan saya, mengucapkan terimakasih. Dia menangis, menangis bahagia.

Sesudah hari itu dia sering datang ke rumah membeli minyak wangi oplosan untuk menghilangkan bau busuknya. Satu botol kecil bisa menghilangkan bau busuk selama tiga hari. Banyak uang dia berikan padaku hanya untuk sebotol kecil minyak oplosan, uang yang berpuluh kali lipat dari harga sebotol kecil minyak wangi jika kujajakan ke orang-orang. Semakin hari makin banyak pejabat dan politikus yang memiliki bau busuk diajaknya menemuiku seiring makin santernya gerakan tolak politisi busuk di negeri ini.Mereka juga membeli minyak oplosanku dengan harga yang selangit. Tergiur dengan keuntungan yang besar membuat aku memutuskan untuk khusus menjual minyak wangi bagi politikus dan pejabat busuk. Bahkan bisa disebut kalau aku adalah BeDe-nya minyak wangi politisi busuk di negeri ini.

Baru sekitar dua bulanan menjual minyak wangi khusus politikus dan pejabat busuk, usahaku berkembang pesat. Tak hanya di dalam negeri, di luar negeri semua tokoh negara, politikus dan pejabat yang busuk menjadi konsumen produk minyak wangi buatanku setelah gerakan anti politisi busuk mendunia. Dan lima bulan kemudian, dengan bertambah luasnya daerah pemasaran maka usaha penjualan yang dulunya kulakukan secara sembunyi-sembunyi kini telah memiliki outlet besar di kota-kota besar dunia. Aku tak lagi harus mengirimkannya dengan cara yang aneh-aneh karena mereka tak lagi malu membeli minyak wangi untuk menghilangkan bau busuk mereka. Para politikus busuklah yang memberi izin pendirian outletku. Produk minyak wanginya pun bermacam aroma dan jenis, mulai dari aroma layaknya minyak wangi biasa hingga aroma keringat pekerja kasar dan pembantu rumah tangga pun tersedia, bahkan ada yang tak beraroma sama sekali, semua dibuat sesuai dengan selera dan demi kepuasan konsumen.

Iklan yang melibatkan para politikus dan tokoh negara dan bermacam penghargaan yang aku terima dari Perkumpulan-perkumpulan tokoh korup dunia, yang tak berbau busuk lagi berkat minyak wangiku, menjadikan produk minyak wangiku makin luas diterima. Berkat minyak wangiku setiap politikus dan pejabat busuk bisa bergaul bebas dengan khalayak ramai tanpa ketahuan kalau dia adalah orang busuk. Kadang ada segelintir orang berdemo di depan outlet-outletku menuntut agar outletku ditutup karena menyebabkan rakyat tidak dapat membedakan politikus dan pejabat yang busuk dengan yang tidak busuk, karena bau mereka yang busuk dan tidak busuk sama, bahkan kadang mereka yang busuk lebih wangi. Demo mereka tidak pernah menghalangi usahaku. Polisi dan militer selalu berhasil membubarkan mereka, memukul dan memenjarakan mereka. Ditiap negara, polisi dan militer merupakan backing yang gratis karena hampir semua pejabat tingginya adalah penikmat wanginya produkku.

Kini minyak wangiku tidak hanya menjadi konsumsi para politikus dan pejabat busuk saja. Kalangan artis, tokoh masyarakat, aktivis mahasiswa, tokoh agama dan pasangan suami-istri juga banyak membeli minyak wangiku. Makin banyak yang busuk makin banyak pula keuntunganku. Aku menikmati semua ini.

Nur Muhammad Ibrahim



sumber : eramuslim

Bapak Tua Itu.....

Jalanan Jakarta seperti biasa, panas dan berdebu, walau pagi ini belum juga beranjak menjadi siang. Aku nyalakan tape dan AC di mobilku, sambil bernyanyi-nyanyi kecil untuk menghilangkan kejenuhan, karena jalan menuju kantor seperti pagi-pagi lainnya, penuh dan macet. Ternyata nyanyian itu tidak membuat hatiku menjadi tenang. Batinku merasa lelah, hatiku mengeluh. Jenuhnya aku dengan suasana rutinitasku sehari-hari, belum lagi urusan kantor yang tidak ada habis-habisnya. Sampai-sampai aku sendiri tidak menikmati lagi apa yang dulu menjadi kenikmatan tersendiri, bekerja di kantorku.

Di tengah kemacetan, tiba-tiba kaca mobilku diketuk oleh seorang tua dengan matanya yang sayu. Dia tersenyum padaku dan menawarkan makanan kecil yang dijualnya. “Neng, lima ratus per bungkus Neng.” ujarnya. Tanpa pikir panjang apakah aku suka dengan makanan yang dijualnya aku menjawab “Ya sudah Pak, beli 10 ya.”. Matanya berbinar-binar senang. “Alhamdulillah Neng, penglaris”. Subhanallah betapa senangnya aku melihat bapak tua itu tersenyum bahagia sekaligus mensyukuri rizkinya. Betapa indahnya berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Rasanya pagi itu yang serba membosankan berubah menjadi pagi yang indah untukku.

Astaghfirullaahal’azhim…. Rabb baik sekali memberikan kesempatan kepadaku untuk langsung berkaca pada diriku sendiri. Aku yang lebih beruntung dari Bapak tua itu, yang dapat duduk enak di kantor yang dingin, masih mengeluh atas kejenuhanku. Kalau saja mataku lebih terbuka, banyak orang-orang yang lebih tidak beruntung, tetapi mereka mencari nafkah dengan gembira, mensyukuri rizki yang diberikan Allah kepada mereka, sedikit apapun. Bapak tua itu, contohnya. Mungkin keuntungan dari penjualan makanan kecil yang diasongnya hanya mampu untuk menghidupinya hari itu, untuk esok, beliau harus bergulat dengan kerasnya Jakarta, begitu tiap harinya. Ya Allah, semoga Bapak tua dan orang-orang lain yang kurang beruntung diberi keikhlasan dalam menjalani hidup mereka, berikan mereka nikmat syukur dan nikmat rizki-Mu, berikan mereka ketabahan, tunjukkan mereka selalu jalan menuju istiqamah, Ya Allah, tolong kabulkan, hanya do'a yang dapat aku berikan untuk menolong mereka.

sumber : eramuslim

Bangsa Selebritis

Waktu saya masih kecil,terakhir saat saya SMU, saya masih selalu melihat perlombaan-perlombaan ‘tradisional’ di kampung saya. Semua sederhana, tanpa neko-neko.

Terlepas masyarakat saat ini masih ‘memelihara’ tradisi lomba-lomba yang beragam sebagai ciri khas perayaan di kampung-kampung seantero bangsa ini, saya merasa ada yang hilang dari mentalitas luhur masyarakat kita yang semestinya ada, karena budaya adiluhung yang sering dibanggakan dahalu. Ruh kemerdekaan semakin terlontar jauh dari porosnya yang hakiki.

Masyarakat kita saat ini belajar banyak dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, semua proses belajar dari pengalaman sangat baik di serap oleh masyarakat. Sayang, materi ‘pengalaman’ yang diserap mayoritas masyarakat adalah pengalaman amoral, lebih banyak berprasangka dan pembodohan –pembodohan terselubung. Lihat saja perlombaan hura-hura yang digelar dari mulai lomba joged paling nginul, fashion, poco-poco, dan parahnya, para ibu-ibu yang tak lagi berbody ABG justru yang paling banyak. Bila para ibunya begitu, bagaimana para anak gadis dan jejakanya???? Masyarakat bawah lebih senang nuansa grubyak-grubyuk daripada nuansa-nuansa arif dan bersahaja. Mereka belajar dari siapa???? Selebritis dan para tokoh, tentunya!

Jadilah bangsa ini menjadi bangsa selebritis, karena memang itu yang dinikmati dan ditiru sebagian masyarakat di negeri ini. Sebenarnya, kalau kita mau melihat jujur, masyarakat kita lebih sering tercekoki hal-hal rendah tentang moral dan mentalitas. Lihat saja cara mereka merayakan sebuah moment sesakral kemerdekaan. Lihat bagaimana masyarakat kita dan para selebritis yang mereka nikmati dilayar kaca; semu! Full of Fun! Jauh dari nuansa keluhuran budaya ketimuran, jauh dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya.

Bangsa selebritis, bangsa yang demen merayakan segala moment dengan hingar bingar. Kita (masyarakat) belajar dari para pemimpinnya. Kalau pemimpin bisa korup kenapa kita nggak bisa menghibur masyarakat dengan hingar bingar ? Dampaknya? Masyarakat kita senang dengan hal-hal tiruan. Kalau selebritis bisa begini maka masyarakat juga bisa! Memaksakan bisa kalau perlu! Hiburan menjadi makanan pokok masyarakat kita, bukan lagi selingan! Sedangkan hal-hal pokok, tentang moralitas masyarakat, rasa prihatin, harga diri bangsa adalah selingan, diingat sesaat dan dilupakan perihnya.

Alhasil, malu rasanya memekikkan merdeka didalam bangsa yang terjajah budayanya, pola pikirnya, kemerdekaan adalah sebuah perjuangan. Perjuangan menjadi merdeka bukan perjuangan remeh yang semakin tua justru dinikmati sebagai ‘ulang tahun’ yang hingar bingar. Semestinya, sesuatu yang berusia setengah abad, lebih arif, lebih bijaksana, lebih matang. Bukan seperti usia 17 tahun. Itulah…. Masyarakat ini tegak bila setiap individu dan para pemimpinnya memiliki pemaknaan yang utuh tentang dirinya dan bangsanya. Bukan hanya pandai bersolek, bukan hanya senang menghibur diri sendiri , bukan hanya hingar bingar dan bergaya dengan budaya-budaya imitasi.

Kemerdekaan kita tidak pernah diraih dengan cuma-cuma apalagi hanya diberikan. Kemerdekaan itu direbut! Diperjuangkan. Ya, memang tidak sama orang yang pernah memperjuangkan sesuatu dengan orang-orang yang hanya menikmati apalagi ‘memanfaatkan’ kemerdekaan. Tidak sama seseorang yang menciptakan atau memiliki sesuatu dengan orang-orang yang hanya meminjam atau membeli sesuatu. Tidak akan sama orang-orang yang mengalami dengan orang-orang yang hanya bersimpatai, berempati apalagi hanya ‘merayakannya’. Perayaan hingar bingar dan mental pertunjukan memang tidak lagi layak untuk memaknai sebuah moment sesakaral kemerdekaan.

Pemikiran yang kritis , mental juang, militansi, kemandirian, mentalitas yang sarat dengan harga diri sebagai bangsa, pendirian yang teguh dan tidak membebek adalah hal-hal penting yang semestinya selalu semakin tebal seiring dengan merambatnya usia sebuah bangsa. Bangsa selebritis hanya kan melahirkan generasi-generasi yang lupa akan sejarah dan hakikat dirinya. Bnagsa selebritis adalah bangsa yang akan menaungi generasi-generasi manja dan cekithang-cekithing, karena mereka –nak-anak mudanya- mayoritas adalah generasi-generasi yang menjadikan hiburan sebagai menu utaman kehidupannya. Bila terus menrus demikian??? Ucapkan selamat tinggal kepada cita-cita luhur sebagai bangsa adiluhung yang berbudaya. Ganti saja dengan Republik Inul! Maka bangsa kita benar-benar bak Selebritis dan dunianya. Bangsa mercusuar dan terkenal karena banyak gossip dan masalah! Sinis memang, tapi ini realita!

sumber : eramuslim

Bandingkan Cinta Anda Dengan Cinta-Nya!

Cinta adalah memberi, dengan segala daya dan keterbatasannya seorang pecinta akan memberikan apapun yang sekiranya bakal membuat yang dicintainya senang. Bukan balasan cinta yang diharapkan bagi seorang pecinta sejati, meski itu menjadi sesuatu yang melegakannya. Bagi pecinta sejati, senyum dan kebahagiaan yang dicintainya itulah yang menjadi tujuannya.

Cinta adalah menceriakan, seperti bunga-bunga indah di taman yang membawa kenyamanan bagi yang memandangnya. Seperti rerumputan hijau di padang luas yang kehadirannya bagai kesegaran yang menghampar. Seperti taburan pasir di pantai yang menghantarkan kehangatan seiring tiupan angin yang menawarkan kesejukkan. Dan seperti keelokan seluruh alam yang menghadirkan kekaguman terhadapnya.

Cinta adalah berkorban, bagai lilin yang setia menerangi dengan setitik nyalanya meski tubuhnya habis terbakar. Hingga titik terakhirnya, ia pun masih berusaha menerangi manusia dari kegelapan. Bagai sang Mentari, meski terkadang dikeluhkan karena sengatannya, namun senantiasa mengunjungi alam dan segenap makhluk dengan sinarannya. Seperti Bandung Bondowoso yang tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah.

Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.

Tentang Cinta itu sendiri, Rasulullah dalam sabdanya menegaskan bahwa tidak beriman seseorang sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya. Al Ghazali berkata: "Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalaupun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta dan bila ada maqam-maqam sesudah cinta, maqam itu hanyalah akibat dari cinta saja."

Disatu sisi Allah Sang Pencinta sejati menegaskan, jika manusia-manusia tak lagi menginginkan cinta-Nya, kelak akan didatangkan-Nya suatu kaum yang Dia mencintainya dan mereka mencintai-Nya (QS. Al Maidah:54). Maka, berangkat dari rasa saling mencintai yang demikian itu, bandingkanlah cinta yang sudah kita berikan kepada Allah dengan cinta Dia kepada kita dan semua makhluk-Nya.

Wujud cinta-Nya hingga saat ini senantiasa tercurah kepada kita, Dia melayani seluruh keperluan kita seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita, seakan-akan tidak ada lagi hamba yang diurus kecuali kita. Tuhan melayani kita seakan-akan kitalah satu-satunya hamba-Nya. Sementara kita menyembah-Nya seakan-akan ada tuhan selain Dia.

Apakah balasan yang kita berikan sebagai imbalan dari Cinta yang Dia berikan? Kita membantah Allah seakan-akan ada Tuhan lain yang kepada-Nya kita bisa melarikan diri. Sehingga kalau kita "dipecat" menjadi makhluk-Nya, kita bisa pindah kepada Tuhan yang lain.

Tahukah, jika saja Dia memperhitungkan cinta-Nya dengan cinta yang kita berikan untuk kemudian menjadi pertimbangan bagi-Nya akan siapa-siapa yang tetap bersama-Nya di surga kelak, tentu semua kita akan masuk neraka. Jika Dia membalas kita dengan balasan yang setimpal, celakalah kita. Bila Allah membalas amal kita dengan keadilan-Nya, kita semua akan celaka. Jadi, sekali lagi bandingkan cinta kita dengan cinta-Nya. Wallahu a'lam bishshowaab. (Bayu Gautama. Thanks to Herry Nurdi akan artikel "Belajar Mencinta"nya)

sumber : eramuslim

Bahwa Tak Ada Yang Abadi

Ketika Matahari menampakkan diri di pagi hari, dan terus menerpakan sinarnya ke setiap sudut alam hingga puncaknya pada tengah hari. Menjelang senja, ia pun mulai bersiap-siap meninggalkan singgasananya untuk bertukar peran dengan rembulan yang akan bercahaya menerangi malam hingga fajar. Bulan tak sendiri, ia ditemani oleh bintang-bintang yang berkelipan, belum lagi lintasan-lintasan benda langit lainnya yang menjadikan alam atas teramat mengagumkan. Begitu seterusnya, tak pernah matahari menguasai sepanjang hari, bulan dan bintangpun demikian. Karena sesungguhnya, tak satupun mereka berhak memiliki hari sepenuhnya.

Terkadang, langit cerah disertai mentari pagi yang menghangatkan menjadi mimpi terindah setiap makhluk di muka bumi. Tapi, tidak akan pernah mentari seterusnya berseri dan langit cerah, karena bukan tidak mungkin atap dunia itu berubah mendung dan menghitam, mencekam dan menebar ketakutan. Angin sejuk sepoi-sepoi yang terasa menyegarkan saat belaiannya menyentuh kulit, sesaat kemudian bisa berputar dan berputar membentuk tornado yang dalam sedetik meluluhlantakkan semua yang terhampar di bumi. Air laut yang tenang, pantai yang indah dengan ombak yang melambai indah, hamparan pasir yang halus, disaat yang lain bisa menjadi gelombang air dahsyat yang menenggelamkan sejuta harapan, meninggalkan bekas yang memilukan.

Bunga-bunga yang hari ini terlihat indah merekah, satu dua hari kemudian akan layu dan memudar warnanya, bisa karena hempasan angin, sengatan matahari atau terusik unggas. Dedaunan akan tetap berwarna hijau bila ianya tetap menyatu dengan tangkainya, tatkala ia luruh dan jatuh ke tanah, mengeringlah ia. Embun pagi yang bening di ujung daun, dalam beberapa detik takkan lagi terlihat. Setelah jatuh, habislah ia. Tinggal menunggu esok pagi kan datang tuk bisa menikmati kembali beningnya. Unggas pagi, berteriak lantang pertanda dimulainya hari, tidak jarang, mereka membangunkan insan yang setengah malas dan kantuk masih di sudut mata. Ketika siang, saat manusia-manusia bergegas dalam segala bentuk aktifitas mereka, makhluk lain pun menjalankan perannya masing-masing.

Menjelang senja, sinar merah kekuningan seperti meminta perhatian makhluk bumi untuk bersiap menyambut malam. Tak hanya manusia, hewan-hewan bahkan binatang melata pun beriringan menuju rumah mereka, menikmati malam, memandangi rembulan dan bintang-bintang, dan mendengarkan hewan-hewan malam bersahutan mewarnai malam yang panjang, hingga menanti datangnya fajar. Manusia-manusia aktif yang terkadang tak kenal lelah, terlelap dalam buaian selimut, mimpi, harapan serta do’a. Hingga esok, ada yang terbangun, dan ada yang tetap terlelap, menutup mata untuk selamanya. Tugasnya sebagai manusia telah selesai. Tak ada manusia yang memiliki sepenuhnya hari, tak ada makhluk yang memiliki sepenuhnya kehidupan. Dan tak ada jiwa yang memiliki sepenuhnya apapun yang sesungguhnya bukan berasal darinya. Semua perubahan, kejadian, dan perputaran peran itu meyakinkan kita, bahwa tak ada yang abadi.

Bayi mungil, lucu dan menyenangkan saat lahir, beranjak dewasa, kemudian tua dan akhirnya mati. Kemudian, generasi berikutnya hadir, hingga diakhiri lagi dengan kematian. Itulah hidup. Seperti matahari yang tak pernah selamanya bersinar, seperti daun yang mengering saat tanggal dari tangkainya, seperti embun yang meski sedemikian indah, hanya sekian detik saja umurnya. Seperti hujan yang mungkin setiap hari turun tak pernah berhenti, tak pernah setiap yang diciptakan Tuhan di alam ini, berkuasa untuk tetap memiliki kejadiannya seutuhnya. Karena mereka hanya makhluk, yang semuanya terus berubah dan berujung pada akhir. Tak seperti Pencipta semua makhluk itu sendiri, karena Ianya tak berawal, maka tak ada akhirnya pada-Nya. Sedangkan kita, atau makhluk lainnya, memiliki awal, dan sudah pasti tertulis sudah akhirnya. Kita hanya tinggal menunggu waktu.

Sebagai makhluk, tak sekedar untuk hidup Allah menciptakannya. Setiap ciptaan Allah, memiliki peran yang menjadi amanahnya. Kita semua, berdiri, berdiam diri, tertidur, berjalan, berhenti sejenak, kemudian berjalan lagi, sesekali istirahat hanya untuk menorehkan catatan diri. Tinta merah atau biru yang hendak kita pakai untuk mengisi lembaran putih catatan itu, hak sepenuhnya ada di tangan kita. Jikalah matahari selalu mempunyai catatan biru dalam buku raport-nya, begitu juga dengan rembulan, langit dan semua benda yang menghiasinya, hewan-hewan yang senantiasa ikhlas menjadi bagian hidup manusia, tetumbuhan, bumi tempat berpijak, lalu kenapa kita tak pernah iri untuk senantiasa memperbaiki catatan merah kita di hadapan Allah?

Makhluk-makhluk Allah yang lain, manusia-manusia yang berlomba menorehkan tinta biru dalam catatan akhirnya, sungguh teramat sadar bahwa waktu yang Allah berikan teramat singkat, hingga tak pernah terpikir olehnya untuk berbuat satu hal pun yang bisa menyebabkan lembaran putihnya ternoda oleh titik merah. Bersujud dan berdo’a, mencari keridhoan Allah di setiap detik, setiap langkah, dan jalan yang dilaluinya, agar tak ada sedikitpun kebencian di mata Allah keatasnya. Belajar dari manusia-manusia terdahulu yang telah mengukir nama mereka di hati Allah, semestinya saat ini, kita terus berjuang keras untuk bisa mendapatkan satu tempat di hati-Nya untuk menggoreskan nama kita.

Harta yang banyak, bukan jalan untuk bisa mendapatkan tempat di hati Allah. Kendaraan yang bagus, jabatan tinggi, status sosial terhormat, perhiasan dan berjuta keindahan dunia, juga tidak. Bukan semua itu yang akan menjadikan kita makhluk berarti di mata Dia. Karena sesuatu yang tak abadi, tak mungkin bisa menjadi bekal menuju keabadian untuk bertemu Yang Maha Abadi. Jiwa yang bersih, jiwa yang tenang, adalah jiwa yang pertama hadir dalam bentuk jasad manusia saat pertama ditiupkan. Hanya dengan kembali dengan kebersihan dan ketenangan semula, ia bisa diterima disisi Yang Maha Abadi. Maka, belajar dari semua ketidakabadian selain Allah, jangan pernah menghabiskan waktu (yang teramat sebentar ini) yang diberikan Allah ini, tanpa torehan tintas kebaikan. Mungkin besok, tak ada lagi waktu buat kita menggenggam tinta biru. (Bayu Gautama, berjam-jam di tengah kebun teh Sukabumi, karena tak yakin besok masih ada waktu untuk kembali ke tempat ini



sumber : eramuslim

Baghdad, Kota Dengan Sejarah Panjang

Baghdad mempunyai sejarah yang panjang dalam Islam. Baghdad diberi julukan sebagai Madinatus Salam atau kota perdamaian dan dijadikan sebagai ibukota kekhalifahan Islam Bani Abbasiyah. Adalah Harun Al Rasyid yang berhasil membawa Baghdad menjadi kota yang makmur. Beliau membawa Baghdad mengalami masa keemasan sebagai pusat kebudayaan dan perdagangan dunia Islam. Begitu pula ketika khalifah dipegang oleh Al Ma'mun, seni literatur, teologi, filosofi, matematika, dan ilmu pengetahuan lainnya mengalami masa kejayaan di kota Baghdad. Perlu dicatat bahwa Al Khwarizmi peletak dasar aljabar dalam matematika berasal dari Baghdad. Baghdad pun menjadi pusat ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

Pada sekitar abad ke tujuh Hijriyah, terjadilah invasi besar-besaran dari bangsa Mongol. Kita tahu bahwa Mongol dengan pemimpinnya Genghis Khan akhirnya berhasil menguasai hampir sebagian besar Asia dan Eropa. Tidak terkecuali juga kekhalifahan Islam. Baghdad sebagai kota terbesar dan pusat dunia Islam menjadi target invasi pertama bangsa Mongol. Diutuslah Hulagu Khan, cucu dari Genghis Khan untuk menginvasi Baghdad. Khalifah di Baghdad waktu itu adalah Al Musta'sim, yang sudah siap untuk melawan bangsa Mongol demi mempertahankan kota Baghdad.

Akan tetapi penasihat khalifah memberikan saran agar mengadakan perjanjian damai dengan Mongol, sebenarnya penasihat khalifah tersebut berkonspirasi dengan Mongol agar ia bisa dijadikan khalifah selanjutnya. Untuk menghindari jatuh korban, Al Musta'sim menyetujui dan menemui Hulagu di luar kota Baghdad.

Seperti sudah direncanakan, Al Musta'sim dibunuh beserta semua delegasinya. Ada semacam pemikiran di kalangan bangsa Mongol jika darah seorang pemimpin sampai menyentuh tanah dimana ia memimpin, maka mereka akan kalah perang. Karenanya Al Musta'sim tidak dibunuh dengan pedang tapi dimasukkan dalam karung dan karung tersebut ditombaki dan dinjak dengan kuda. Naudzubillah min dzallik. Begitu pula dengan penasihat khalifah yang berkonspirasi dengan bangsa Mongol sendiri turut dibunuh. Akhirnya masuklah bangsa Mongol ke kota Baghdad.

Dimulailah pembantaian rakyat sipil yang sama sekali tidak siap dengan perang. Mau tidak mau, kota Baghdad yang pada waktu itu dipenuhi oleh ilmuwan, menyerah karena tidak bisa melawan. Namun akhirnya rakyat sipil yang sudah menyerah itupun dibantai secara brutal. Begitu pula dengan hasil karya mereka. Banjirlah Baghdad dengan merah, warna darah dan hitam warna tinta dari literatur dan buku ilmu pengetahuan.

Setelah hancurnya Baghdad satu persatu kota-kota Islam lainnya mulai berhasil dikuasai Mongol. Sampai akhirnya Hulagu siap menginvasi Mesir, yang pada waktu itu dipimpin oleh Khalifah Qutuz. Dikirimlah utusan dengan surat yang memerintahkan Qutuz menyerah dan menyerahkan Mesir kepada Mongol. Qutuz sudah mendengar bahwa bangsa Mongol merupakan bangsa yang susah ditaklukan, namun ia beriman kepada Allah. Hanya Allah-lah yang patut untuk ditakuti. Karenanya tidak patut seorang hamba Allah takut kepada sesama makhluk ciptaan-Nya. Ia merobek surat dan memenggal utusan yang membawa surat itu dan digantung di pintu gerbang Kahera (Kairo) untuk memicu semangat dan meningkatkan moral pasukan Muslim.

Dengan jawaban seperti, Qutuz yakin bahwa ini akan mempercepat invasi Mongol ke Mesir. Di Mesir pada waktu terjadi perpecahan antara umat Islam. Dengan tujuan agar dapat membela Mesir dan Islam, Qutuz berhasil menyatukan pihak-pihak yang berseturu di Mesir, seperti salah satu yang terkenal adalah Sultan Mamluk, Baibar. Daripada menunggu diserang, Qutuz beserta semua khalifah di Mesir berusaha memukul mundur pasukan Mongol di luar kota. Akhirnya mereka bertemu di daerah Ain Jalut, sekitar Palestina utara. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Ain Jalut. Mereka kuat dalam perlengkapan perang seperti senjata, cadangan makanan, dan moral yang tinggi karena tidak pernah terkalahkan, dan pengalaman perang. Sedangkan pasukan Islam dengan persiapan seadanya, tapi dengan satu bekal kuat yaitu iman kepada Allah.

Ketika pertempuran berlangsung, sepertinya kekalahan akan diterima oleh pasukan muslim. Para pasukan terpukul mundur dan mulai kehilangan orang. Sementara pasukan Mongol terus menekan pasukan Muslim. Menurut perhitungan, kekalahan tinggal menunggu waktunya. Di saat banyak sudah korban berjatuhan, bertindak sebagai seorang pemimpin, Qutuz tetap semangat dan berusaha untuk kembali mengembalikan moral pasukan Muslim. Dengan menaiki sebongkah batu, beliau melepaskan pelindung kepalanya dan meneriakkan salah satu kalimat yang historis dalam Islam, "Islamah... Islamah..." yang berarti "Demi Islam... Demi Islam..." sambil diiringi sedikit isak tangis. Mendengar kalimat itu, para panglima pasukan Muslim yang tadinya mulai mundur, ikut mengumandangkan kalimat "Islamah... Islamah.." Yang pada akhirnya diikuti oleh semua pasukan Muslim. Seakan-akan mendapat energi baru untuk melawan, para panglima pasukan Muslim menerjang pasukan Mongol. Dengan meneriakkan "Islamah... Islamah...", seluruh pasukan muslim yang masih hidup maju tanpa takut nyawa akan hilang. Karena toh, mati di medan perang adalah syahid.

Pada akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Muslim dan mematahkan mitos bahwa pasukan Mongol tidak terkalahkan. Dengan bantuan Allah semua itu bisa dilakukan. Pasukan Mongol terpaksa mundur ke Baghdad. Kemenangan di perang Ain Jalut ini membuka jalan untuk kembali mengembalikan Islam di Baghdad. Dengan bantuan Allah, akhirnya Qutuz berhasil mengembalikan Islam ke Baghdad.

Kalau kita lihat cuplikan sejarah Baghdad di atas, mungkin Anda akan merasakanb deja vu (terulang kembali). Begitulah keadaannya. Kita pun akan melihat nantinya sekuat apapun suatu kekuatan, insya Allah akan hancur seperti halnya pasukan Mongol. Demikian pula ketika kita dalam keadaan yang mempunyai kekuatan, hendaknya berlaku adil. Hal ini terjadi ketika khalifah Qutuz kembali meng-Islamkan Baghdad, dimana banyak penduduk Mongol yang menyerah. Mereka tidak dibunuh, mereka tidak disakiti, mereka dibiarkan hidup. Yang pada akhirnya... mereka memeluk Islam. Subhanallah. Wallahu'alam bishshawab. (Kompilasi dari berbagai sumber/Zulfikar S. Dharmawan/zulfikar@ukhuwah.or.id)



sumber : eramuslim