Sesosok tubuh berselimut kain putih terbujur kaku. Disekelilingnya terlihat
sanak saudara saling berangkulan, dan sesekali terdengar sesegukkan diiringi
tetesan air mata kepiluan, keheningan dan kesedihan yang teramat dalam.
Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari beberapa orang yang
hadir menambah kepiluan mereka yang ditinggalkan. Hari ini, satu lagi saudara
kita menghadap Rabb-nya, tidak peduli ia siap atau tidak. Innalillaahi wa inna
ilaihi raaji'uun.
Saudaraku, setiap yang hidup akan merasakan mati. Hal
itu termaktub dengan tegas dan lugas dalam kitab-Nya. Maka, bekal apa yang sudah
kita persiapkan untuk menyambut maut yang kedatangannya tidak diketahui namun
pasti itu. Saat seorang saudara kita mendapatkan gilirannya untuk menghadap Sang
Khaliq, saat kita melihat tubuhnya membujur kaku, saat ia terbungkus kain putih
bersih, saat tubuh tanpa nyawa itu diusung untuk dibawa ketempat peradilan utama
atas setiap amalnya, dan saat kita bersama-sama menanamkan jasadnya ke dalam
tanah merah serta menimbunkan tanah dan bebatuan diatas tubuhnya, sadarkah kita
bahwa giliran kita akan tiba, bahwa waktu kita semakin dekat.
Saudaraku,
pernahkah membayangkan betapa dahsyatnya maut menjemput, kita harus meregang
nyawa saat Izrail pesuruh Allah menarik nyawa manusia perlahan-lahan untuk
memisahkan dari jasadnya. Ketahuilah, Rasulullah manusia kecintaan Allah dan
para malaikat-pun menjerit keras merasakan pedihnya sakaratul maut. Dan saat
lepas ruh dari jasad, mata kita yang terbuka lebar dan menatap keatas,
mengisyaratkan ketidakrelaan kita meninggalkan keindahan dunia atau mungkin
isyarat ketakutan yang teramat sangat akan ganjaran yang akan diterimanya di
akhirat.
Saudaraku, bayangkan jika saudara yang baru saja kita saksikan
prosesi pemakamannya itu adalah diri kita sendiri, bayangkan juga jika yang
terbujur kaku terbungkus kain putih itu adalah diri kita yang saat ini tengah
menikmati indahnya dunia, kita begitu rapuh, tidak berdaya dan takkan bisa
berbuat apa-apa yang dapat menolong kita dari peradilan Allah, kita hanya diam
dan membisu dan membiarkan seluruh tubuh kita bersaksi didepan Allah dan para
malaikat-Nya atas waktu dan kesempatan yang diberikan, dan kita hanya bisa
menunggu keputusan yang akan diberikan Allah.
Saudaraku, saat itu kita
harus rela menerima keputusan dan menjalankan balasan atas segala perbuatan.
Tentu tidak ada tawar-menawar, negosiasi, permohonan maaf, belas kasihan, bahkan
air mata pun tidak berlaku dan tidak membuat Allah membatalkan keputusan-Nya.
Karena kesempatan untuk semua itu sudah diberikan saat kita hidup didunia, hanya
saja kita tidak pernah mengambil dan memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada
untuk tunduk, takut, menangis berharap akan ampunan-Nya. Tidak saudaraku, semua
itu sudah lewat.
Saudaraku, saat tubuh kita terusung diatas kepala para
sanak dan kerabat yang menghantarkan kita ke tanah peradilan, tahukah kita bahwa
saat itu kita berada dipaling atas dari semua yang hadir dan berjalan, tubuh dan
wajah kita menghadap kelangit, itu semata untuk memberitahukan bahwa kita
semakin dekat untuk memenui Allah. Tentu kita harus berterima kasih, karena
masih ada orang-orang yang mau mengangkat tubuh kita dan mau bersusah-susah
menghantarkan, menanam bahkan membiayai prosesi pemakaman kita. Bayangkan jika
kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan su'ul khotimah, sehingga semua orang
memalingkan mukanya dari muka penuh kotor dan nista ini. Saat itu, tentu tak
satupun dari orang-orang yang masih hidup menangisi kepergian kita bahkan mereka
bersyukur. Na'udzubillaahi min dzaalik
Saudaraku, kita tentu juga mesti
bersyukur saat Allah mengizinkan tanah-tanah merah yang juga makhluk Allah itu
menerima jasad kita. Padahal jika tanah-tanah itu berkehendak -atas seizin
Allah- ia akan menolak jasad kita karena kesombongan kita berjalan dimuka bumi.
Jika ia mau, ia tentu berkata, "Wahai manusia sombong, ketahuilah bahwa tanah
ini disediakan hanya untuk orang-orang yang tunduk". Ia juga bisa mengadukan
keberatannya kepada Tuhannya untuk tidak mau menerima jasad manusia-manusia yang
dengan sewenang-wenang dan serakah menikmati hasil bumi. Tanah-tanah itu juga
tentu bisa berteriak, "Enyahlah kau wahai jasad penuh dosa, tanah ini begitu
suci dan hanya disediakan untuk orang-orang yang beriman" Tapi, atas kehendak
Allah jualah mereka tidak melakukan itu semua. Namun, tentu saat itu sudah
terlambat bagi kita untuk menyadari kesalahan, dan kekhilafan.
Oleh
karena itu saudaraku, saat sekarang Allah masih memberikan waktu dan kesempatan,
saat sekarang kita tengah menunggu giliran untuk menghadap-Nya, ingatlah selalu
bahwa setiap yang hidup pasti merasakan mati. Saat kita mengantar setiap saudara
yang mati, jangan tergesa-gesa untuk kembali ke rumah, tataplah sejenak
sekeliling kita, disana terhampar luas bakal tempat kita kelak, ya, tanah-tanah
merah itu sedang menunggu jasad kita. Tapi, sudahkah semua bekal kita kantongi
dalam tas bekal kita yang saat ini masih terlihat kosong itu? (Bayu Gautama)
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar