"Iiihhh... malu..." Fathimah menjerit kecil sambil menutupi matanya. Begitu pula
Hussain, sang adik langsung ikut berucap,"Matiin aja Om, tipinya...". Saya dan
istri tak urung menjadi salah tingkah dibuatnya. Memang siang itu, kebetulan di
salah satu acara infotainment TV swasta sedang diulas beberapa selebriti yang
akan menghabiskan waktunya di acara penghujung tahun 2003, salah satunya adalah
Ibu Inul Daratista yang --maaf-- dengan goyang ngebor sporadisnya nyaris
mendominasi layar TV 21 inch saya.
Dan secara tak sengaja, dua bocah
balita itu sedang konsentrasi melihat acara-acara yang ada sambil sesekali
mengganti channel, tapi siapa nyana, mata dua anak itu tertumbuk pada acara yang
memang secara fithrah merupakan tontonan aneh bagi mereka, maka tak ayal
terlontarlah respon seperti itu...
Langsung saja saya rebut remote
control TV yang sedang Hussain pegang, dan saya tekan tombol OFF tanpa babibu
lagi."Fiuuuh..., aman", batin saya. Tapi tak berhenti sampai disitu, Fathimah
masih saja menutupi kedua matanya dengan tangannya, masih sambil
bergumam,"Iiiih... malu, ih maluuu..." Lho...?!?!
***
Sudahkah
anak-anak kita merespon begitu cepat setiap tontonan yang mereka saksikan di
layar TV...? Sudahkah kita merasa aman kalau dengan membiarkan anak-anak kita
duduk manis berlama-lama di depan TV dibanding berkotor-kotor dengan
teman-temannya di halaman...? Sudahkah kita mempunyai anak-anak yang responsif
dan reaktif dengan tontonannya seperti layaknya Fathimah dan
Hussain...?
Saya disini bukan ingin mengajak berdebat kusir masalah
klasik mengenai apakah TV memang layak untuk anak-anak kita ataukah tidak. Saya
yakin kita semua akan berpolemik panjang mengenai itu semua. Tapi yang membuat
saya tergelitik adalah kemampuan kita (baca:orang tua) untuk memberikan pengaruh
(influence) kepada anak-anak kita terhadap semua yang diberikan TV sehingga
anak-anak kita akan mampu dengan sendirinya mempunyai daya kekebalan (immunne)
terhadap acara-acara nyeleneh yang tidak patut ditonton oleh mereka.
Saya
iseng-iseng menemukan artikel di internet mengenai korelasi negatif TV dan
anak-anak ini, yang merupakan tulisan dari Dr. Ellen Abell (Extension Family and
Child Development Specialist, Alabama Cooperative Extension System, U.S.A), dia
kurang lebih mengatakan seperti ini,"The visual nature of television or other
media stimuli do not develop the part of the brain responsible for language.
Children who watch too much television and do not read enough may have trouble
paying attention and listening to comprehend language. It's important that
parents take time reading out loud to their children and help them develop their
own reading and comprehension skills. I suggest that parents make plans with
their children for weekly television viewing. Select shows that you will allow
children to watch instead of leaving the television on all the
time".
Nah, disini kita kembali diusik untuk jujur pada diri kita
sendiri, apakah kita sudah menempatkan TV sebagai satu-satunya hiburan rohani
yang menyegarkan? Apakah kita tidak bisa menemukan alternatif hiburan selain apa
yang disuguhkan TV kepada kita? Apakah semua informasi akan out of date dari
ingatan kita manakala TV tidak menghiasi pandangan kita setiap hari?
Kembali kita harus menghadapi hal yang retoris, dilematis bahkan ironis.
Dari artikel yang saya kutip diatas, Dr. Ellen sudah memberikan alternatif
(bahkan bukan sekedar alternatif, tapi bisa menjadi solusi), yaitu hidupkan
budaya membaca!
Membaca bisa memberikan kesan visual dan imajinatif tak
kalah hebat dengan TV (tentunya buku yang dibaca haruslah menarik dan atraktif
menurut usia dan pola fikir anak), apalagi ditambah dengan bantuan orang tua
yang bisa memberikan atmosfir yang hidup untuk suasana baca tersebut. Banyak
anak malas membaca karena kurangnya motivasi dari orang tua terhadap mereka,
bukan karena memang mereka tidak bergairah membaca.
Dan mungkin yang
kedua adalah, jangan sungkan dan bosan untuk selalu menanamkan kepada anak
apa-apa yang haq dan yang bathil baik secara teoritis maupun aplikatif. Yang
ingin saya utarakan adalah, sering kita menasehati anak tanpa kita berusaha
untuk menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) bagi mereka. Walhasil, mereka
akan gamang dalam menentukan sikap. Praktisnya, tingkah laku anak bisa jadi
adalah cerminan (mir'ah) dari pola didik yang diterapkan orang tuanya
kepadanya.
***
Saya bersyukur Allah SWT menasihati saya dengan
sikap reaktif Fathimah dan Hussain terhadap hal-hal miring yang terpampang jelas
di depan mereka. Betapa saya banyak bersikap acuh tak acuh ketika melihat
tayangan yang seyogyanya sudah tidak pantas dikonsumsi lagi (bahkan untuk
dewasa, apalagi untuk anak seusia mereka?!?!).
Sambil memangku Hussain,
saya melihat geli ke arah istri saya yang sedang "ditodong" oleh Fathimah untuk
membacakan sebuah novel anak setebal 100-an halaman, dan Fathimah tampak tekun
mendengarkan, seperti yang tak bosan menunggu selesai sampai dengan halaman
terakhir. Alhamdulillah TV dari tadi sudah dimatikan...
Kotabaru,
Yogyakarta
Maulana Muzaqi
muzaqi@cbn.net.id
sumber :
eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar