Sabtu, 23 Januari 2016

Allah cinta orang sabar ditengah bencana

Ketika kita naik mobil angkutan umum di tengah kemacetan lalu lintas, maka kita dituntut untuk bersabar. Kita tak boleh mencaci si sopir, apalagi membentak-bentak. Ketika kita berdesak-desakkan di kereta api kita juga dituntut sabar. Pada saat itu kita tidak boleh marah, kendati mungkin kaki kita terinjak.

Demikian pula di saat negeri ini dibanjiri air yang melimpah kita pun harus sabar. Karena sumpah serapah yang kita arahkan kepada penguasa pun tak akan mengurangi volume banjir yang merendam hampir 30% wilayah Indonesia. Nah, dari air itulah kita tahu bahwa kehidupan dan kematian itu berasal dari air. Jadi sabar memang tak ada batasnya, sebagaimana iman itu sendiri.

Pantaslah jika dalam sebuah kesempatan Nabi Muhammad SAW berpesan kepada kita untuk selalu bersabar (tabah dan ikhlas menerima kenyataan/taqdir). Bahkan beliau mengatakan,"Sebagian dari iman adalah sabar". Rasulullah yang mulia sendiri, setiap ditimpa musibah apa saja, tak pernah mengeluh apalagi sampai menyalah-nyalahkan orang lain. Entah itu pemerintah, tetangga, atau orang lain. Anehnya, kita tak pernah menyalahkan diri kita. Padahal, jangan-jangan kesalahan negeri ini juga karena kesalahan kita yang tanpa sadar kita turut menyumbangnya.

Kenapa kita diperintah untuk bersabar oleh Allah? Inilah terapi psikologis canggih yang diberikan Allah kepada kita. Melalui sikap inilah kita disadarkan bahwa manusia itu tak mampu mengelola hidupnya secara pasti. Dialah Allah yang mengurus segala urusan kita. Itulah makna kita membaca Alhamdulillahi Rabbil 'alamien. Artinya, bahwa yang mengatur segala urusan kita itu adalah Dia. Dengan demikian, bersama sabar kita menghadapi gejolak hidup itu dengan tenang, rileks.

Untuk menjadi seorang penyabar tidak mudah, memang. Tapi Allah melalui ayat-ayat-Nya, baik yang kauni maupun qauli mengajak kita untuk menjadi ash-shabirin (kelompok orang-orang yang sabar). Lihatlah betapa sabarnya seekor unta yang berjalan di padang pasir sembari membawa beban berat di punuknya. Simak juga kesabaran kerbau atau sapi ketika dengan tekunnya membajak lahan-lahan persawahan. Padahal kalau Allah mau, binatang-binatang itu menolak diperlakukan seperti itu oleh tuan-tuannya.

Kita ingat kisah tentang robohnya kuda Suraqah bin Naufal saat mengejar-ngejar Nabi untuk dibunuh. Kita ingat tenggelamnya Fir'aun bersama serdadunya di laut Merah ketika mengejar-ngejar Nabi Musa dan pengikutnya. Dan kita juga ingat selamatnya nabi Yunus dari telanan ikan hiu. Kalau saja Allah mau, tentu Nabi Muhammad SAW sudah dibunuh Suraqah, Musa sudah dipenggal oleh algojo-algojo Fir'aun dan Yunus tidak dikeluarkan lagi dari perut ikan buas itu.

Maka sangat wajar bila Allah mengabadikan mereka dalam al-Qur'an sebagai al-shabirien dan al-shadiqien, yakni orang-orang yang membenarkan ayat-ayat-Nya. Kuncinya apa? Mereka sabar dalam menjalani hidup ini, tanpa berharap materi di dunia.

Para kekasih Allah itu meneladani sifat Rabb mereka, Al-Shabur, salah satu al-Asma al-Husna yang Allah miliki. Saudara-saudaraku yang dirundung derita, dan mereka yang sedang ditimpa nestapa...........Bersabarlah, karena Allah bersama orang-orang yang sabar. (sdn)

sumber : eramuslim

Allah jugakah yang mentakdirkan manusia berdosa ?

Ada sebuah wacana menarik ketika seorang anak muda melontarkan pertanyaan kepada seorang Ustadz.

“Ustadz, Allah jugakah yang mentakdirkan manusia dosa ?”, tanya pemuda itu membuka percakapan.

“Manusia itu sudah diberi akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang berpahala dan mana yang dosa. Jadi manusia itulah pada hakekatnya yang mendhalimi dirinya sendiri, sehingga dia terjerumus dalam dosa”, jawab sang ustadz dengan senyum ramah di bibirnya.

“Jadi, kuncinya pada akal manusia ?”.

“Ya, justru itulah yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lain”.

“Lalu, siapa yang menggerakkan akal sehingga dia bisa memilih jalan sorga atau neraka ?”, anak muda itu terus mengejar dengan pertanyaan.

“Faktor utama kualitas output itu ditentukan oleh kualitas input. Itulah hukum dasar produksi; yang juga berlaku untuk akal kita. Analoginya, kalau bahannya cuma semen, pasir dan air, mustahil bagi kita untuk membuat ubin marmer. Ubin marmer inputnya ya marmer. Artinya, agar otak kita memutuskan jalan sorga, inputnya harus amal kebaikan. Misalnya pengajian, tartil Qur’an, majelis taklim, teman sholeh/sholekhah dan segala tuntunan Qur’an – Hadist.”

“Siapa yang menggerakkan hati sehingga mampu memilih input dengan kualitas surga ?”

“Allahlah Sang Muqollibal Qulub (Pembolak Balik Hati)”, jawab Sang Ustadz dengan mantap.

“Jadi artinya Allah penentu “input surga” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia mampu memilih jalan ke surga. Allah juga penentu “input neraka” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia memilih jalan dosa. Bisakah saya menyimpulkan bahwa Allah juga yang menentukan manusia dosa ?”,

Si anak muda tadi berusaha menyimpulkan dari obrolan dengan sang ustadz.

Sang ustadz hanya tersenyum dengan kerut didahinya. Ia lalu mengatakan, "Demi Allah; tidak ada selembar daun keringpun yang jatuh tanpa izin-Nya. Tidak ada setetes darahpun yang mengalir dalam tubuh ini tanpa izin-Nya. Tidak ada kematian seserat neuronpun di otak kita tanpa seizin-Nya. Tidak ada setitik pikiran dan seucap katapun yang sanggup dilontarkan manusia tanpa seizin-Nya. Allahlah yang memberi hidayah manusia sehingga suatu kebaikan ringan dia kerjakan."

Mari ikuti beberapa uraian berikut. Shalat sudah menjadi kebutuhan, ucapan santun menjadi trade mark dan ibadah apapun terasa nikmat. Namun kadang kondisi ini membuat manusia makin lalai. Bukan lalai pada Tuhannya, tapi yang paling sering adalah lalai pada saudara sesama muslimnya. Dia berfikir bahwa orang setingkat dia harus hidup dengan komunitasnya. Dia takut kalau orang yang keimanannya dibawahnya, atau jauh dibawahnya akan memberi dampak negatif bagi perkembangan rohaninya. Walhasil, dia hanya hidup di kalangan komunitas exclusive bikinannya sendiri. Kalau kondangan saja, dia selalu ngumpul sesama “jalur” dan tidak membaur. Sukanya mengorek kekurangan kelompok lain dan merasa diri/kelompoknyalah yang paling hebat.

Inilah sisi lain yang dengan kasih sayang-Nya, Allah berusaha mengubah dengan “takdir lain”. Dia takdirkan dosa dengan apapun penyebab yang mungkin. Shalat tahajjud sampai kelelahan dan tertidur sebelum adzan subuh. Akhirnya terbangun Jam 06.30 pagi.. Langsung mandi, berangkat kerja dan tidak sempat lagi shalat subuh. Dapat sunnah tapi yang wajib ditinggalkan. Ibarat dapat tambal baju, tapi tidak pakai baju. Karena amalan sunnah itu hanyalah amalan tambahan sebagai tambal bolongnya amalan wajib. Bolong karena kurang ikhlas, riya’ atau hal lain.

Mari kita lihat saudara-saudara kita yang sedang dijalur “kurang beruntung”. Pekerjaan utama sebagai penjaja tubuh. Dapat duit untuk judi sambil minum-minuman keras. Setelah duitnya habis dia “jualan” tubuh lagi. Begitulah kesehariannya dia jalani dengan normal menurut ukurannya sendiri. Tidak ada kata dosa.

Duapuluh tahun berikutnya ketika usianya menginjak empatpuluhan, nilai jualnya sudah turun drastis. Persaingan makin ketat dengan munculnya “daun-daun muda” baru. Cari duit sudah sulit. Badanpun mulai sakit-sakit. Setelah di-cek ke dokter, ternyata kena AIDS. Hari demi hari tubuhnya kian kurus.

Detik demi detik dari setiap sisa nafasnya hanyalah untuk menanti kereta kematian. Dia terhenyak, “kepada siapa lagi aku minta pertolongan ?” Akhirnya dengan rasa malu dia menyebut sebuah nama yang sudah terkubur selama duapuluh tahun. “Allah……….Allah……….Allah……”, mulutnya gemetaran menyebut dengan air mata meleleh penuh ketulusan. Dia yakin se-yakin yakinnya hanya Allahlah yang sanggup menolong. Sajadahpun dia cari lalu digelar untuk shalat, taubat dan taubat. Tak ada sedikitpun kesombongan terbesit dihatinya. Karena memang tidak ada yang pantas dia sombongkan dihadapan siapapun. Dosanya menumpuk sedang amal sorganya baru dia mulai. Inilah sisi yang lebih “lain” lagi sehingga Allah mengubah takdirnya. Dari sesat menjadi hidayah. Subhanallah.

Dari kedua contoh yang saling bertolak belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa takdir Allah itu adalah tuntutan kasih sayang-Nya. Dia Maha Tahu dengan cara apa Dia membuat manusia berjalan di trotoar yang benar dalam ukuran-Nya. Semuanya bertujuan agar sang mahluk tunduk pada Sang Khalik dengan setunduk-tunduknya. Penuh keihlasan. Ikhlas dengan tujuan hanya kepada Allah. Bukan hanya untuk mencari popolaritas ditengah-tengah manusia, karena namanya memang sudah miring dalam pandangan manusia.

Perbaikan demi perbaikan tidaklah berarti lagi dimata manusia. Lalu kepada siapa dan kepada siapa lagi dia harus minta pertolongan ? Inilah titik kulminasi kepasrahan yang diciptakan Allah pada sang hamba agar dia benar-benar kembali ke pangkuan-Nya. Dengan demikian pertolongan dan keagungan Tuhan bukan hanya sekedar kalimat-kalimat puisi, lagu atau nyanyian tapi lebih dari itu; dia akan rasakan dengan sepenuh hati. Kesimpulannya bahwa Allah tidak akan menjatuhkan takdir dengan sia-sia.

Dengan kasih sayang-Nya, tidak ada satupun dari takdir-Nya yang merugikan manusia. Semua bertujuan agar manusia kembali ke pangkuan-Nya dengan kesucian karena dia berangkat ke dunia dengan kesucian pula. Semua bertujuan agar manusia benar-benar sepenuhnya bergantung pada-Nya, sehingga tidak ada kemusyrikan dihatinya, walaupun sebesar zarrah.

Kupersembahkan buat semua sahabat muslim / muslimahku di seluruh dunia, khususnya Nina dan Zulfa.

sugito@aitbatam.com



sumber : eramuslim

Al-qur'an Bersampul Hijau

Malam itu pandanganku melayang cepat pada sederetan buku yang berjajar di rak ruang tamuku, tepatnya pada Tafsir Quran karya Muhammad Ali yang paling menyolok tebalnya. Secepat itu pula aku teringat kepada si empunya yang tadi pagi mengirimkan pesan dari Indonesia yang saya terima sebelum berangkat kerja. “Mas! Hancur sudah semua harapanku! Aku dicerai Mas Ahmad dari Saudi!” Begitu bunyi SMS terakhir yang saya terima dari Frida.

Setahun sudah ia berada di Indonesia, tanpa kegiatan yang berarti. Saya sempat terhentak membaca pesan tersebut karena sebulan sebelumnya Frida mengirimkan berita gembira, “Hari ini aku menikah. Doakan kami agar digolongkan oleh Allah SWT kedalam keluarga yang penuh barokah dan rahmah!” Alhamdulillah. Ucapku, setengah berbisik kepada diri sendiri. Akhirnya kamu memperoleh jodoh yang insyaAllah lebih baik bagimu dari pada mengarungi hidup yang selama ini tanpa tentu arah. “Selamat menempuh hidup baru”, balasan kiriman SMS saya.

Seperti yang seringkali saya bilang kepadanya, bahwa Allah SWT pasti akan memberikan yang terbaik. Tapi yang ini, ya...Allah..., kenapa harus menimpa dia untuk yang ketiga kalinya? Sesudah SMS itu, saya tidak lagi mendengar kabarnya. Saya membayangkan apakah dia sempat beristighfar pada bulan suci Ramadan ini. Istighfar akan menyucikan diri manusia dari segala dosa-dosa yang telah dilakukan dimasa lalu. Apalagi pada bulan mulia ini. MasyaAllah, dosa apa yang diperbuat olehnya sehingga derita demi derita terus menimpanya ya... Allah? Tiga kali kawin-cerai! Pernikahan yang ketiganya hanya berusia tidak lebih dari sebulan!

Saya mengenal Frida, seorang pembantu rumah tangga (PRT), lewat seorang PRT juga, yang kebetulan bekerja pada bos kantor kami. Dia menelepon saya hampir setiap saat menghadapi masalah, layaknya seorang konsultan psikologi! Sebagai seorang wanita asal desa, tujuan kerjanya di luar negeri begitu mulia. Ia ingin membalas budi baik orangtua angkatnya yang selama ini turut berjasa membesarkan dirinya. Menyenangkan hati mereka. Beberapa kali harus lompat kerja sebagai PRT dari negara satu ke lainnya, namun tujuannya belum teraih jua.

Pertama kali ke luar negeri, ke Saudi Arabia, hanya berlangsung beberapa bulan saja. Belum lengkap yang namanya tabungan untuk sangu pulang, dia harus dijebloskan ke penjara gara-gara ‘tuduhan’ kriminalitas. Dia pukul kepala majikan anaknya dengan botol yang mencoba berbuat ‘kurang ajar’ kepadanya. Frida dipulangkan dengan hampir tanpa fulus di kantong. Pengalaman buruk pertama di luar negeri tidak membuat Frida ‘kapok’! Dia balik ke Indonesia, kemudian mencoba terbang lagi.

Frida diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Sadimin pada hari dia dilahirkan. Lain dengan kondisi orangtua kandungnya, keluarga Sadimin termasuk kurang mampu. Sadimin tidak memiliki pekerjaan tetap, rumahnya kecil terbuat dari anyaman bambu. Begitu menginjak usia dewasa, Frida berpikir bagaimana caranya memenuhi segala kebutuhan hidup ini. “Aku tidak mengerti kenapa aku diberikan kepada keluarga Pak Sadimin oleh kedua orangtuaku. Saya merasa bukan sebagai anak yang dikehendaki oleh Ibu kandungku. Itulah yang menyebabkan kenapa ikatan batinku dengan ibuku sendiri kurang erat”, katanya suatu hari seusai menerima sepucuk surat dari Ibu kandungnya di Indonesia, sementara dia kerja di UAE. Surat-surat Frida memang dialamatkan ke saya karena dia sering pindah-pindah alamatnya. Sejauh itu terjadi, dia tidak memiliki alamat yang tetap. Jadi apa salahnya jika saya dititipi surat-suratnya yang dari tanah air? “Dia membutuhkan sedikit bantuan!” demikian pikir saya..

Faktor lain yang membuatnya ingin bekerja di luar negeri, ia ingin merubah taraf kehidupan dirinya sendiri. Sebagian dari penghasilan bulananya rutin dikirim ke Indonesia. Sayangnya, bapak angkatnya kurang bijaksana memanfaatkan uang kirimannya. Bapak angkatnya masih suka bermain judi, suatu kebiasaan buruk yang begitu mengakar di masyarakat desanya. Bahkan barang-barang berharga hingga elektronik hasil pembelian Frida banyak yang digadaikannya. Hal itu membuat Frida prihatin sekaligus jengkel karena merasa tidak dihargai jerih payahnya. Kejadian itu terus berlangsung begitu lama. “Sudah miskin harta, miskin pula iman”, begitu Frida mengistilahkan kondisi bapak angkatnya. Sementara sikap dia terhadap ibu angkatnya, karena sedari kecil diasuhnya, kasih sayang Frida kepadanya begitu kuat. Jauh melebihi sikapnya terhadap ibu kandungnya.

Sebelum keberangkatannya ke UAE, Frida pernah berkeluarga dengan seorang anggota angkatan bersenjata. Pernikahannya yang pertama. Dijadikannya dia istri kedua, tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Parno, lelaki berpangkat sersan satu itu sering memperlakukan dia sewenang-wenang. “Saya memang begitu bodoh waktu itu. Sebagai orang desa yang baru pertama kali ke kota, terlampau polos untuk bisa dikelabui oleh laki-laki hidung belang yang suka mengumbar janji”. “Alhamdulillah aku bisa lepas dari kungkungannya”. Keberangkatan Frida ke luar negeri lagi sempat tertunda gara-gara kecantol Parno. Syukurlah akhirnya berangkat juga. Tetap sebagai profesi semula, PRT.

“Aku mbok ya dikirimi majalah-majalah, buku-buku Islam atau kaset nya Zainuddin MZ Mas kalau punya!” demikian pintanya lewat telepon kepada saya ditengah-tengah kesibukan saya kerja. Saya biasa mengumpulkan majalah-majalah Indonesia hasil pemberian teman-teman atau kadang membeli. Ada juga beberapa koleksi kaset dakwah. Frida yang tinggal di pelosok desa, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat kota, merasa terhibur dengan buku-buku dan kaset tersebut. Pernah pula saya kirimi kamus kecil dan bacaan berbahasa Inggris yang dia bisa pergunakan untuk menambah wawasan komunikasinya.

Dia mengeluh sering menangis jika teringat ibu angkatnya yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Ia menangisi sikap ayah angkatnya juga yang tidak berubah perilakunya. Frida kesulitan berkomunikasi langsung dengan mereka. Informasi tentang orangtua angkatnya diperoleh dari tetangga yang kebetulan memiliki sarana telepon. Terkadang dia juga menelepon ibu kandungnya, tetapi katanya dia tidak merasakan kuatnya hubungan layaknya ibu dan anak. Entahlah!

Tinggal di pelosok desa bukan hal yang mudah di negeri orang. Apalagi jumlah orang Indonesia di daerah dimana dia kerja bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja itulah faktor utama yang menyebabkannya tidak betah, meskipun majikannya baik sekali. Ditengah-tengah proses koreksi diri, timbul niatnya untuk merubah profesi yang lebih baik. Dia balik lagi ke Indonesia. Sebagaimana banyak yang dilakukan PRT-PRT kita, dia rubah namanya dengan harapan bisa cepat ganti paspor dan segera kembali ke luar negeri lagi. Begitulah Frida. Mondar-mandir ke luar negeri sudah tidak asing lagi baginya, sampai suatu saat ia mengenal lagi laki-laki yang prihatin terhadap nasibnya.

Sebut saja Mahmud, yang menurut Frida pandai dalam bidang agama. Mahmud berniat menikahinya. Mahmud banyak memberikan nasehat-nasehat agama kepadanya. Dari logat bicaranya terkadang nampak penyesalannya menolak ajakan Mahmud. “Kalau saja dulu aku mau dijadikan istri oleh Mahmud.......” Angan-angan tersebut kadang muncul dan bergulir begitu saja, dikemukakan kepada saya. Sayangnya, dorongan bekerja di luar lebih kuat ketimbang harus menikah lagi dengannya. Ditolaknya dengan halus tawaran tersebut. Frida pun terbang lagi.

Dia masih tetap menyimpani nomer kantor kami. Sempat terkejut juga ketika dia tiba-tiba menelepon dari daerah yang tidak jauh dari tempat kerja saya. Walaupun begitu, jangan harap ia bisa keluar rumah, kecuali bersama majikannya. Disinilah kemudian muncul niatnya untuk mencari kerja lain, bukannya sebagai PRT. Dia tidak sadar bahwa keluar dari rumah majikan tidak sama seperti pergi ke Blitar di Indonesia. Tetapi Frida saya akui ‘pemberani’. Entah bagaimana caranya, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah butik, tentu saja ilegal! Kemampuan berbahasa Inggrisnya saya tahu meningkat. Itu terlihat saat dia menceriterakan pengalamannya bertengkar dengan temen-teman sekerjanya. Konflik dalam kerja memang hal yang biasa. Penghasilannya pun lebih baik. Akan tetapi ada yang merisaukan, yakni statusnya, ‘pelarian’. Status ini berlangsung hingga masa visanya habis. Ia pun menyerahkan diri ke kantor imigrasi. Tanpa harus masuk penjara, asalkan dia sediakan tiket pulang, akan diijinkan untuk pulang oleh imigrasi. Untuk kesekian kalinya Frida pulang lagi ke Indonesia.

Kepulangannya waktu itu ternyata yang terakhir kali dia bisa bertemu ibu angkatnya. Ibunya yang kecil kurus itu katanya sudah sering sakit-sakitan. Frida membutuhkan beaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ditengah kesulitan yang dihadapi, ada seorang tetangga yang berniat ‘membantu’ meringankan kesulitan ekonomi keluarganya, dengan syarat mau dinikahinya sebagai istri kedua. “Bagaimana perasaan saya waktu itu Mas? Saya dihadapkan kepada persoalan yang teramat berat. Jika tidak mau, saya harus tega melihat ibu sakit –sakitan tanpa obat, juga ekonomi porak-poranda karena tabungan saya hasil dari kerja di luar negeri sudah mulai menipis. Tapi kalau saya mau menikah dengan Mas Gofur, saya tidak tega melihat istri pertamanya yang saya kenal baik!” Subhanallah! “Apa yang harus saya lakukan? Ditengah kekacauan pikiran ini, ternyata saya harus menyelamatkan derita ibu angkat saya. Dengan perasaan hampa, kami nikah sirih!”

Frida malang nasibnya! Bagaimana dia harus berbahagia ditengah penderitaan orang lain? Dia memang bisa membeli obat dan makanan dari duit yang diberi oleh Gofur setiap saat. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan konflik batinnya jika memikirkan istri Gofur yang pertama. Saya tidak menyangka jika kemudian Frida nekad berangkat lagi keluar negeri tanpa sepengetahuan suaminya, Gofur. Kembali dengan visa PRT.

“Mas Gofur.... Saya minta maaf atas segala kesalahan saya. Tidak saya pungkiri anda telah berbuat banyak demi keluarga kami. Tetapi saya tidak bisa menjalani kehidupan seperti ini........!” Demikian bunyi surat yang dia kirimkan pada Gofur ketika dia sudah berada di UAE. “Gofur sebenarnya orang baik Mas... tetapi saya? Ya ..Allah...harus bagaimana menghadapi masalah ini? Saya tidak mungkin menjalani pernikahan yang bertentangan dengan batin ini” Frida, yang sudah ganti nama, entah apa lagi saya lupa, menangis. Dia baca Al Qur’an dan terjemahannya hasil pemberian temannya, yang entah dari mana mendapatkannya, sebelum menelepon saya, mengemukakan problematika hidupnya untuk kesekian kali. Menyimak kisah yang begitu pilu itu, saya tidak bisa berbuat banyak, kecuali menjadi pendengar yang baik.

Beberapa bulan sesudah dia menikmati pekerjaan barunya sebagai sales lady. Ibu angkatnya meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Frida yang malang tidak mungkin pulang melihat pemakaman bunda angkatnya. Ia merasa tidak lagi punya harapan.ditengah isaknya, “Ibuku tidak pernah merasa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya Mas! Alhamdulillah saya sempat memperbaiki rumah kami. Saya bersyukur orangtua angkatku sekarang tidak lagi harus ke sungai jika mandi. Tapi itupun tidak lama beliau nikmati. Mas tahu kan, bagaimana Bapak angkatku.....?”

Tidak lama sesudah kejadian tersebut Frida sudah harus balik lagi ke Indonesia karena visanya sudah habis masa berlakunya. Beberapa kali SMS yang saya terima menceriterakan upayanya untuk bekerja di luar lagi karena belitan ekonomi. Tanpa kerja di rumah, subhanallah, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah angkatnya, karena tanpa uang dan juga kerja. “Barangkali saya sudah terlalu banyak berlumur dosa Mas. Berbagai jalan yang saya tempuh tampaknya buntu. Seberapa kali saya berusaha, seberapa kali itu pula saya gagal...!” Bagaimana nasib perkawinannya dengan Gofur? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.

Garis hidup yang ditempuh Frida begitu berliku. Entah apa yang dilakukan sekarang, selagi semua jalan sepertinya tertutup baginya? Di bulan suci Ramadan ini, saya hanya ikut berdoa semoga Allah SWT membukakan pintu tobatNya, menunjukkan jalan hidup yang lebih terang. Saya yakin Allah Yang Mahapengasih terhadap umatNya, tidak akan membiarkan orang-orang seperti Frida terus-menerus dilanda cobaan besar. Begitu lahir harus diasuh orang lain, tidak memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan, pekerjaan yang tidak tetap, hingga pernikahanpun gagal tiga kali... Astaghfirullah!

Di keheningan sepuluh kedua malam Ramadan yang penuh maghfirah ini, satu hal yang saya kenang. Dia tinggalkan sesaat sebelum berangkat ke airport, sebuah Al Qur’an bersampul hijau. “Tolong disimpan Al Quran ini!” Pintanya. Kitab Suci yang dilengkapi terjemahan dan tafsir tersebut memang tebal sekali, lebih dari seribu enam ratus halaman, dan terlalu berat jika harus dimasukkan di tas kecilnya. Setebal lembaran-lembaran hidupnya yang penuh derita. Kalau saja bisa menangis, saya yakin linangan air mata Kitabullah itu tidak akan terhenti hingga dibukakannya pintu taubat baginya, menyertai niat taubat Frida, mengakhiri derita panjangnya. Wallahu’alam!

sumber : eramuslim

Aku Memanggil Kalian

Berkali-kali aku memanggilnya,
Berkali-kali aku menyebutnya,
Berkali-kali
Berkali-kali
Muhammad,
Ya Muhammad,
Sang Kekasih
Rahasia Cinta
Ruh Kasih

(Emha Ainun Nadjib)

Sahabat, apa kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan kasih sayang Nya yang tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu sebentar. Ada seseorang yang ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang ingin mengisahkan selaksa kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah lantunannya. Simak baik-baik ya… Mudah-mudahan bermanfaat.

Bismillah, Assalamu’alaikum….

Perkenalkan!
Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.

Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.

Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya. Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik, seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap “Ahad... ahad”. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna. Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.

Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya yang masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.

Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.

Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.

Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi sahabat Muhammad.

Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak akan ada yang ku inginkan selain hal ini.

Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?

Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri. Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.

Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.

“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.
“Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka”
“Bagaimana jika sebuah genta?”
“Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani”
“Jika terompet tanduk?”
“Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?”

Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara langsung.

“Wahai, utusan Allah” suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.

“Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk berdoa...” lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan memudar berganti wajah manis berseri-seri. “Mimpimu berasal dari Allah, kita seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga….”. Begitu nabi bertutur.

Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan Al-Musthafa di sana. “Suara mu Bilal” ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya, apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta. “Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau persembahkan kepada Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus duhai hamba Allah, gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.

Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai anak kecil aku mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di ketinggian itu” Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan wanita dari Banu’n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu, namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku kumandangkan. Aku terdiam lama.

Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat, menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?” Aku memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di telinga “ Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku, aku berseru :

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah Mencapai Kemenangan
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Tiada Tuhan Selain Allah.

Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan ku, ia berkata “Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku”.

Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.

Hingga suatu saat,

Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya. Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan Aisyah, Nabi memanggil ‘ummatii… ummatiii’ sebelum nafas terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh itu, terakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.

Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup melafalkan seluruh namanya, ‘Muhammad’. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian, mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.

Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat.

Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian. Wassalamu’alaikum

***

Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada Bilal yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal. Bersegeralah menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan menatapmu bahagia. Saya jadi teringat sebuah kata mutiara yang dituliskan sahabat saya pada buku kenangan ketika SD “Husnul, shalatlah sebelum kamu di shalatkan”. Sebuah kalimat yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.

sumber : eramuslim

Aku dan Rabbku

“Basahilah lidahmu dengan dzikir” duh.. sudah berapa kali saya denger hadist ini tapi …waktu yang digunakan untuk berdzikir masih sedikit, padahal Allah berfirman “AKu bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku”. Allahu Akbar. Luar biasa, mencoba untuk melakukan variasi dalam berdzikir kenapa tidak ? La illahaillallah adalah sebaik2 dzikir …wueshh pikiranpun mulai menerawang balasan apa yang akan Allah kasih jika saya mengucapkan Laillahailallah 1x apakah senilai uang 1 juta,10 juta atau 100 juta, lebih, pasti lebih dari itu di hadapan Rabbul Izzati. Subahannallah. Rugiii…..berapa sudah waktu yag hilang, uang yang hilang, istana yang tertunda di surga nanti – InnaLillahiwainaillaihi’irojiun. Ga papa kan berdagang dengan Allah.

Imam Al Ghazali dalam risalahnya Al Asma Al Husna menuliskan kecintaan kepada Allah bisa ditingkatkan dengan tiga cara ; (i) mengingatnya (ii) mempercayainya (iii) mempertahankannya. Begitu pula Pak Ary Ginanjar dalam bukunya “Rahasia membangun kecerdasan Emosional dan Spiritual” beliau menulis bahwa seorang hamba bisa menjadi manusia yang luar biasa jika mau meneladani sifat-sifat Allah dengan cara mengingat-ingatnya dan meneladani sifat-sifat-Nya.

Sesungguhnya antara hamba dengan Rabbnya ada 2 panghalang ; (i) ilmu dan (ii) ego (Aku).

Perasaan jenuh, bosen, mandek atau tidak ada peningkatan terkadang datang pula, tapi ingat pesan “yang mencari akan menemukan” ada secercah harapan untuk mencari lagi, baik itu dari buku, artikel baik itu di majalah atau di internet, seminar , maupun taklim - apa saja. Alhamdulillah masih ada rasa haus yang belum terpuaskan dengan minuman yang standard. Mencoba untuk flash back ke zaman para sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang mempesona dan berdecak kagum setiap kali membaca kisahnya, sudah tentu pengetahuan mereka tentang surga, neraka, negri akhirat dan segala sesuatu yang terjadi didalamnya berbeda dengan pengetahuan saya dan itu mungkin yang membuat tingkat keimanan saya seolah tak bergerak.

Ego, Aku “barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal dirinya maka tidak ada waktu untuk mencari kesalahan orang lain”. Ada perasaan aneh menghampiri ketika mencoba berlama-lama bercermin. sudah berapa jauh saya mengenal diri saya dengan baik dan sudah berapa lama saya menyadari begitu sangat rentannya melakukan kesalahan setiap detik.

Menjadi milik-Nya bukan sebaliknya menjadikan Allah sebagai milik saya dan mengikuti semua keinginaan saya – Naudzubillahiminzalik, kebodohan apalagi yang saya lakukan berlarut-larut. STOP. “Ya Rabb biarkan aku menjadi milik-Mu selamanya…menyatu bersama-Mu, biarkan jiwa ini terbakar oleh cahaya-Mu..cinta-Mu”.

Teringat kembali firman Allah SWT “Sesungguhnya Aku mengikuti perasaan hamba-Ku terhadap-Ku” kenapa tidak saya coba untuk mengatakan ke diri saya sendiri dengan menggunakan 3 metode dari imam Al Ghazali diatas : “saya selalu bersamaMu ya Allah” (bukannya saya ingin bersamaMu), “saya selalu mencintaiMu ya Rabb” (bukannya saya ingin mencintai-Mu), “saya selalu merindukan-Mu ya Tuhanku”. Ada perasaan puas yang mengalir, seolah-olah sesuatu yang sudah tercapai dan tinggal menikmati saja perjalanan hidup bersama Al Malik, Al Aziz. Perasaan tenang, aman, damai, bahagia yang selama ini dicaripun mulai rajin menjenguk orang pesakitan seperti saya. Wallahua'lam bi shawab. (yudha_bs@yahoo.com.sg)

sumber : eramuslim

Aku Yakin, Aku Tidak Sendiri

Sungguh. Hingga saat ini aku belum bisa menerjemahkan rasa hatiku sendiri. Sejak pertama kali suamiku mengatakan niatnya untuk melanjutkan studi ke negeri jiran setahun lalu, hingga sore ini, di mana besok suamiku harus berangkat, aku masih merasa asing dengan perasaanku.

Bahagia! Beberapa orang mengatakan aku harus demikian. Karena kesempatan ini adalah karunia yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang.

Sedih? Itu yang ada di lubuk kalbuku, saat kulihat putra kami yang belum juga genap dua tahun harus tumbuh berkembang tanpa ayah di sisinya, untuk sementara waktu.

Ah ... biarlah semuanya mengalir seperti air. Biarlah semuanya diatur oleh Dzat Yang Maha Mengetahui kesudahan hamba-Nya. Biarlah!

Memang hanya itu yang selama ini mengakhiri perenunganku, tentang hidup kami setelah suamiku berangkat. "Sabar ya, Sayang. Toh nanti kamu pun akan menyusul. Berdoalah semoga Allah segera mengumpulkan kita kembali dalam keadaan yang lebih berbahagia ... " demikian kata-kata yang selalu diucapkan oleh suamiku, untuk menenangkanku. Aku pun paham, bahwa dia juga terhibur dengan kata-kata itu. Dan, akhirnya, hanya senyum yang menyudahi pembicaraan kami. Senyum penuh harapan, akan tercapainya cita-cita.

***

Allah memang mempunyai cara tersendiri untuk menata kehidupan hamba-Nya. Aku merasa amat bersyukur. Enam bulan lalu, perusahaan tempat suamiku bekerja merumahkan seluruh karyawannya. Saat itu, kami sendiri merasa gundah, terlebih berita di media menyebutkan bahwa ini adalah awal dari PHK. Ah ... padahal sebelumnya kami sama sekali tak pernah membayangkannya. Memang, kadang niatan untuk mencari nafkah di tempat lain muncul, tapi itu hanya suatu wacana, bukan sebuah keseriusan. Dan, tatkala musibah itu datang, kami pun khawatir.

Doa pun mengalir tiada henti, memohon kemurahan rizki-Nya. Memohon ketenangan batin, mengharap situasi segera berubah. Alhamdulillah, dua pekan setelah itu, berita gembira datang. Setelah empat kali mengirimkan pengajuan beasiswa, Allah pun menjawabnya. Seorang professor salah satu perguruan tinggi negeri di Malaysia, mengijinkannya mengerjakan sebuah proyek, sembari mengambil pendidikan master. Subhannallah.. Alhamdulillah, pertolongan Allah memang begitu dekat buat semua hamba-hamba-Nya.

Hal yang dulu sempat menjadi masalah tak terpecahkan dalam setiap percakapan kami, akhirnya berubah menjadi sebuah anugerah yang tak ternilai. Jika dulu, aku sangat menentang keinginannya untuk melanjutkan studi karena kami harus berpisah, malah akhirnya aku menjadi pendukung utamanya. Subhannallah ... Allah memang Maha membolak-balik hati hamba-Nya.

***

Sore ini, kembali aku merenung. Setelah dukungan demi dukungan kukerahkan padanya untuk persiapan keberangkatannya, aku tercenung. Apa yang nanti akan terjadi saat kami berpisah? Bagaimana aku bisa meng-handle semua pekerjaan rumah tangga yang dulu kami kerjakan berdua, bahkan bertiga dengan pengasuh anakku? Kepada siapa aku harus menumpahkan segala uneg-uneg setelah lebih dari delapan jam aku bekerja di kantor? Bagaimana aku harus menjelaskan kepada bocah kami, jika nanti dia merengek menanyakan ayahnya?

Beribu pertanyaan bermunculan di benakku. Namun tak satu pun yang terjawab. Semuanya bak misteri.

Hingga adzan maghrib berkumandang, aku masih belum menemukan jawabannya.

Kuambil air wudhu dan kutunaikan sholat. Aku berencana untuk menumpahkan segala rasaku pada Sang Khalik, usai sholat nanti.

Dan air mataku pun tak bisa kutahan lagi saat kata demi kata terurai, tertuju kepada-Nya. Aku memang masih bisa menahan emosi dan air mataku di depan suamiku. Karena aku tak ingin semangatnya jatuh kembali setelah beribu dukungan kuberikan kepadanya. Aku percaya akan tujuannya, menuntut ilmu untuk berusaha mengubah nasib kami.

Doakan ayah dapat ilmu yang manfaat ya, Ma, begitu kalimat yang selalu diucapkannya jika kami berbincang tentang rencana itu.

Namun, apakah aku mampu menyembunyikan segala kesedihan dan kekhawatiran hati ini kepada-Nya? Kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui hal yang nyata dan yang ghaib? Tidak! Tentu tidak. Aku tidak dapat berbohong kepada-Nya.

Sekarang aku mulai memahami, bahwa hatiku memang sedih. Aku memang khawatir ... aku memang takut.

Namun semua kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan yang kurasakan harusnya tidak boleh terjadi.

Aku harus pasrah.. harus tawakal. Karena rencana itu tidak akan terjadi kecuali atas kehandak-Nya. Bukankah sebelumnya aku selalu berdoa meminta keputusan yang terbaik? Jika kemudian Allah menganugerahkan hal ini padanya, tentunya ini juga terjadi atas kehendak-Nya.

Aku harus tegar. Aku harus ikhlas.

Aku harus tetap menjalankan kehidupanku dengan sebaik-baiknya. Aku masih harus terus mendidik buah hati kami, walau tanpa ayah disampingnya. Apa pun yang terjadi, air mataku tak boleh menetes di depan putraku.

Aku yakin aku tidak sendiri. Ada Allah.. Dzat Yang Maha Pemurah ... Dzat yang tak pernah kering kasih sayang-Nya ... Dzat Yang Maha Welas Asih ...Dzat Yang Maha Perkasa.

Kepada-Nya lah aku harus mengadukan setiap hal yang kuhadapi. Saat masalah datang. Saat kelelahan mendera jiwa dan raga. Saat beragam pernik kehidupan harus kulintasi.

Aku teringat petikan nasyid yang dikumandangkan Raihan:

Selangkah ku kepada-Mu.
Seribu langkah kau padaku ...


Selama kita berusaha mendekat kepada-Nya, insya Allah Dia juga akan mendekat pada kita, seribu kali.

Doa. Hanya melalui doa-doa panjanglah aku akan mengharap rahmat-Nya. Agar cita-cita mulia yang kami impikan, bisa menajdi sebuah kenyataan.

antariksa@eramuslim.com
Untuk suamiku: berdoalah agar keikhlasan selalu bertambah di hati kita.



sumber : eramuslim

Aku Ingin ...

Kupandangi wajah anakku Zahra yang berusia 6 tahun. Ah dia memang putih dan cantik. Dia tidur dengan pulasnya malam ini. Kubelai rambutnya dan kucium pipinya lembut.

Aku senang memandangi putriku. Aku senang mendengar suaranya. Aku senang melihatnya berlari. Tanpa sadar mataku menatap foto dirinya yang terpanjang di sisi tempat tidurnya. Foto ketika dirinya belum lagi satu tahun, sedang tengkurap dengan kepala tegak. Foto itu memang sengaja kupasang untuk mengenang masa-masa bayi putriku, Zahra.

Kerinduanku pada bayilah yang akhirnya membuat aku memasang foto bayi Zahra.. Rindu untuk menggendong, memeluk seorang bayi. Seorang bayi adalah penyejuk mata orang tuanya menurutku. Ya, aku ingin mempunyai anak lagi.

Suatu hari aku pergi berkumpul dengan teman-temanku. Diantaranya ada temanku Fitri yang mempunyai 4 orang anak, semuanya perempuan dan temanku yang lain, Ira, mempunyai 2 orang anak, semuanya laki-laki. Kami mengobrol bersama. Fitri ingin punya anak laki-laki dan Ira ingin punya anak perempuan. Tapi akhirnya kami tersadar, diantara kami ada yang belum dikaruniai anak di dalam sekian tahun pernikahan mereka. Ternyata masih ada yang berada di bawah diri kita.

Begitulah manusia, selalu penuh dengan keinginan-keinginan terhadap perhiasan kehidupan dunia. Keinginan-keinginan itu jika selalu diperturutkan, hanya akan memuaskan diri kita sesaat saja sebelum akhirnya muncul keinginan-keinginan baru yang lain. Keinginan-keinginan itu baru akan hilang seiring dengan menghilangnya kita dari dunia ini.

Seorang istri sudah memasakkan ikan goreng kesukaan suami tercinta, sang suami masih minta dibuatkan sambal pedas sebagai teman makan ikan goreng.

Seorang istri sudah dibelikan tas cantik oleh suami tercinta, begitu melihat tas kawannya yang tampak serasi betul dengan baju kawannya itu, maka sang istri pun menuntut pada sang suami minta dibelikan tas yang seperti punya kawannya itu.

Seorang anak sudah dibelikan kue kesukaannya, setelah melihat roti yang terpajang di supermarket, jadi ingin roti itu.
Seorang ibu di rumahnya sudah punya persediaan sayur mayur dan lauk pauk di rumah, setelah melihat-lihat buku masak, jadi kepingin makan asinan yang bahan bakunya sama sekali tidak ada di rumah.

Seorang dosen belum lama membeli laptop terbaru, begitu melihat temannya punya laptop dengan model yang lebih baru lagi, sang dosen langsung ingin membeli juga laptop dengan model yang sama atau bahkan yang lebih canggih.

"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al Kahfi : 46)

Ada kisah tentang seorang muslim kaya di Madinah bernama Hafash bin Ali Aash yang berkunjung ke rumah Khalifah Umar. Saat makan siang tiba, dihidangkanlah daging kering yang tebal dan keras. Hafash terkejut melihat makanan Khalifah Umar. Dengan sopan ia mohon pamit untuk makan siang di rumahnya saja. Di rumah Hafash, pelayan-pelayannya selalu menghidang makanan-makanan terbaik yang lezat-lezat. Lalu apa jawaban Khalifah Umar setelah melihat keengganan Hafash memakan makanan yang terhidang di rumah Khalifah Umar?
Beliau berkata, "Semua kesenangan-kesenangan dunia itu aku tinggalkan untuk menghadapi hari dimana aku tidak memerlukan itu semua, yaitu hari ketika aku harus menghadap Allah. Aku mengetahui firman Allah, "Ketahuilah sesungguhnya kehidupan di dunia adalah permainan dan hiburan. Berbangga-bangga antara kamu yang berlomba banyak harta dan anak. Seperti hujan membuat tanaman-tanaman yang mengagumkan petani. Kemudian, tanaman itu kering dan kamu lihat warnanya kuning dan akhirnya layu. Di akhirat ada azab yang keras, ada pula ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Kehidupan di dunia hanyalah kesenangan yang menipu." (QS Al Hadiid : 20)

Wallahu`alam

Ummuzahra
hab26250@syd.odn.ne.jp


sumber : eramuslim

Akhir Perjalanan

Ada nyeri yang tertera di hati. Ada gamang yang mengguncang-guncang perasaan. Sekali lagi, sebuah peristiwa menghentak jiwa. Dan membuat saya bertanya-tanya: Kira-kira seperti apa akhir perjalanan hidup saya? Entahlah, saya tidak tahu dan yakin sepenuhnya bahwa saya tak akan pernah tahu. Mungkin dengan cara yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, atau mungkin dengan cara yang jusutru selalu saya bayangankan sebelumnya.

Sebagaimana tak pernah terlintas dalam benak saya, beliau akan mengalami kejadian tersebut dan meninggal karenanya. Senin sore itu menjelang maghrib, menerima sms dari seorang kawan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Ibu Agus Haryanto meninggal karena perampokan. Besok kita melayat jam 8. Begitu bunyinya.

Sungguh, rasanya tak percaya sewaktu saya membacanya. Tapi, sms itu memang benar adanya. Berita di TV dan di radio yang saya dengar kemudian menegaskan kebenaran peristiwa tersebut. Tanpa dapat dicegah, peristiwa perampokan itu membayang dan terlintas-lintas di benak saya. Membawa kengerian (membayangkan luka bacokan di leher dan tangan), membawa rasa kasihan (membayangkan keluarga dan anak-anaknya yang baru mulai beranjak dewasa, bahkan anak perempuannya satu-satunya (tiga putra lainnya laki-laki) baru saja menikah). Bagaimana rasanya jika saya yang mengalaminya?

Tapi kematian memang tidak memilih cara, usia dan status. Ia bisa menimpa siapa saja, usia berapa pun dan dengan cara yang bagaimanapun. Pula, usia, status dan cara itu bukanlah MASALAH. It’s not the matter, it’s not the point how does somebody die. Yang menjadi masalah adalah dalam kondisi bagaimana kita ketika meninggal. Dan meninggalnya Ibu Agus Haryanto di tangan perampok memberi pelajaran yang dalam bagi saya.

Wanita paro baya ini dikenal ramah, energik, baik pada semua orang tapi juga sekaligus seorang aktifis yang tegas. Saya tidak mengenal beliau secara dekat. Hubungan kami hanyalah hubungan antara saya sebagai salah satu aktifis Forum Silaturahmi Muslim Departemen Keuangan dan beliau adalah seorang anggota pimpinan Dharmawanita Departeman Keuangan, yang kebetulan sama-sama memiliki konsern tinggi terhadap dunia anak-anak dan wanita/karyawati, juga keluarga. Kesamaan konsern inilah yang membuat kami sering mengadakan kerjasama, diantaranya adalah mengadakan seminar tentang keluarga dan anak serta mengadakan perlombaan bagi karyawan/karyawati departemen keuangan dan keluarganya dalam rangka Memperingati Hari Anak Nasional.

Selain itu, selama lebih dari dua tahun terakhir, kami terlibat dalam kerjasama membangun Tempat Penitipan Anak (Child Care Center) di Departemen Keuangan sebagai upaya pemberian fasilitas bagi ibu-ibu bekerja agar dapat menyempurnakan pemberian ASI kepada bayi. Proses ini sudah memakan waktu sedemikian lama, dan nyaris rampung berkat dukungan dan andil besar dari Ibu Agus. Bahkan, sedemikian lamanya hingga saya bahkan telah mengundurkan diri dari Tim. Tapi selama itu beliau tak kehilangan stamina. Saat kami lemah karena hambatan yang sedemikian banyak dan membuat proyek ini nyaris mustahil, beliaulah yang ‘memarahi’ dan menyemangati bahwa proyek harus terus berjalan, apapun hambatananya. Entahlah, setelah beliau tiada, saya tidak tahu akan bagaimana kelanjutan proyek ini. Sebagaimana saya juga tidak tahu, entah ada berapa banyak rencana dan proyek lain yang sedang beliau kerjakan saat ajal menjemput.

Kematian telah menjadi garis pembatas, yang menghentikan semua yang beliau lakukan. Tapi, sekali lagi, itu semua tak menjadi soal. Karena Allah telah menjanjikan pahala bagi sebuah usaha, sebuah proses, bukan hasil. Selama sebuah aktifitas merupakan amal shaleh yang dilandasi keikhlasan, maka pahala tetap ditangan meskipun kematian menghentikan upaya itu. Apalagi jika saat meninggal, yang bersangkutan berada dalam kondisi terbaik.

Dan demikianlah saya harapkan pada Ibu Agus Haryanto. Saat peristiwa perampokan itu terjadi, beliau dalam kondisi sedang berpuasa senin kamis. Beliau meninggal dalam situasi memepertahankan amanah yang dia pegang: Uang milik Dharma Wanita Departemen Keuangan. Betapa manisnya, betapa indahnya, meskipun ajal menjemput lewat tangan perampok bengis. Berbahagialah mereka, orang-orang yang menemui ajal dalam kondisi terbaik. Semoga beliau termasuk dalam kategori mati syahid, begitu ungkap Bp Mar’I Muhammad dalam pidato pengantar pemberangkatan jenazah. Selamat jalan, Ibu! Selamat jalan sahabat, selamat jalan mujahidah!

Dan, tiba-tiba saja saya ingin mengubah doa dan permohonan saya yang saya titipkan kepada dua sahabat saya yang akan berangkat menunaikan ibadah haji akhir bulan ini.

Kawan, tidak, jangan mintakan saya karir yang sukses, rizki yang baik, jodoh yang sholeh ataupun kesuksesan duniawi lainya. Biar, biar Allah saja yang menentukan itu bagi saya, seperti apapun. Saya hanya minta mohonkan satu saja: Agar saya kuat, tegar dan benar menjalani semua takdirNya, hingga ketika saya tiba pada batas waktu usia saya, saya dapat mengakhirinya dengan baik, dengan manis, dengan indah. (Sungguh, saya takut ajal itu menjemput saat saya sedang berkeluh kesah, berputus asa terhadap rahmatNya. Sungguh, saya takut batas akhir kehidupan saya tiba saat saya sedang bermaksiat kepadaNya. Sungguh saya khawatir, ketika waktu telah ditutupkan atas saya, diri saya tengah bergumul dengan kesia-siaan. Sungguh, saya khawatir, saat saya meninggal, hati saya tengah diliputi kecewa, kemarahan atau kebencian).

Kawan, tolong mohonkan itu pada Tuhan! Tuhan, mohon kabulkan doaku!

(@azi, sekedar ucapan selamat jalan untuk Ibu Agus Haryanto: cukuplah kematianmu menjadi pelajaran bagi kami, manusia yang ditinggalkan)



sumber : kafemuslimah.com

Agen Dakwah

Suatu hari, saya pergi ke rumah seorang teman untuk suatu keperluan. Di rumah teman saya ini saya menemukan kedamaian dan ketenangan. Saya perhatikan apa yang ada. Di dalamnya tidak ada sesuatu yang berharga atau indah yang membuat mata ini ingin terus memandang. Tetapi dalam kesederhanaannya, saya merasa mendapatkan suatu nasihat. Padahal sang teman ini tidak sedikitpun menasihati saya. Tetapi ia sudah berdakwah pada saya tanpa disadarinya.

Sebagai seorang muslim, kita sering tidak menyadari bahwa sebenarnya kita adalah agen-agen dakwah yang sangat potensial. Tanpa berbicara pun, keagungan akhlak Islam yang melekat pada diri seorang muslim, telah menjadi dakwah tersendiri bagi orang lain. Pendahulu-pendahulu Islam sudah membuktikannya.

Dalam Perang Shiffin, Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya, kemudian ia melihat baju besi itu di tangan seorang Yahudi. Khalifah Ali mengatakan pada orang Yahudi tersebut bahwa baju besi itu miliknya tetapi Yahudi itu mengatakan bahwa ia sudah memiliki baju besi tersebut sebelum Perang Shiffin meletus. Perkara itu kemudian disampaikan ke pengadilan. Hakim negara Syuraih mengadili perkara ini. Oleh Hakim Syuraih, Khalifah Ali disuruh mengajukan saksi bukan dari kalangan keluarga tetapi Khalifah Ali tidak bisa mengajukannya. Orang Yahudi itu pun kemudian menang perkara karena Khalifah Ali tidak bisa mengajukan saksi.

Sebenarnya Hakim Syuraih yakin bahwa baju besi itu milik Khalifah Ali tetapi ia menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya. Khalifah Ali pun tidak menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan perkara. Hal ini membuat orang Yahudi itu takjub akan keadilan Islam. Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam.

Pada suatu ceramahnya, seorang ustadz pernah mengingatkan bahwa dahulu moral-moral seperti ketepatan waktu, rasa malu, amanah, dan lain sebagainya, adalah primadona Islam, tetapi kini hal tersebut tidak lagi dipegang oleh ummat Islam. Karena itu mari kita benahi diri kita karena sesungguhnya kitalah aset potensial bagi dakwah Islam.

Ummuzahra (hab26250@syd.odn.ne.jp)
Tokyo



sumber : eramuslim

Aduh sayang sekali, kenapa yah ?

Sering kali bahkan tanpa kita sadar kata-kata "Aah..", "Aduh", "Sayang sekali", "Kenapa yah?", "Koq aku dapet masalah terus?", dan kalimat-kalimat lainnya yang terkesan "Keluhan" keluar dari bibir kita. Kata-kata ringan tapi punya makna belum bisa menerima apa setulus hati apa yang sedang dialaminya, entah itu ujian dalam bentuk musibah besar atau yang kecil sekalipun.

Satu ketika seorang sahabat bertutur, "Kenapa yah koq akhir-akhir ini berbagai musibah menimpaku? Ditambah lagi teman-teman mulai kurang perhatian padaku dan aduh aku jadi tidak dipercaya. Ada yang bilang kurang perhatianlah, nggak adillah, inilah itulah. Aku jadi bingung. Padahal aku sudah berusaha berbuat apa yang aku bisa. Aku jadi sedih. Kenapa semua berakhir seperti ini?"

Seseorang yang mulanya berniatan mulia, ketika mendapat tekanan-tekanan dari sekelilingnya bisa saja mengeluarkan penuturan seperti di atas. Di satu sisi dia ikhlas menerima apa yang sedang dialaminya, tapi disisi lain ada bisikan-bisikan yang membuatnya menyesali keadaan.

Keluh kesah yang terpancar lebih disebabkan karena mengikuti dorongan hawa nafsu, tidak mampu menahan rasa pedih atau emosi batin, kurang bersyukur terhadap nikmat yang begitu banyak dibandingkan bencana yang baru menimpa, atau karena kelemahan iman terhadap qadha dan qadar, sehingga tidak memahami hikmah dibalik bencana tersebut.

Kenapa sih mesti ada musibah? Musibah itu adalah sarana ujian atas prestasi keimanan seseorang. Rasulullah SAW bersabda, "Orang-orang yang paling besar mendapat ujiannya adalah para nabi, kemudian para syuhada, kemudian orang-orang setingkat dengannya." Disamping itu, musibah merupakan sarana untuk mengukur kebenaran iman. Alloh menurunkan musibah agar kita benar-benar bisa mengukur apakah benar kita beriman atau tidak? atau bisa jadi musibah diturunkan sebagai azab atas kemaksiatan dan kekufuran agar kita menjadi jera. Bukankah diturunkannya azab di dunia lebih baik dari pada di akhirat kelak? Agar kita lebih dulu menyadari kesalahan dan dosa-dosa kita. Subhanalloh betapa cintanya Alloh pada orang-orang yang mendapat musibah dan berhasil memupuk kesabaran atas dirinya. Alloh berfirman dalam surat Ar-Rum:41, "Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Alloh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."

Kunci utama dari pemecahan masalah ini adalah sabar, yaitu menahan diri dari keluh kesah, amarah, apalagi dari harapan mendapat belas kasihan dari orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Sabar itu tatkala menghadapi ujian musibah yang pertama." Karena pada saat-saat itulah Alloh menguji iman seseorang, apakah dia berhasil melawannya dengan mengembalikan segala urusannya pada Alloh dan memendam emosinya dalam-dalam, atau malah semakin larut dalam duka yang berkepanjangan hingga selalu merasa gelisah.

Apakah bersabar dengan memendam emosi dapat menyelesaikan masalah? Tentu saja belum. Setidaknya dengan memendam emosi, ada perasaan tenang di hati kita. Ketika perasaan tentram itu datang, akan ringanlah bagi kita untuk berpikir jernih. Ketika ujian kesabaran telah kita lewati, selanjutnya kita harus mencek dan ricek kembali apa hakikat dari musibah-musibah yang telah kita alami.

Mari kita telaah setiap permasalahan / musibah yang sedang kita hadapi, agar kita terbebas dari penyakit keluh kesah, dengan:
  • Menjauhi semua penyebab timbulnya penyakit keluh kesah.
  • Mempelajari akibatnya.
  • Memahami makna sabar dan seluruh manfaatnya.
  • Meyakini bahwa cobaan adalah takdir dari Alloh yang terbaik bagi kita, dan kelak akan terbukti hikmahnya.
  • Menahan emosi semaksimal mungkin sehingga tidak menimbulkan reaksi negatif terhadap tindakan fisik.
  • Jika masih ada rasa kesal, segera beranjak dari tempat duduk, ambil air wudhu dan baca istighfar sebanyak 3 kali.
  • Berdoa, "Ya Alloh, selamatkanlah aku dalam musibahku ini, dan semoga engkau menggantinya dengan sesatu yang lebih baik daripada ini."
  • Selalu bersyukur akan nikmat yang diterima.
Bagaimanapun musibah menuntun kita kejalan yang lebih baik dan lewat musibahlah Alloh mengabulkan do'a yang sering kita panjatkan, "Ya Alloh, tuntunlah kami ke jalan yang benar, jalan yang Engkau ridhoi." Agar kita tergolong orang-orang yang beruntung dikehidupan mendatang. Semoga kita bisa mengganti kata Aduh, Sayang Sekali, Kenapa Yah? dengan kata-kata yang lebih punya makna seperti "Masya Alloh", "Astaghfirullah", dan kata-kata lain yang lebih bisa menentramkan hati kita. Wallahu a'lam bishawab. (Qudwah, bahan bacaan: Penyakit Hati, Uwes Al-Qorni)



sumber : kafemuslimah.com

Adil Saja Tidak Cukup

Untuk apa anda bekerja? Itu pertanyaan yang terkadang sulit untuk dijawab, karena banyak faktor yang menyebabkan orang untuk meredefinisi dan mencari argumentasi setiap jawaban yang bakal keluar dari mulutnya, atau setidaknya hinggap dibenaknya. Banyak hal yang melatarbelakangi niat seseorang dalam bekerja, jika mengikuti teori Maslow, mulai dari kebutuhan terendah seperti makan (dan kebutuhan fisiologis lainnya), status sosial sampai kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dan seringkali jawaban-jawaban yang keluar atas pertanyaan tadi, adalah realita yang melatarbelakangi kualitas pekerjaan seseorang.

Saya pernah ditanya, kenapa senang sekali berpindah-pindah tempat kerja. Awalnya saya juga pernah dibuat bingung oleh orang yang senang sekali berganti pekerjaan. Namun seiring perjalanan waktu, penglihatan dan apalagi langsung mengalami, saya jadi tak perlu bertanya-tanya lagi. Dan kepada yang bertanya kepada saya, saya hanya bertanya balik, kenapa Anda betah berlama-lama bekerja di satu tempat? Saya yakin, jawaban saya dan dia, akan ada garis biru yang menghubungkan kesamaannya.

Orang yang bekerja sekedar untuk mencari makan (baca: uang) akan selalu berorientasi pada seberapa banyak yang bisa didapat dan seberapa banyak pula tenaga dan pikiran yang harus diberikan. Jika sedikit bayarannya, maka sedikit pula yang dilakukan. Hal ini menjadi wajar karena tidak sedikit pula perusahaan yang mengukur prestasi dan menilai kinerja karyawannya dengan materi, sehingga secara tidak langsung membudayakan kerja berdasarkan materi. Namun satu hal yang patut direnungkan oleh setiap perusahaan, ini akibat dari bentuk kapitalisme yang membudaya, bahwa kepada yang membayar lebih tinggi, kepada merekalah seseorang akan memberikan loyalitasnya. Dan ini mesti menjadi pelajaran kenapa banyak orang kemudian beralih dan menggeser tempat duduknya dari satu gedung ke gedung lainnya.

Oleh karenanya, prinsip the right man on the right place saja tidak cukup, mesti ditambah in the right time. Seseorang yang profesional akan merasa bukan waktunya lagi berada di tempat yang meski tepat, tetapi ruang dan kesempatannya untuk mengaktualisasikan dirinya semakin sempit. Bisa jadi ia masih dibutuhkan ditempatnya bekerja karena mungkin sangat jarang menemukan SDM bermutu sepertinya, tetapi jika kemudian ia merasa mendapatkan kesempatan dan ruang baru baginya untuk lebih banyak berbuat, itulah yang dicarinya. Dan biasanya, jika sudah demikian, orang-orang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas yang datang. Baginya, kesempatan seringkali tidak datang dua kali.

Lain halnya dengan orang-orang yang bekerja berlatarbelakang materi, jika tak sesuai materi yang didapat, maka pilihannya cuma dua, keluar dari perusahaan atau bekerja dibawah standard. Kalaupun akhirnya dia pindah dan mendapat pekerjaan baru, jika tak merubah cara pandangnya terhadap pekerjaan yang juga merupakan amanah, maka tak heran jika di tengah jalan, orang-orang seperti ini akan melemah kembali, dan bekerja pun kembali seusai dengan typenya, tergantung bayaran.

Orang yang bekerja dibawah standard dari yang seharusnya dikerjakan, padahal ia digaji dengan standard yang sudah disesuaikan dengan apa yang menjadi kewajibannya, adalah orang yang zhalim. Dan semestinya, seorang mukmin tidak memiliki mental dan karakter demikian. Bahkan adil saja tidak cukup. Orang yang bekerja sesuai dengan standard dan memenuhi semua kewajibannya, adalah orang yang bersikap adil. Dan ia tidak berdosa dengan keadilan yang sudah dipenuhinya. Namun saat ini, ada trend baru orang-orang dalam bekerja, yakni bekerja lebih dari waktu, standard dan kewajiban yang semestinya dilakukan. Yang demikian, sungguh telah berbuat Ihsan.

Aktualisasi diri, tingkatan tertinggi kebutuhan hidup manusia menurut Maslow, dalam kamus Islam adalah Ihsan. Tak mempedulikan berapa banyak ia dibayar, tetapi karena ia memandang pekerjaan sebagai satu bentuk dari ibadah dan penghambaan kepada Allah, maka seperti halnya ibadah-ibadah yang lain, maka dalam bekerja pun orientasinya tidak materi semata. Baginya pekerjaan adalah amanah dan ia mesti memelihara amanah tersebut sebaik-baiknya, bahkan meski untuk melakukan amanah tersebut, sedikit apresiasi yang didapatnya. Tidak ada kamus kecewa, karena baginya, selesai melaksanakan kewajibannya dan bahkan lebih baik dari target waktu dan standard semestinya adalah kepuasan tersendiri.

Kepada Rasulullah, Jibril pernah bertanya tentang Ihsan, dan Rasulullah mengatakan, “... Kamu beribadah kepada Allah seolah kamu melihat Allah, walaupun kamu tidak bisa melihat Allah, sesungguhnya Allah melihat kamu”. Orang-orang yang berbuat Ihsan, tidak mempedulikan atasannya melihat atau tidak pekerjaannya, karena ia teramat yakin dengan ketentuan Allah tentang balasan berbuat Ihsan. Jika bukan manusia yang memberikan apresiasi karena tak mengetahui pekerjaannya, Allah-lah yang akan memberikan penghargaan. Adakah yang lebih baik dari penghargaan Allah? Wallaahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gaw)



sumber : eramuslim

Ada Apa Dengan Kita ?

Saudaraku, saat mobil mewah dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.

Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa tenang meski terlalu sering melalaikan sholat, kita masih berdiri tegak dan sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita, meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar. Saudaraku, ada apa dengan kita?

Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan yang baru.

Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya. Saudaraku, ada apa dengan kita?

Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan, tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.

Tetapi juga saudaraku, tidak jarang kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar ditelinga. Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar nanti. Kita juga, tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang sholeh dan beriman.

Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa dengan kita? Wallahu a'lam bishshowaab. (Bayu Gautama)

sumber : eramuslim

Ada Apa Dengan Cinta

Suatu hari, tiga tahun yang lalu, saya sedang bete berat. Entah mengapa, dunia terasa sempit, sumpek dan menyebalkan. Padahal banyak pekerjaan yang mestinya saya selesaikan. Laporan praktikum yang bertumpuk, makalah-makalah serta seabrek PR dari banyak organisasi yang kebetulan saya ikuti. Dalam perjalanan pulang menuju kost, mata saya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah wartel. Tanpa tahu mau menelepon siapa dan untuk apa menelepon, saya dengan linglung memasuki salah satu kabin. Sebuah nomor tiba-tiba terpencet otomatis. 8411063! “Assalamu’alaikum…” sebuah suara yang mendadak terasa merdu terdengar.

Seperti ada suntikan kesegaran yang luar biasa, mendadak semangat saya bangkit. Percakapan yang mengalir begitu saja telah mengubah dunia yang tadinya abu-abu menjadi penuh warna. Pemilik suara itu adalah seorang sahabat yang sangat dekat dengan saya. Meskipun jarang bertemu, kami yakin, ada cinta yang menginspirasikan berbagai ide mulai dari yang sederhana sampai briliyan. Cinta itu yang kami yakini menjadi pemotivator dari setiap langkah yang kian hari kian berat.

Ah, Cinta…
Saya selalu terpana dengan cinta. Membuat pikiran ini dengan susah payah membayangkan seorang Abu Bakar yang tiba-tiba berlari kesana kemari, kadang ke depan, ke samping, lantas tiba-tiba ke belakang rasulullah. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Di belakang, orang-orang kafir Quraisy mengejar, bermaksud membunuh Muhammad SAW. Tentu saja sang nabi terheran-heran. Beliau pun bertanya dan dijawab oleh Abu Bakar, bahwa ketika ia melihat musuh ada di belakang, maka Abu Bakar berlari ke belakang. Jika musuh di depan, Abu Bakar lari ke depan, dan seterusnya. Abu Bakar siap menjadi tameng buat rasulullah. Agar jika ada musuh menyerang, ia lah yang lebih dulu menerimanya.

Itulah cinta. Sama seperti ketika mereka akhirnya kecapekan dan menemukan sebuah gua. Abu Bakar melarang Rasul masuk sebelum ia membersihkan terlebih dulu. Saat membersihkan, Abu Bakar melihat 3 buah lubang. Satu lubang ia tutup dengan sobekan kain bajunya, lalu yang dua ia tutup dengan ibu jari kakinya. Rasul pun tidur di pangkuan Abu Bakar. Pada saat itulah, Abu Bakar merasakan kesakitan yang luar biasa. Ia digigit ular. Namun ia tidak mau membangunkan Rasul dan terus menahan sakit hingga air matanya menetes. Tetesan itu menimpa rasul dan terbangunlah beliau. Berkat mukzizat Rasul, sakit itu pun berhasil disembuhkan. (Sumber, ‘Berkas-berkas Cahaya Kenabian’, Ahmad Muhammad Assyaf).

Ada apa dengan cinta? Kalau Mbak Izzatul Jannah (salah seorang teman dekat juga) menjawab, “ada energi disana”. Saya sepakat dengan pendapat itu. Bukan karena beliau adalah teman dekat, tetapi karena saya telah merasakannya. Dan saya ingin berbagai cahaya dengan kalian.

Cinta Positif vs Cinta Negatif

Jujur, saya mungkin kurang ngeh jika bicara masalah cinta, karena saya belum menikah. (He…he, mohon doanya ya…). Saya pun alhamdulillah belum sempat pacaran, karena Allah keburu ‘menyesatkan’ saya dari jalan kemaksiatan menuju jalan yang terang benderang, jalan yang kita yakini bersama kebenaran dan keindahannya. Namun justru itulah, saya lantas menikmati cinta yang sejati. Lewat para sahabat yang mengantarkan diri ini semakin hari semakin berkarat (maksudnya kadar karatnya makin tinggi, seperti logam mulia itu lho…) alias semakin baik. Serta tidak ketinggalan, cinta kepada sang pemberi kehidupan alias cinta hakiki yang tertinggi.

Seorang sahabat pernah bernasyid di depan saya, menukil sebuah nasyid yang dipopulerkan oleh SNADA.

Ingin kukatakan, arti cinta kepada dirimu dinda
Agar kau mengerti, arti sesungguhnya
Tak akan terlena dan terbawa, alunan bunga asmara
Yang kan membuat dirimu sengsara

Cinta suci luar biasa, rahmat sang pencipta
Kepada semua hamba-hambanya

Jangan pernah kau berpaling dari cinta
Cinta dari sang maha pencipta
Kau pasti tergoda…

Nyanyian itu membuat saya merenung panjang lebar. Yups, ketemu deh. Ada cinta positif, ada juga cinta negatif. Jika cinta adalah energi, maka akan muncul pula energi positif dan energi negatif.

Adanya energi membuat semua terasa ringan. Dengan energi, gampang saja si Edo misalnya, menghajar serombongan preman yang mengusili pacarnya, Dewi. Konon cinta bisa membuat si penakut menjadi pemberani. Dengan energi pula puasa ramadhan terasa begitu indah, meskipun sebulan penuh kita diperintahkan untuk tidak makan dan minum dari terbit hingga terbenam matahari.

Kendali, itu kuncinya

Energi itu akan di dihasilkan oleh reaktor hati, pembedanya adalah faktor pengendali. PLTN adalah sebuah tempat berlangsungnya reaksi nuklir yang terkendali, sehingga energi yang dilepaskan dapat menjadi komponen yang berfungsi untuk manusia. Itu energi positif.

Jika reaksi nuklir tidak terkendali, bayangkanlah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan ratusan ribu manusia dan menimbulkan kerugian yang luar biasa. Itu energi negatif.

Karena reaktor tersebut adalah hati, maka semua manusia pasti memilikinya. Positif atau negatif tergantung pada pengendalian manusia tersebut terhadap hati yang dimiliki. Seperti sabda rasulullah SAW :

“Inna fii jasadi mudhghotan Idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu. Waidza fasadat fasadal jasadu kulluhu. Alaa wahiyal qolbu.”

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruhnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruhnya. Ingatlah bahwa ia adalah hati. (HR Bukhari Muslim).

Cinta Negatif, Apaan tuh?!

Adalah cinta yang dialirkan dari energi tak terkendali. Ini nich, cinta yang merusak. Terlahir dari syubhat dah syahwat. Ngakunya moderat, padahal kuno berat. Bagaimana tidak kuno, cinta yang lahir dari syahwat mulai ada sejak jaman bauhela, bagaimana mungkin orang yang tidak pacaran disebut sebagai ‘ketinggalan jaman?’

Cinta negatif kini telah membanjiri pasaran, menebar kemadhorotan. Remaja gelagapan dan tidak tahu jalan, akhirnya ikut-ikutan. Pacaran, free sex, kumpul kebo, selingkuh… mendadak jadi tren. Secara normatif, semua perempuan tidak mau melihat lelaki yang dicintai ngabuburit dengan perempuan lain. Namun anehnya, ia malah berdandan seseksi mungkin agar lelaki lain tertarik padanya.

Mana bisa kesetiaan dipertahankan jika syahwat dikedepankan?

Mau tahu korban dari cinta negatif? Kerusakan moral. Yap! Survey di Yogyakarta menyebutkan 97,05% mahasiswa di Yogya tidak perawan, Survey itu dilakukan kepada 1660 responden dan hanya 3 orang yang mengaku belum melakukan aktivitas seks termasuk masturbasi! Astaghfirullah. Terlepas dari pro dan kontra tentang kashahihan hasil survey itu, jelas… data yang tercatat menunjukan sebuah ketakutan yang luar biasa bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke Yogya.

Cinta negatif telah menjelma menjadi teroris! Bukan hanya cinta yang mengeksploitasi seks, juga cinta kepada tahta dan harta yang membuat manusia berubah menjadi serigala yang sanggup tertawa-tawa ketika mengunyah bangkai rekan sendiri.

Menggapai Cinta Positif

Cinta positif adalah cinta yang frame-nya adalah cinta karena Allah. Cinta kepada Allah sebagai cinta yang hakiki, sedang cinta kepada selain Allah dilaksanakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Jika diatas disebutkan bahwa kata kuncinya adalah ‘kendali hati’, maka jelas, untuk menggapai cinta positif, hati harus pertama kali ditundukan. Jika hati telah ditundukkan maka akan bisa kita kendalikan. Jika hati terkendali, yakin deh, seluruh jasad dan akal kita pun mampu selaras dengan sang panglimanya tersebut.

Bahasa Pena?

Jika cinta adalah energi, maka yang terlahir dari cinta adalah produktivitas. Pena hanya salah satu dari banyak pilihan, tergantung pada potensi masing-masing. Saya memilih pena karena profesi saya adalah seorang penulis. Karena bingkai kecintaan itu adalah cinta kepada Allah, maka saya akan menjadikan tarian pena saya sebagai ekspresi kecintaan kepada Allah. Serupa tapi tak sama akan dialami oleh teman-teman yang mahir dibidang lain, memasak, memprogram komputer dan sebagainya. Bukti cinta itu adalah produktivitas. So, jika kita tidak produktif, berarti tidak ada energi yang menggerakan, yang ujung-ujungnya, kamu tidak punya cinta. Kasiaaan deh Luuu.

Ada apa dengan cinta? Jawabnya : ada energi. Muaranya, produktivitas, optimalisasi potensi. Tentu saja yang kita usahakan adalah cinta positif, sehingga produktivitas yang tercetak adalah produktivitas yang positif pula.

Solo, 18 November 2002

Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena dan Redaktur Majalah Pengembangan Pribadi Remaja Muslim KARIMA



sumber : kafemuslimah.com

7 Ciri "Sok Tahu"

'Sok tahu' pada dasarnya adalah "merasa sudah cukup berpengetahuan" padahal sebenarnya kurang tahu. Masalahnya, orang yang sok tahu biasanya tidak menyadarinya. Lantas, bagaimana kita tahu bahwa kita 'sok tahu'? Mari kita mengambil hikmah dari Al-Qur'an. Ada beberapa ciri 'sok tahu' yang bisa kita dapatkan bila kita menggunakan perspektif surat al-'Alaq.

1. Enggan Membaca

Ketika disuruh malaikat Jibril, "Bacalah!", Rasulullah Saw. menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Lalu malaikat Jibril menyampaikan lima ayat pertama yang memotivasi beliau untuk optimis. Adapun orang yang 'sok tahu' pesimis akan kemampuannya. Sebelum berusaha semaksimal mungkin, ia lebih dulu berdalih, "Ngapain baca-baca teori. Mahamin aja sulitnya minta ampun. Yang penting prakteknya 'kan?" Padahal, Allah pencipta kita itu Maha Pemurah. Ia mengajarkan kepada kita apa saja yang tidak kita ketahui.

Disisi lain, ada pula orang Islam yang terlalu optimis dengan pengetahuannya, sehingga enggan memperdalam. Katanya, misalnya, "Ngapain baca-baca Qur'an lagi. Toh udah khatam 7 kali. Mending buat kegiatan lain aja." Padahal, Al-Qur'an adalah sumber dari segala sumber ilmu, sumber 'cahaya' yang tiada habis-habisnya menerangi kehidupan dunia. Katanya, misalnya lagi, "Ngapain belajar ilmu agama lagi, toh sejak SD hingga tamat kuliah udah diajarin terus." Padahal, 'ilmu agama' adalah ilmu kehidupan dunia-akhirat.

2. Enggan Menulis

Orang yang sok tahu terlalu mengandalkan kemampuannya dalam mengingat-ingat dan menghafal pengetahuan atau ilmu yang diperolehnya. Ia enggan mencatat. "Ngerepotin," katanya. Seolah-olah, otaknya adalah almari baja yang isinya takkan hilang. Padahal, sifat lupa merupakan bagian dari ciri manusia. Orang yang sok tahu enggan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah, kuliah, ceramah, dan sebagainya. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena kepada manusia.

Di sisi lain, ada pula orang yang kurang mampu menghafal dan mengingat-ingat pengetahuan yang diperolehnya, tapi ia merasa terlalu bodoh untuk mampu menulis. "Susah," katanya. Padahal, merasa terlalu bodoh itu jangan-jangan pertanda kemalasan. Emang sih, kalo nulis buat orang lain, kita perlu ketrampilan tersendiri. Tapi, bila nulis buat diri sendiri, bukankah kita gak bakal kesulitan nulis 'sesuka hati'? Apa susahnya nulis di buku harian, misalnya, "Tentang ciri sok tahu, lihat al-'Alaq!"?

3. Membanggakan Keluasan Pengetahuan

Orang yang sok tahu membanggakan kepintarannya dengan memamerkan betapa ia banyak membaca, banyak menulis, banyak mendengar, banyak berceramah, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa pengetahuan yang ia peroleh itu semuanya berasal dari Allah. Ia mengira, prestasi yang berupa luasnya pengetahuannya ia peroleh berkat kerja kerasnya saja. Padahal, terwujudnya pengetahuan itu pun semuanya atas kehendak-Allah.

Mungkin ia suka meminjam atau membeli buku sebanyak-banyaknya, tetapi membacanya hanya sepintas lalu atau malah hanya memajangnya. Ia merasa punya cukup banyak wawasan tentang banyak hal. Ia tidak merasa terdorong untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Kalau ia menjadi muballigh 'tukang fatwa', semua pertanyaan ia jawab sendiri langsung walau di luar keahliannya. Ia mungkin bisa menulis atau berbicara sebanyak-banyaknya di banyak bidang, tetapi kurang memperhitungkan kualitasnya.

4. Merendahkan Orang Lain Yang Tidak Sepaham

Bagi orang Islam yang sok tahu, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera saja ia menuduh mereka telah melakukan bid'ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Bahkan, misalnya, sampai-sampai ia melarang orang-orang lain melakukan amal yang caranya lain walau mereka punya dalil tersendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai "Yang Maha Tahu", terlalu yakin bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain pasti salah. Padahal, Allah Swt berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan." (an-Najm [53]: 32)

Muslim yang sok tahu cenderung menganggap kesalahan kecil sebagai dosa besar dan menjadikan dosa itu identik dengan kesesatan dan kekafiran! Lalu atas dasar itu dengan gampangnya ia mengeluarkan 'vonis hukuman mati'. Padahal, dalam sebuah hadits shahih dari Usamah bin Zaid dikabarkan, "Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka ia telah Islam dan terpelihara jiwa dan hartanya. Andaikan ia mengucapkannya lantaran takut atau hendak berlindung dari tajamnya pedang, maka hak perhitungannya ada pada Allah. Sedang bagi kita cukuplah dengan yang lahiriah."

5. Menutup Telinga dan Membuang Muka Bila Mendengar Pendapat Lain

Orang yang sok tahu tidak memberi peluang untuk berdiskusi dengan orang lain. Kalau toh ia memasuki forum diskusi di suatu situs, misalnya, ia melakukannya bukan untuk mempertimbangkan pendapat yang berbeda dengan pandangan yang selama ini ia anut, melainkan untuk mengumandangkan pendapatnya sendiri. Ia hanya melihat selayang pandang gagasan orang-orang lain, lalu menyerang mereka bila berlainan dengannya. Ia tidak mau tahu bagaimana mereka berhujjah (berargumentasi).

Di samping itu, orang yang sok tahu itu bersikap fanatik pada pendapat golongannya sendiri. Seolah-olah ia berseru, "Adalah hak kami untuk berbicara dan adalah kewajiban kalian untuk mendengarkan. Hak kami menetapkan, kewajiban kalian mengikuti kami. Pendapat kami semuanya benar, pendapat kalian banyak salahnya." Orang yang terlalu fanatik itu tidak mengakui jalan tengah. Ia menyalahgunakan aksioma, "Yang haq adalah haq, yang bathil adalah bathil."

6. Suka Menyatakan Pendapat Tanpa Dasar Yang Kuat

Muslim yang sok tahu gemar menyampaikan pendapatnya dengan mengatasnamakan Islam tanpa memeriksa kuat-lemahnya dasar-dasarnya. Ia suka berkata, "Menurut Islam begini.... Islam sudah jelas melarang begitu...." dan sebagainya, padahal yang ia ucapkan sesungguhnya hanyalah, "Menurut saya begini.... Saya melarang keras engkau begitu...." dan seterusnya. Kalau toh ia berkata, "Menurut saya bla bla bla....", ia hanya mengemukakan opini pribadinya belaka tanpa disertai dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.

7. Suka Berdebat Kusir
Jika pendapatnya dikritik orang lain, orang yang sok tahu itu berusaha keras mempertahankan pandangannya dan balas menyerang balik pengkritiknya. Ia enggan mencari celah-celah kelemahan di dalam pendapatnya sendiri ataupun sisi-sisi kelebihan lawan diskusinya. Sebaliknya, ia tekun mencari-cari kekurangan lawan debatnya dan menonjol-nonjolkan kekuatan pendapatnya. Dengan kata lain, setiap berdiskusi ia bertujuan memenangkan perdebatan, bukan mencari kebenaran.

Demikianlah beberapa ciri orang yang sok tahu menurut surat al-'Alaq dalam pemahamanku. Dengan mengenali ciri-ciri tersebut, semoga kita masing-masing dapat melakukan introspeksi dan memperbaiki diri sehingga kita tidak menjadi orang yang sok tahu. Aamien.

Aisha Chuang
ac4x3@yahoo.com



sumber : eramuslim