Sungguh. Hingga saat ini aku belum bisa menerjemahkan rasa hatiku sendiri. Sejak
pertama kali suamiku mengatakan niatnya untuk melanjutkan studi ke negeri jiran
setahun lalu, hingga sore ini, di mana besok suamiku harus berangkat, aku masih
merasa asing dengan perasaanku.
Bahagia! Beberapa orang mengatakan aku
harus demikian. Karena kesempatan ini adalah karunia yang tidak dapat dinikmati
oleh semua orang.
Sedih? Itu yang ada di lubuk kalbuku, saat kulihat
putra kami yang belum juga genap dua tahun harus tumbuh berkembang tanpa ayah di
sisinya, untuk sementara waktu.
Ah ... biarlah semuanya mengalir seperti
air. Biarlah semuanya diatur oleh Dzat Yang Maha Mengetahui kesudahan hamba-Nya.
Biarlah!
Memang hanya itu yang selama ini mengakhiri perenunganku,
tentang hidup kami setelah suamiku berangkat. "Sabar ya, Sayang. Toh nanti kamu
pun akan menyusul. Berdoalah semoga Allah segera mengumpulkan kita kembali dalam
keadaan yang lebih berbahagia ... " demikian kata-kata yang selalu diucapkan
oleh suamiku, untuk menenangkanku. Aku pun paham, bahwa dia juga terhibur dengan
kata-kata itu. Dan, akhirnya, hanya senyum yang menyudahi pembicaraan kami.
Senyum penuh harapan, akan tercapainya cita-cita.
***
Allah memang
mempunyai cara tersendiri untuk menata kehidupan hamba-Nya. Aku merasa amat
bersyukur. Enam bulan lalu, perusahaan tempat suamiku bekerja merumahkan seluruh
karyawannya. Saat itu, kami sendiri merasa gundah, terlebih berita di media
menyebutkan bahwa ini adalah awal dari PHK. Ah ... padahal sebelumnya kami sama
sekali tak pernah membayangkannya. Memang, kadang niatan untuk mencari nafkah di
tempat lain muncul, tapi itu hanya suatu wacana, bukan sebuah keseriusan. Dan,
tatkala musibah itu datang, kami pun khawatir.
Doa pun mengalir tiada
henti, memohon kemurahan rizki-Nya. Memohon ketenangan batin, mengharap situasi
segera berubah. Alhamdulillah, dua pekan setelah itu, berita gembira datang.
Setelah empat kali mengirimkan pengajuan beasiswa, Allah pun menjawabnya.
Seorang professor salah satu perguruan tinggi negeri di Malaysia, mengijinkannya
mengerjakan sebuah proyek, sembari mengambil pendidikan master. Subhannallah..
Alhamdulillah, pertolongan Allah memang begitu dekat buat semua
hamba-hamba-Nya.
Hal yang dulu sempat menjadi masalah tak terpecahkan
dalam setiap percakapan kami, akhirnya berubah menjadi sebuah anugerah yang tak
ternilai. Jika dulu, aku sangat menentang keinginannya untuk melanjutkan studi
karena kami harus berpisah, malah akhirnya aku menjadi pendukung utamanya.
Subhannallah ... Allah memang Maha membolak-balik hati
hamba-Nya.
***
Sore ini, kembali aku merenung. Setelah dukungan
demi dukungan kukerahkan padanya untuk persiapan keberangkatannya, aku
tercenung. Apa yang nanti akan terjadi saat kami berpisah? Bagaimana aku bisa
meng-handle semua pekerjaan rumah tangga yang dulu kami kerjakan berdua, bahkan
bertiga dengan pengasuh anakku? Kepada siapa aku harus menumpahkan segala
uneg-uneg setelah lebih dari delapan jam aku bekerja di kantor? Bagaimana aku
harus menjelaskan kepada bocah kami, jika nanti dia merengek menanyakan
ayahnya?
Beribu pertanyaan bermunculan di benakku. Namun tak satu pun
yang terjawab. Semuanya bak misteri.
Hingga adzan maghrib berkumandang,
aku masih belum menemukan jawabannya.
Kuambil air wudhu dan kutunaikan
sholat. Aku berencana untuk menumpahkan segala rasaku pada Sang Khalik, usai
sholat nanti.
Dan air mataku pun tak bisa kutahan lagi saat kata demi
kata terurai, tertuju kepada-Nya. Aku memang masih bisa menahan emosi dan air
mataku di depan suamiku. Karena aku tak ingin semangatnya jatuh kembali setelah
beribu dukungan kuberikan kepadanya. Aku percaya akan tujuannya, menuntut ilmu
untuk berusaha mengubah nasib kami.
Doakan ayah dapat ilmu yang manfaat
ya, Ma, begitu kalimat yang selalu diucapkannya jika kami berbincang tentang
rencana itu.
Namun, apakah aku mampu menyembunyikan segala kesedihan dan
kekhawatiran hati ini kepada-Nya? Kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui hal yang
nyata dan yang ghaib? Tidak! Tentu tidak. Aku tidak dapat berbohong kepada-Nya.
Sekarang aku mulai memahami, bahwa hatiku memang sedih. Aku memang
khawatir ... aku memang takut.
Namun semua kesedihan, kekhawatiran dan
ketakutan yang kurasakan harusnya tidak boleh terjadi.
Aku harus pasrah..
harus tawakal. Karena rencana itu tidak akan terjadi kecuali atas kehandak-Nya.
Bukankah sebelumnya aku selalu berdoa meminta keputusan yang terbaik? Jika
kemudian Allah menganugerahkan hal ini padanya, tentunya ini juga terjadi atas
kehendak-Nya.
Aku harus tegar. Aku harus ikhlas.
Aku harus tetap
menjalankan kehidupanku dengan sebaik-baiknya. Aku masih harus terus mendidik
buah hati kami, walau tanpa ayah disampingnya. Apa pun yang terjadi, air mataku
tak boleh menetes di depan putraku.
Aku yakin aku tidak sendiri. Ada
Allah.. Dzat Yang Maha Pemurah ... Dzat yang tak pernah kering kasih sayang-Nya
... Dzat Yang Maha Welas Asih ...Dzat Yang Maha Perkasa.
Kepada-Nya lah
aku harus mengadukan setiap hal yang kuhadapi. Saat masalah datang. Saat
kelelahan mendera jiwa dan raga. Saat beragam pernik kehidupan harus
kulintasi.
Aku teringat petikan nasyid yang dikumandangkan
Raihan:
Selangkah ku kepada-Mu.
Seribu langkah kau padaku
...
Selama kita berusaha mendekat kepada-Nya, insya Allah Dia juga
akan mendekat pada kita, seribu kali.
Doa. Hanya melalui doa-doa
panjanglah aku akan mengharap rahmat-Nya. Agar cita-cita mulia yang kami
impikan, bisa menajdi sebuah kenyataan.
antariksa@eramuslim.com
Untuk
suamiku: berdoalah agar keikhlasan selalu bertambah di hati
kita.
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar