“Kemarin kau tak mengaji. Hari ini tak mengaji, tak sembahyang pula kau… mau
jadi manusia macam apa kau nak…” tegur seorang ibu kepada anak lelakinya yang
baru berusia sekitar delapan tahun.
“Bukannya tak mau sembahyang mak. Di
kereta banyak pembeli, kan sayang. Lagipula itu kan rejeki…” sanggah sang anak
yang masih menggendong kotak rokok dan permen dagangannya.
“Hey … apa
kau bilang??? Rejeki tu sudah ada yang mengaturnya. Bukan kau yang menentukan
apa kau dapat rejeki atau tidak hari ini. Kalau kau tak berdoa pada-Nya, mungkin
esok kau tak seberuntung hari ini…”.
Kata-kata itu, sungguh membuat ku
terkesima. Sebuah cuplikan fragmen keimanan yang kutangkap hanya beberapa menit
saat kuberdiri di Stasiun Kereta Api Pasar Minggu, Jakarta, tak seberapa masa
menjelang Maghrib. Ada gemuruh yang menderu di dalam dada ini melihat
pemandangan menakjubkan di depanku, terlebih mendengar dialog yang lumayan
menggetarkan itu. Betapa tidak, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang
masih balita, ditemani putri sulungnya yang berusia tidak lebih dari dua belas
tahun, meski tidak serapih muslimah-muslimah yang biasa kutemui di kampus-kampus
atau perkantoran, tapi ia berusaha untuk menutupi bagian kepalanya dengan jilbab
lusuh, bahu membahu bersama sang Ayah berdagang di emperan stasiun KA Pasar
Minggu. Sementara anaknya yang lelaki, diberinya tanggungjawab berjualan rokok,
tissue dan permen di gerbong KA Jabotabek.
Mari, ingin sekali kuajak
Anda merenung tentang mereka sebelum bicara tentang diri kita sendiri. Setiap
dini hari mata terjaga mendahului kokok ayam paling pagi untuk mengepak
barang-barang yang akan digelar di stasiun kereta api yang berdebu, kadang sesak
di pagi dan sore hari saat jam pergi dan pulang kantor, yang sudah pasti tak
berpengatur udara. Tak ada kursi empuk selain alas koran yang tidak jarang
membuat pinggang dan tulang bokong mereka pegal-pegal sekaligus panas, jika tak
sering-sering bangun, kemudian duduk kembali sekedar melancarkan peredaran
darah. Keringat yang keluar tak bisa diukur dari nine to five seperti kebanyakan
kita. Sedangkan si bocah lelaki keluar masuk dan turun naik dari gerbong ke
gerbong, dari pagi hingga sore menjelang dengan segala bentuk bahaya yang
senantiasa menanti.
Tapi, tak sedikitpun mereka ragu bahwa Dia-lah yang
mengatur semua rizki bagi manusia, tidak terkecuali mereka. Sehingga sedemikian
marahnya si ibu setelah mendapat laporan dari si sulung bahwa anak lelakinya
sudah dua hari tak mengaji, dan hari ini kedapatan tak sembahyang Dzuhur.
Kemudian mari tengok diri ini. Di pagi hari tak perlu memanggul karung
dan dus yang berat, untuk menggelarnya terpal di emperan manapun. Kita hanya
perlu naik kendaraan menuju kantor, duduk di kursi yang empuk, mungkin tak ada
peluh yang harus dibasuh karena seharian bekerja di ruangan ber-AC, dan tidak
jarang masih mendapatkan pelayanan khusus dari office boy.
Namun dengan
kondisi yang demikian lebih baik, tidak jarang dzuhur dan ashar tertinggal,
minimal sholat dzuhurnya menjelang ashar. Itu pun jika sempat. Seringkali
kesibukan dan terlalu banyak pekerjaan menjadi alasan untuk tak melafazkan
barang satu ayatpun kalimah-Nya. Tak mengertikah kita bahwa mungkin saja Dia
yang maha mengatur rizki itu tak lagi memberikan kita semua kesibukan yang hari
ini menjadi alasan untuk tak mendekati-Nya?
Sungguh, enggankah kita
membiarkan semua pekerjaan, komputer, meja kerja, kursi empuk, telepon yang
berdering-dering itu kelak menjadi saksi di hadapan Allah, bahwa mereka pernah
ditinggal oleh pemiliknya di waktu-waktu tertentu saat kita bermunajat pada-Nya?
***
Adzan Maghrib pun berkumandang, kuikuti punggung-punggung
mereka yang menuruti langkah-langkah kecil menuju mushola.
sumber :
eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar