Sabtu, 06 Februari 2016

Hanya Ganti Kalender

Hujan yang mengguyur setiap pandangan mata kita tidak menjadi halangan bagi siapapun yang ingin bergabung dalam golongan hura-hura. Setidaknya, sejauh kita berjalan, sejauh itu pula tiupan-tiupan terompet berkumandang, tawa-tawa membahana, ledakan-ledakan kecil petasan melangit, seakan hari baru dalam tahun yang baru adalah hari dimana kita berkumpul dalam Jannah Allah. Bahkan, kita rela untuk mengeluarkan uang dari kantong kita pas-pasan untuk mendukung kelancaran acara itu. Padahal, belum tentu kita mau mengeluarkan uang untuk korban-korban kemanusiaan di berbagai tempat dan menyisihkan sisa gaji bulanan kita untuk berinfaq, zakat penghasilan atau mendukung pembangunan masjid disekitar kita.

Ketika teringat apa yang disabdakan Rasululloh SAW “Yang terbaik diantara kalian adalah yang memberikan manfaat bagi manusia” kita siap siaga untuk mengorbankan apa-apa yang kita miliki. Kita tahu, hakikat yangkita miliki adalah titipan dari Alloh SWT. Tapi ketika teriakan terompet segera bersenandung, mengalunkan kebahagiaan menanti angka 1 pada tahun yang beda 1 angka belakangnya, maka sabda itu hanya terdengar samar.

“Sekali-kali lah kita pesta”. Ungkapan ringan seringkali muncul dengan mudah. Ia memastikan bahwa pesta yang diikutinya adalah hanya sekali-kali. Berapa kali Ia mengucapkan kalimat yang sama. Jika umurnya 20 dan pesta tahun baru menjadi agenda rutinnya sejak umur 17 tahun, maka ia sudah mengucapkan kalimat yang sama sebanyak 4 kali. Kalimat yang sepantasnya diucapkan “Empat kali aja deh kita pesta”. Setelah itu tidak lagi. Berhenti. Stop menghamburkan harta untuk meniup terompet bersama di alun-alun, lapangan, tempat wisata, pantai, gunung, jalan-jalan raya dan tempat-tempat lain.

Renungkan, apa yang terjadi pada diri kita pada tahun 2003 yang baru berlalu. Tidakkah kita ingat berapa kali kita meninggalkan shalat wajib atau sunnah, mengurangi puasa wajib atau sunnah, memaksimalkan tilawah, memperbanyak silaturrahim, memberkahkan harta dengan bersedekah, mencari ilmu, memperbanyak berkumpul dengan orang-orang baik, menghindarkan keburukan, menjadi oposisi dalam setiap kebathilan dalam 12 bulan itu? Kita hanya bisa menjawab Wallohu a’lam (hanya Alloh yang Maha Mengetahui).

Jangan saudaraku. Jangan karena kita mengetahui kalimat Wallohu a’lam, sehingga kita tidak berhasil menilai keberhasilan hari-hari yang lalu. Yang paling pantas mengucapkan kalimat itu adalah muslim yang berusaha maksimal untuk menilai segala kekurangan yang ada dan menciptakan potensi-potensi ibadah baru kita sebagaio tanda syukur kepada Alloh SWT, setelah itu barulah kita boleh mengucapkan “Wallohu a’lam”.

Mari kita simak pribahasa Arab yang sudah tidak asing bagi telinga kita. “Hari ini lebih baik dari hari kemarin. Jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia celaka. Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia merugi”. Falsafah ini kemudian diterapkan dalam kehidupan mereka yang non-muslim. Jepang, Singapura, Jerman, Belanda bahkan musuh bebuyutan kita Amerika.

Sudah 14 Abad lamanya tersiar sebuah syair indah dalam Al-Qur’an tentang waktu. “Demi Masa. Sesunggguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi keshabaran” (Al-‘Ashr QS 103:1-3). Dan banyak lagi perintah Alloh SWT dan Rasululloh SAW yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang seharusnya kini menjadi pegangan hidup kita. Sudahkah kita menjalaninya?

Renungkan, apa yang terjadi pada saudara-saudara kita pada tahun 2003 yang baru berlalu. Saudara-saudara kita di Iraq, berapa banyak yang meregang nyawa untuk mempertahankan negaranya yang akan dikuasai Kafir Amerika dan Israel?

Saudara-saudara kita di Palestina, berapa banyak yang meregang nyawa untuk mempertahankan sebuah ideologi kebenaran yang memang harus dipertahankan, bukan sekedar mempertahankan posisi Masjid Al-Quds yang sudah mahsyur sejak peristiwa Isra’ Mi’raj? Saudara-saudara kita yang selalu jadi intaian intelejen-intelejen Nasional maupun Internasional sehingga dinyatakan sebagai teroris bahkan pemimpin terotis atau penyandang dana teroris? Saudari-saudari kita yang ada di Prancis, yang harus berjuang dengan keras untuk selalu memasang jilbabnya sebagai identitas muslimah? Saudara-saudara kita yang syahid karena mengalami tribulasi untuk menanggalkan Islam dan memeluk agama baru? Dan masih banyak lagi.

Apa yang dapat kita lakukan untuk mereka? Ada banyak cara untuk membantu mereka. Bisa dengan terjun langsung untuk aksi sosial. Jika tidak mampu, bisa dengan infaq. Jika tidak mampu, bisa dengan demonstrasi. Jika tidak mampu, bisa dengan mengikuti beritanya dan menulis opini. Jika tidak mampu, bisa dengan medo’akan mereka supaya mendapat pertolongan Alloh. Jika tidak mampu, bisa dengan menangis karena tidak bisa berdo’a. Jika kita tidak mampu dengan point terakhir, maka kita bukanlah golongan Muslim. Na’udzubillah min dzalik.

Begitu banyak catatan-catatan yang perlu kita baca sepanjang tahun 2003. Karena terlalu banyak, kita lelah memandangnya. Karena terlalu rumit, kita enggan mencari solusinya. Intinya, kita malas untuk mengakui segala catatan-catatan yang seharusnya tidak lagi tergores di tahun ini.

Seharusnya kita malu dengan makhluk-makhluk Alloh yang lain yang tidak sempurna tapi sungguh setiap nafas-nafas mereka teriring tasbih dan syukur kepada Alloh. Ada pohon yang menunduk. Air yang mengalir. Laut yang mengayunkan ombak. Angin yang bertiup dengan irama. Hujan yang teratur. Batu yang terdiam. Hewan-hewan yang bersuara pada saat pagi dan menjelang malam. Mereka melakukan itu tanpa bosan setiap hari seumur hidup. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman QS 55:13).

Jadikan setiap pergantian tahun sebagai hari peningkatan (Az-Ziyadah) sebagai tanda syukur, supaya kita tidak termasuk golongan orang yang terkena ‘Azab pedihnya Alloh SWT. Sesekali kita boleh mencontoh seekor lebah yang hinggap di bunga untuk membantu dan tidak merusak. Menjadikan setiap tempat adalah ladang amal, setiap orang adalah obyek untuk meraih ridho-Nya tanpa mengoyak-ngoyak perasaan dengan perbedaan yang ada.

Robbi, tanami ladangku dengan keinsyafan Adam, ketahanan Nuh, kecerdasan Ibrahim, ketulusan Ismail, kebersahajaan Ayub, kesabaran Yunus, kelapangan Yusuf, kesungguhan Musa, kefasihan Harun, kesucian Isa, dan kematangan Muhammad.

Bukan ungkapan “Selamat Tahun Baru” yang kuucapkan, tapi ungkapan “Selamat merenungi ni’mat-ni’mat Alloh selagi ruh masih bersatu dalam jiwa”.

sumber : eramuslim

0 komentar:

Posting Komentar