Hujan yang mengguyur setiap pandangan mata kita tidak menjadi halangan bagi
siapapun yang ingin bergabung dalam golongan hura-hura. Setidaknya, sejauh kita
berjalan, sejauh itu pula tiupan-tiupan terompet berkumandang, tawa-tawa
membahana, ledakan-ledakan kecil petasan melangit, seakan hari baru dalam tahun
yang baru adalah hari dimana kita berkumpul dalam Jannah Allah. Bahkan, kita
rela untuk mengeluarkan uang dari kantong kita pas-pasan untuk mendukung
kelancaran acara itu. Padahal, belum tentu kita mau mengeluarkan uang untuk
korban-korban kemanusiaan di berbagai tempat dan menyisihkan sisa gaji bulanan
kita untuk berinfaq, zakat penghasilan atau mendukung pembangunan masjid
disekitar kita.
Ketika teringat apa yang disabdakan Rasululloh SAW “Yang
terbaik diantara kalian adalah yang memberikan manfaat bagi manusia” kita siap
siaga untuk mengorbankan apa-apa yang kita miliki. Kita tahu, hakikat yangkita
miliki adalah titipan dari Alloh SWT. Tapi ketika teriakan terompet segera
bersenandung, mengalunkan kebahagiaan menanti angka 1 pada tahun yang beda 1
angka belakangnya, maka sabda itu hanya terdengar samar.
“Sekali-kali lah
kita pesta”. Ungkapan ringan seringkali muncul dengan mudah. Ia memastikan bahwa
pesta yang diikutinya adalah hanya sekali-kali. Berapa kali Ia mengucapkan
kalimat yang sama. Jika umurnya 20 dan pesta tahun baru menjadi agenda rutinnya
sejak umur 17 tahun, maka ia sudah mengucapkan kalimat yang sama sebanyak 4
kali. Kalimat yang sepantasnya diucapkan “Empat kali aja deh kita pesta”.
Setelah itu tidak lagi. Berhenti. Stop menghamburkan harta untuk meniup terompet
bersama di alun-alun, lapangan, tempat wisata, pantai, gunung, jalan-jalan raya
dan tempat-tempat lain.
Renungkan, apa yang terjadi pada diri kita pada
tahun 2003 yang baru berlalu. Tidakkah kita ingat berapa kali kita meninggalkan
shalat wajib atau sunnah, mengurangi puasa wajib atau sunnah, memaksimalkan
tilawah, memperbanyak silaturrahim, memberkahkan harta dengan bersedekah,
mencari ilmu, memperbanyak berkumpul dengan orang-orang baik, menghindarkan
keburukan, menjadi oposisi dalam setiap kebathilan dalam 12 bulan itu? Kita
hanya bisa menjawab Wallohu a’lam (hanya Alloh yang Maha Mengetahui).
Jangan saudaraku. Jangan karena kita mengetahui kalimat Wallohu a’lam,
sehingga kita tidak berhasil menilai keberhasilan hari-hari yang lalu. Yang
paling pantas mengucapkan kalimat itu adalah muslim yang berusaha maksimal untuk
menilai segala kekurangan yang ada dan menciptakan potensi-potensi ibadah baru
kita sebagaio tanda syukur kepada Alloh SWT, setelah itu barulah kita boleh
mengucapkan “Wallohu a’lam”.
Mari kita simak pribahasa Arab yang sudah
tidak asing bagi telinga kita. “Hari ini lebih baik dari hari kemarin. Jika hari
ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia celaka. Jika hari ini sama dengan
hari kemarin, maka ia merugi”. Falsafah ini kemudian diterapkan dalam kehidupan
mereka yang non-muslim. Jepang, Singapura, Jerman, Belanda bahkan musuh
bebuyutan kita Amerika.
Sudah 14 Abad lamanya tersiar sebuah syair indah
dalam Al-Qur’an tentang waktu. “Demi Masa. Sesunggguhnya manusia dalam keadaan
merugi. Kecuali orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat-menasehati
supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi keshabaran”
(Al-‘Ashr QS 103:1-3). Dan banyak lagi perintah Alloh SWT dan Rasululloh SAW
yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang seharusnya kini menjadi
pegangan hidup kita. Sudahkah kita menjalaninya?
Renungkan, apa yang
terjadi pada saudara-saudara kita pada tahun 2003 yang baru berlalu.
Saudara-saudara kita di Iraq, berapa banyak yang meregang nyawa untuk
mempertahankan negaranya yang akan dikuasai Kafir Amerika dan Israel?
Saudara-saudara kita di Palestina, berapa banyak yang meregang nyawa
untuk mempertahankan sebuah ideologi kebenaran yang memang harus dipertahankan,
bukan sekedar mempertahankan posisi Masjid Al-Quds yang sudah mahsyur sejak
peristiwa Isra’ Mi’raj? Saudara-saudara kita yang selalu jadi intaian
intelejen-intelejen Nasional maupun Internasional sehingga dinyatakan sebagai
teroris bahkan pemimpin terotis atau penyandang dana teroris? Saudari-saudari
kita yang ada di Prancis, yang harus berjuang dengan keras untuk selalu memasang
jilbabnya sebagai identitas muslimah? Saudara-saudara kita yang syahid karena
mengalami tribulasi untuk menanggalkan Islam dan memeluk agama baru? Dan masih
banyak lagi.
Apa yang dapat kita lakukan untuk mereka? Ada banyak cara
untuk membantu mereka. Bisa dengan terjun langsung untuk aksi sosial. Jika tidak
mampu, bisa dengan infaq. Jika tidak mampu, bisa dengan demonstrasi. Jika tidak
mampu, bisa dengan mengikuti beritanya dan menulis opini. Jika tidak mampu, bisa
dengan medo’akan mereka supaya mendapat pertolongan Alloh. Jika tidak mampu,
bisa dengan menangis karena tidak bisa berdo’a. Jika kita tidak mampu dengan
point terakhir, maka kita bukanlah golongan Muslim. Na’udzubillah min
dzalik.
Begitu banyak catatan-catatan yang perlu kita baca sepanjang
tahun 2003. Karena terlalu banyak, kita lelah memandangnya. Karena terlalu
rumit, kita enggan mencari solusinya. Intinya, kita malas untuk mengakui segala
catatan-catatan yang seharusnya tidak lagi tergores di tahun
ini.
Seharusnya kita malu dengan makhluk-makhluk Alloh yang lain yang
tidak sempurna tapi sungguh setiap nafas-nafas mereka teriring tasbih dan syukur
kepada Alloh. Ada pohon yang menunduk. Air yang mengalir. Laut yang mengayunkan
ombak. Angin yang bertiup dengan irama. Hujan yang teratur. Batu yang terdiam.
Hewan-hewan yang bersuara pada saat pagi dan menjelang malam. Mereka melakukan
itu tanpa bosan setiap hari seumur hidup. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman QS 55:13).
Jadikan setiap pergantian
tahun sebagai hari peningkatan (Az-Ziyadah) sebagai tanda syukur, supaya kita
tidak termasuk golongan orang yang terkena ‘Azab pedihnya Alloh SWT. Sesekali
kita boleh mencontoh seekor lebah yang hinggap di bunga untuk membantu dan tidak
merusak. Menjadikan setiap tempat adalah ladang amal, setiap orang adalah obyek
untuk meraih ridho-Nya tanpa mengoyak-ngoyak perasaan dengan perbedaan yang
ada.
Robbi, tanami ladangku dengan keinsyafan Adam, ketahanan Nuh,
kecerdasan Ibrahim, ketulusan Ismail, kebersahajaan Ayub, kesabaran Yunus,
kelapangan Yusuf, kesungguhan Musa, kefasihan Harun, kesucian Isa, dan
kematangan Muhammad.
Bukan ungkapan “Selamat Tahun Baru” yang kuucapkan,
tapi ungkapan “Selamat merenungi ni’mat-ni’mat Alloh selagi ruh masih bersatu
dalam jiwa”.
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar