Sore itu, anak-anak sedang ramai di Taman Bacaan saya. Tiba-tiba suara tangis
pecah meningkahi keramaian. Saya buru-buru menghentikan aktifitas mencatat buku
yang akan di pinjam dan turun ke halaman. Ika, gadis 5 tahun itu tengah duduk di
bangku sambil tersedu-sedu menutup muka dalam rangkulan kakaknya Nisa.
“Ada apa?” tanya saya. “Ika pikir buku yang dipinjamnya hilang, Kak!
Padahal sudah saya kembalikan bareng punya saya,” Nisa menjelaskan.
Saya
tersenyum dan memeluk Ika. “Ika sedih dan takut dimarahin karena bukunya hilang,
ya? Nah, bukunya bukan hilang tapi dikembalikan. Ika anak baik. Nangisnya udah
yaa.” Dan Ika pun berhenti menangis, meski sesekali sedu sedannya masih
terdengar.
Beberapa saat kemudian, Niki, pengunjung taman bacaan yang
lain datang. Ia takut-takut mengembalikan buku yang sudah berubah muka.
Sampulnya lecek bekas basah dan diselotip asal-asalan.
“Niki, kenapa kok
bukunya baru dikembalikan?’ tanya saya. Di daftar pinjaman, buku itu sudah tiga
hari di tangan Niki.
“Bukunya jatuh ke got, Kak!” jawab gadis kelas dua
SD itu takut-takut.
”Iya, Kak. Kemarin dia takut mengembalikan buku,”
sahut Oki saudara kembar Niki.
”Oh, begitu. Terima kasih Niki sudah
berusaha membenahi bukunya. Besok lagi hati-hati, ya?”
Suatu hari yang
lain, Ihsan mendekati saya takut-takut sambil bertanya, ”Kak, beli buku ini
dimana?”. “Kenapa? Kamu ingin beli?”
Dia membuka lembaran tengah yang
robek dan menunjukkan ke saya dengan air muka penuh rasa bersalah. “Oh, bukunya
robek. Sini, kita selotip bareng-bareng. Lain kali hati-hati ya?” jawab saya.
Sungguh saya terharu dengan usaha anak-anak itu menjaga amanah. Padahal
mereka masih kecil. Padahal pula selama ini mereka dicap ‘kurang baik’ oleh
beberapa orang dewasa yang saya kenal di lingkungan kami. Ya, kegiatan saya
menjalankan rumah bacaan di tempat saya tinggal bukan tanpa hambatan. Terutama
pemilik rumah yang tidak setuju dan menganggap anak-anak itu hanya mengganggu,
juga mereka punya kebiasaan mencuri. Barangkali beliau benar, karena beliau
lebih paham tentang lingkungan tinggalnya.
Pernah memang, selembar uang
lima ribu rupiah di meja hilang saat saya tinggal ke dalam. Tapi itu dulu
sekali. Dan saya pikir justru karena itulah saya ingin dan tertantang untuk
mengubahnya. Saya berusaha memberi kepercayaan kepada anak-anak itu, dengan
harapan mereka akan membalas kepercayaan saya (tentu saja di sisi lain, saya
lebih berhati-hati menyimpan barang berharga).
Saya menganggap mereka
orang dewasa yang sanggup menjaga amanah. Dan rasanya, saya pikir usaha itu
tidak sia-sia. Kejadian di atas adalah contohnya.
Namun di sisi lain,
kejadian di atas juga mengingatkan saya atas fenomena (kalaulah bisa disebut
fenomena) kurang dipenuhinya adab pinjam meminjam di kalangan dewasa. Bahkan di
kalangan para aktifis yang sudah mengerti Islam.
Uang maupun barang.
Saya tak ingin membahas yang besar-besar, tapi yang kecil saja yaitu buku.
Karena suatu hal besar itu dimulai dari hal kecil.
Setiap kita pasti
pernah meminjam buku atau meminjamkan buku. Tapi berapa kali kita mengembalikan
buku yang kita pinjam kembali dalam kondisi seperti awal dipinjamkan? Dan berapa
pula yang tak kembali? Atau, adakah buku teman yang belum kita kembalikan?
Selain taman bacaan anak, saya juga punya koleksi cukup banyak buku
untuk orang dewasa. Dari berbagai majalah, novel Islami dan novel umum,
buku-buku referensi keagamaan, buku-buku self help dan How to’s dan lain dan
lain. Buku-buku itu juga saya pinjamkan secara terbuka kepada teman-teman saya
atau temannya teman saya.
Setiap kali meminjamkan buku, saya selalu
berpesan agar buku dijaga dan dikembalikan segera jika sudah selesai. Namun
sedihnya, ada saja buku yang kembali dalam kondisi kotor maupun bekas basah
maupun halamannya bredel. Ada juga buku yang sejak dipinjam tak pernah kembali.
Ada yang merasa sudah mengembalikan tapi nyatanya buku itu tak pernah sampai ke
tangan saya.
Ada lagi yang sudah ditelepon berkali-kali namun selalu
saja ada alasannya untuk tidak mengembalikan buku. Cukup sering saya mendapat
jawaban dibawah saat saya menanyakan buku-buku yang mereka pinjam.
“Oh
belum saya kembalikan, ya? Saya lupa nih. Ya udah, tolong mbak lihat di rumah
dan saya lihat juga di rumah. Kalo di rumah saya ada berarti memang belum saya
kembalikan.”
Atau, “Aduh, waktu itu dibaca sama si anu, ntar deh
ditanyain”. Ketika ditanya lagi, mereka kelihatan cuek dan tak mau tahu siapa
yang memegang buku pinjaman berantai itu.
***
Buku memang hanya
sebuah buku. Pinjam meminjam buku juga sudah biasa. Tapi apakah karena sudah
biasa dan ‘hanya sebuah buku’ lantas membuat statusnya sebagai barang pinjaman
yang mesti dipenuhi adabnya batal? Saya kira tidak. Betapapun statusnya tetap
barang pinjaman. Sebagaimana hutang yang dapat menghambat seseorang masuk surga,
maka saya khawatir demikian juga halnya dengan barang pinjaman.
Kalau
anak-anak lupa mengembalikan atau tidak mengembalikan, saya yakin bukan karena
mereka meremehkan atau bermaksud mengukuhi buku itu, tetapi lebih karena mereka
belum paham makna ‘meminjam’ dan bagaimana adab terhadapnya. Sedang kita, orang
dewasa? Apalagi sudah belajar Islam?
Semestinya kita lebih bisa memenuhi
adab ini dan mengajarkan pada anak-anak. Sudah tiba masanya, hal-hal seperti ini
mendapat perhatian lebih dari kita semua. Menegur, mengingatkan atau bersikap
tegas dalam hal ini, meskipun sering ditanggapi tidak enak, sebenarnya adalah
suatu usaha untuk menjaga si peminjam dari perbuatan dzalim terhadap dirinya
sendiri maupun Saudaranya.
Azimah Rahayu
(azi_75@yahoo.com)
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar