Aku pernah melihat Al-Musthafa pada sebuah malam
Langit cerah tanpa
banyak awan
Ku pandangi wajah Rasulullah
Lalu mataku beralih menatap
rembulan
Ternyata menurut penglihatanku
Beliau lebih cemerlang dibanding
pendar rembulan
(Jabir Bin Samurah, Sahabat Rasulullah)
Madinah muram. Di setiap sudut rumah wajah-wajah tertunduk terpekur
menatap tanah. Tak ada senyuman yang mengembang, atau senandung cinta yang
dilantunkan para ibunda untuk membuai buah hatinya. Sebutir hari terus bergulir,
namun semua tetap sama, kelabu. Ujung waktu selalu saja hening, padahal biasanya
kegembiraan mewarnai keseharian mereka. Padahal semangat selalu saja menjelma.
Namun kali ini, semuanya luruh. Tatapan-tatapan kosong, desah nafas berat yang
terhembus bahkan titik-titik bening air mata keluar begitu mudah. Sahara
menetaskan kesenyapan, lembah-lembah mengalunkan untaian keheningan. Kabar
sakitnya manusia yang dicinta, itulah muasalnya.
Setelah peristiwa Haji
Wada’ kesehatan nabi Muhammad Saw memang menurun. Islam telah sempurna, tak akan
ada lagi wahyu yang turun. Semula, kaum muslimin bergembira dengan hal ini.
Hingga Abu Bakar mendesirkan angin kematian Rasulullah. Sahabat terdekat ini
menyatakan bahwa kepergian kekasih Allah akan segera tiba dan saat itu adalah
saat-saat perpisahan dengan purnama Madinah telah menjelang. Selanjutnya
bayang-bayang akan kepergian sosok yang selalu dirindu sepanjang masa terus saja
membayang, menjelma tirai penghalang dari banyak kegembiraan.
Dan masa
pun berselang.
Mesjid penuh sesak, kaum Muhajirin beserta Anshar. Semua
berkumpul setelah Bilal memanggil mereka dengan suara adzan. Ada sosok cinta di
sana, kekasih yang baru saja sembuh, yang membuat semua sahabat tak melewatkan
kesempatan ini. Setelah mengimami shalat, nabi berdiri dengan anggun di atas
mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada Allah yang
Maha Pengasih. Senyap segera saja datang, mulut para sahabat tertutup rapat,
semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara sang Nabi yang
baru berada lagi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah.
Selanjutnya Nabi bertanya.
“Duhai sahabat, kalian tahu umurku tak akan
lagi panjang, Siapakah diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si
lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu hingga
kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik”.
Semua yang hadir
terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah. Tak akan pernah ada
dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan
Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan
bening sari pati cinta. Tak akan rela sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya
meski hanya secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa.
Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya, kali ini
suaranya terdengar lebih keras. Masih saja para sahabat duduk tenang. Hingga
ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi. Dialah ‘Ukasyah
Ibnu Muhsin.
“Ya Rasul Allah, Dulu aku pernah bersamamu di perang Badar.
Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu,
duhai kekasih Allah, Saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat
berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung samping ku” ucap
‘Ukasyah.
Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di
rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal,
langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia
tidak ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh kekasih yang baru saja sembuh.
Namun ia juga tidak mau mengecewakan Rasulullah. Segera setelah sampai, cambuk
diserahkannya kepada Rasul mulia. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan
‘Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.
Sekonyong-konyong melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat
maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas
sejak dari tadi, dia lah Abu Bakar. Dan yang kedua, sosok pemberani, yang
ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Nabi menyapanya sebagai Umar Ibn
Khattab. Gemetar mereka berkata:
“Hai ‘Ukasyah, pukullah kami berdua,
sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kau ingin, kisaslah
kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasul”
“Duduklah kalian sahabatku,
Allah telah mengetahui kedudukan kalian”, Nabi memberi perintah secara tegas.
Kedua sahabat itu lemah sangsai, langkahnya surut menuju tempat semula. Mereka
pandangi sosok ‘Ukasyah dengan pandangan memohon. ‘Ukasyah tidak bergeming.
Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi thalib tak tinggal
diam. Berdirilah ia di depan ‘Ukasyah dengan berani.
“Hai hamba Allah,
inilah aku yang masih hidup siap menggantikan kisas Rasul, inilah punggungku,
ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku”
“Allah Swt sesungguhnya
tahu kedudukan dan niat mu duhai Ali, duduklah kembali” Tukas Nabi.
“Hai
‘Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami adalah cucu Rasulullah, kami
darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu artinya mengkisas
Rasul juga”, kini yang tampil di depan U’kasyah adalah Hasan dan Husain. Tetapi
sama seperti sebelumnya Nabi menegur mereka. “Duhai penyejuk mata, aku tahu
kecintaan kalian kepadaku. Duduklah”.
Masjid kembali ditelan senyap.
Banyak jantung yang berdegup kian cepat. Tak terhitung yang menahan nafas.
‘Ukasyah tetap tegap menghadap Nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin
menghalangi ‘Ukasyah mengambil kisas. “Wahai ‘Ukasyah, jika kau tetap berhasrat
mengambil kisas, inilah Ragaku,” Nabi selangkah maju mendekatinya.
“Ya
Rasul Allah, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kainpun yang menghalangi
lecutan cambuk itu”. Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan ghamisnya yang
telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir
menggema, semua yang hadir menangis pedih.
Melihat tegap badan manusia
yang di maksum itu, ‘Ukasyah langsung menanggalkan cambuk dan berhambur ke tubuh
Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, sepuas keinginannya ia ciumi punggung
Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau, dia
tumpahkan saat itu. ‘Ukasyah menangis gembira, ‘Ukasyah bertasbih memuji Allah,
‘Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu, “Tebusanmu, jiwaku ya
Rasul Allah, siapakah yang sampai hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku
hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan
ini menjagaku dari sentuhan api neraka”.
Dengan tersenyum, Nabi berkata:
“Ketahuilah duhai manusia, sesiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka
lihatlah pribadi lelaki ini”. ‘Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji
Allah. Sedangkan yang lain berebut mencium ‘Ukasyah. Pekikan takbir menggema
kembali. “Duhai, ‘Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian
pasti, bergembiralah engkau, karena kelak engkau menjadi salah satu yang
menemani Rasul di surga”. Itulah yang kemudian dihembuskan semilir angin ke
seluruh penjuru Madinah.
***
Sahabat, indah nian pabila kita
dapat berjumpa dengan kekasih Allah di surga. ‘Ukasyah mencari setiap celah
kesempatan agar dapat merengkuh anugerah ini. Lalu, seperti apakah usaha kita?
Astagfirullahaladziimmm, tak berani saya membandingkan jejak kehidupan saya
dengan kemilau ‘Ukasyah.
Sahabat, tutup window internet ini, dan
kembalilah bekerja, reguk porsi waktu untuk mencari jalan ke Surga!.
Mudah-mudahan (Dengan karunia Allah tentunya), kelak kita menjumpai sosok yang
dirindui ‘Ukasyah, dan dengan demikian kita mampu membuktikan syair yang
dilantunkan Jabir bin Samurah di atas. Subhanallah...
Husnul
mahabbah12@yahoo.com
*Untuk sahabat yang baru saja
menyatakan kerinduannya kepada Rasulullah.
sumber :
eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar