Belum juga genap tujuh hari Sheikh Ahmad Yasin, orang nomor satu dalam kelompok
radikal Palestina, berpulang ke rahmatullah, hari ini aku lihat kembali sebuah
pemandangan ‘baru’ lagi di halaman depan sebuah koran ternama ibu kota, ‘The
Gulf News’. Khaled, bocah kecil berusia 7 tahun, ditembak mati oleh tentara
Israel. Khaled, yang saat itu sedang bermain-main di dekat jendela di rumahnya
di bilangan penampungan pengungsi West Bank, ditembus oleh peluru tentara yang
menurut mereka ‘salah’ sasaran.
Bocah yang sudah tidak lagi bernyawa itu
tengah mengalir darah segar dari mulutnya, lunglai dalam pelukan kedua tangan
sang ayah Maher Walweel yang beteriak entah kepada siapa. Yang bisa saya baca,
teriakan itu ditujukan kepada kebiadaban pendudukan ilegal Israel di negerinya.
Direnggut buah hatinya, lelaki kecil yang tampan. Sementara nampak pula dalam
gambar, Lina, sang Ibu, meraung, didampingi dua orang perempuan lainnya.
Sampai kapan kejadian serupa akan musnah dari bumi Palestina? Hanya
Allah SWT Yang Mahatahu.
Esok hari sesudah Sheikh Yasin syahid, sekitar
40 warga kita berkumpul bersama dalam rangka pengajian dua mingguan,
melaksanakan sholat jenazah bersama. Suatu bentuk yang bukan hanya ekspresi
bahwa kami merasakan kehilangan salah satu saudara seiman, namun juga sebagai
suatu bentuk solidaritas dari bangsa lain atas kesewenang-wenangan negeri lain
yang pada akhirnya mengakibatkan derita rakyat Palestina dan
pemimpin-pemimpinnya.
Sementara di Jakarta, lewat layar kaca saya lihat
sejumlah warga kita juga tengah berdemonstrasi di depan kantor Kedutaan Besar
Amerika Serikat yang tidak perlu dijelaskan kenapa ini terjadi. Di Pakistan,
kejadian serupa juga berlangsung. Demikian pula di beberapa belahan bumi
lainnya, seperti di Mesir, Inggris, Itali, Tanzania, Kenya, dan sudah tentu
‘negara’ tuan rumah, Palestina.
“Aku nggak bisa tidur memikirkan
kejadian yang menimpa Sheikh Yasin!” kata seorang akhwat. “Kami juga sempat
risau sejak terbunuhnya beliau” ungkap akhwat lainnya di Semarang yang saya
terima lewat email. Bahkan ada akhwat yang bilang” Ehm…ana geram sekali. Kalau
saja si Bush datang disini… akan ana juice…!” geramnya sambil mengepalkan
tangannya yang kecil. Saya bahkan terima email ber-attachment tiga buah foto
Sheikh Ahmad Yasin beberapa jam sesudah peristiwa pembunuhan itu yang
memperlihatkan kepala beliau tinggal, maaf, separuh. Namun, subhanallah, bibir
beliau tersenyum.
Pagi tadi, saya kedatangan seorang rekan asal Tunisia,
Ala nama singkatnya, saya tanya: “Antum punya teman orang Palestina?” “Ya! Ada
beberapa. Kenapa?” Katanya balik. “Bagaimana pendapatmu terhadap sikap mereka
sepeninggalnya Sheikh Yasin?” kataku ingin tahu lebih lanjut. “Biasa-biasa
saja!” jawab si Ala simple. Biasa? Tanyaku dalam hati. Wafatnya Sheikh Yasin,
akibat kebiadaban si Tukang Jagal, Ariel Sharon, saya anggap bukan hal yang
biasa!
Ada yang aneh diantara sikap orang-orang Arab ini. Saya pribadi
memang tidak berharap akan terjadi perang ‘besar’ akibat pembunuhan terhadap
Pemimpin Hamas ini. Akan tetapi saya juga berharap setidaknya ada ‘sedikit’
perubahan sikap mereka yang tinggal di Palestina dan sekitarnya. Setidaknya dari
orang Palestina sendiri. Tidak harus lewat demonstrasi sebagaimana yang terjadi
di Indonesia, Pakistan ataupun Afrika, tapi bisa saja dalam bentuk lainnnya,
misalnya, kumpul bersama mendengarkan ceramah yang isinya tentang bagaimana
Sheikh Yasin berjuang, atau pamflet-pamflet lah yang isinya mengutuk perbuatan
Sharon.
Saya mencoba bandingkan dengan kejadian yang meskipun tidak
mirip, misalnya gempa di Gujrat-India dua tahun lalu. Betapa besar perhatian
orang-orang Asia Selatan terhadap gempa tersebut. Berbagai cara dilakukan guna
membantu korban, mulai dari ceramah, berita di TV, koran, hingga
pamflet-pamflet. Tidak hanya itu, beberapa pengusaha bahkan mengusahakan carter
pesawat untuk misi humanitarian. Itu terjadi sepenuhnya di daratan Arab!
Namun, begitu yang kena giliran musibah saudara seiman kita, pemimpin
besar Palestina, apa yang terjadi? Beritanya cuman besar di koran-koran. Tidak
lebih dari itu. Kecuali teriakan kaum Hamas yang semakin keras ‘Allahu
Akbar!’
Itulah yang membikin saya tidak habis berpikir. Ratusan ribu
orang Palestina menyebar di negara-negara Timur Tengah. Mulai dari Kuwait,
Qatar, UAE, Oman, hingga Saudi Arabia, nyaris tidak ada ‘suaranya’. Atau
barangkali saya memang buta dan tuli terhadap segala tindak-tanduk mereka? Ingin
aku garuk-garuk rasanya mata dan telinga ini, karena sejauh ini saya memang
tidak melihat orang Palestina, yang nota bene negaranya sedang dijajah Israel
menunjukkan ‘greget’ dimana sebagian warga kita di indonesia yang jauh dari
Masjidil Aqsa, begitu menggebu-gebu bereaksi terhadap setiap melihat kebrutalan
tentara Israel di ekspose media masa.
Ketika uneg-uneg ini saya
kemukakan kepada Ala, dia hanya bisa bilang: “You are right. You are right!”
Padahal saya dalam posisi yang tidak benar sama sekali. Hanya bisa ngomong, dan
seperti yang anda semua baca sekarang ini. Hanya menulis. Titik!
“Siapa
dia? Orang Palestina ya?” dengan nada agak kurang enak didengar telinga ini,
pertanyaan serupa seringkali saya jumpai. Ada seorang rekan, sebut saja si Fulan
yang juga pernah ceritera kepada saya, bahwa dia sempat diperas oleh seorang
warga Palestina. Begitu juga dengan persoalan bisnis, kalau sudah yang namanya
bosnya dari Palestina, siap-siap saja sang buruh atau bawahan menarik diri dari
tawaran kerja. “Kenapa sih?” tanyaku. Bos Palestina biasanya tidak bayar
karyawannya tepat waktu. Demikian alasannya. Payah memang!
Pendeknya, apa
yang ada di media masa yang membuat kita sedih atau prihatin, kadang tidak
imbang dengan kenyataan sebagian besar yang dialami oleh banyak orang yang
bergaul dengan warga Palestina di negara-negara Timur Tengah. Memang tidak semua
orang-orang Palestina bersikap seperti si Fulan. Namun perbuatan-perbuatan
seperti penipuan, pemerasan, atau tidak membayar gaji karyawan tepat waktu
ataupun lainnya oleh mereka, yang bisa membuat orang lain sakit hati, nampaknya
berpengaruh besar. Malah mengotori nama para pejuang Palestina.
Hal ini
mengakibatkan orang-orang tidak lagi menaruh simpati besar terhadap bagaimana
peran pejuang Palestina yang bertaruh nyawa guna merebut tanah dan
kemerdekaannya. Apalagi kalau kita melihat para pemuda-pemudi Palestina yang
suka hura-hura, main musik, berdansa, atau berhamburan di kota-kota besar di
negara-negara Arab semacam Dubai, Yordan, atau Bahrain. Bisa jadi akan ‘menguap’
begitu saja simpati kita. Bahkan bisa berubah jadi ‘benci’.
Tapi bukankah
kejadian yang sama bisa menimpa siapapun tanpa melihat latar belakang bangsanya?
Apakah itu orang Indonesia, India, Kuwait, Saudi, Amerika hingga Eropa, mereka
bisa bertindak seperti yang dilakukan Fulan diatas kan?
Kita memang
sedang bergaul dengan manusia yang unik pola pikirnya. Kita sering kali
mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atas dasar asal-usul. Sudah
naluri manusia, apabila anak yang salah, pasti si nama si bapak terkait. ‘Anak
polah, bapak kepradah’ kata orang Jawa. Padahal setiap manusia dewasa mestinya
bertanggungjawab terhadap diri sendiri, tanpa harus mengikutsertakan orang lain
sekalipun itu saudara atau orangtua nya. Tapi bagaimana kita bisa melepaskan
dari problematika semacam ini?
Di Jakarta saja misalnya, masih sering
kita dengar pembicaraan sehari-hari yang cenderung menggolong-golongkan suku. Si
Fulan dari mana tuh? Batak ya? Jawa ya? Madura ya? Dan lain-lain. Cenderung
diskriminatif.
Akibat yang terjadi, seperti yang menimpa nasib kaum
Palestina. Saya kadang prihatin melihatnya. Begitu banyak warga PKS misalnya,
yang perhatian terhadap nasib orang-orang Palestina. Nun jauh di Timur sana,
orang-orang kita berteriak-teriak terhadap ketidakadilan yang menimpa muslim,
bahkan sebagian warga Kristen ataupun Yahudi yang tinggal di bumi Palestina.
Tapi kita yang ‘dekat’ sekali dengan Palestina justru tidak berbuat apa-apa.
Jangankan mau bergabung dengan Hamas, saya pernah tanya kepada si Fulan, apakah
dia tidak balik saja ke Palestina dan gabung dengan Hamas. Ternyata jawabannya
“Ngapain aku harus gabung dengan Hamas? Si Yasir Arafat juga tidak becus!”
Jawabannya ringan. Astaghfurullah!
Kalau sudah demikian, apa yang bisa
diharapkan dari kita yang nyata-nyata orang luar? “Kasihan para pejuang
Palestina...!” Begitu gumam saya terhadap diri sendiri.
Islam memang
datang dari tanah Arab. Tapi jangan sangka bahwa Palestina yang didalamnya ada
Masjidil Aqsa lantas dihuni oleh orang-orang yang akrab dengan sholat dan lautan
jilbab. Seperti halnya di negeri kita, orang Palestina pun, ditengah derita yang
berkepanjangan ini tidak secara otomatis membuat mereka lantas ber-tirakat,
mengikat kuat persaudaraan sesama umat. Itulah dilemanya.
Saya tidak
bermaksud mendiagnosa. Sebelas tahun di negeri Arab, hanya sekali saya melihat,
katakanlah semacam demonstrasi tanpa yel-yel yang aman, di Sharjah yang
dikoordinasi oleh mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri sana. Tapi mereka
mewakili beberapa negara. Tidak didominasi oleh orang Palestina.
The Gulf
News pagi ini juga mengungkap ceritera lainnya. Tahu nggak dari mana semen yang
digunakana untuk membangun tembok panjang pemisah Israel-Palestina di West Bank?
Menurut Abdel Kader Yassin, seorang peneliti asal Palestina yang tinggal di
Cairo-Mesir, kepada harian tersebut, mulanya Israel meminta perusahaan semen di
Mesir untuk menjual semenya ke Israel. Nampaknya perusahaan semen Mesir menolak.
Cerdiknya Israel, kata harian tertanggal 28 Maret 2004 itu, kemudian mencari
seorang mediator Palestina guna meng-cover seluruh operasi jual beli itu.
Caranya? Seseorang dari Partai Likud telah berusaha untuk meyakinkan Gamil Al
Torify, Menteri Pekerjaan Umum Palestina, untuk mengimpor semen dari Mesir
seolah-oleh untuk kebutuhan pembangunan di Palestina. Padahal guna pembangunan
tembok Zionis itu!
Dari uraian tersebut diatas, makanya jangan kaget bila
antek-antek Sharon sampai tahu dimana Sheikh Ahmad Yassin tinggal, masjid mana
beliau biasa sholat, dan kapan waktunya. Barangkali karena didalam negeri
Palestina sendiri sudah terlalu banyak mata-mata. Orang Palestina kah atau
Israel mereka? Apakah Mesir yang cerdik, Israel yang licik, atau Palestina
sendiri yang pelik? Wallahu’alam!
Satu hal lagi yang mengagetkan saya
ketika membaca Majalah Rohani Populer (Kristen), BAHANA, edisi XXXXV, Februari
2004. Majalah tersebut menulis satu berita menarik tentang usaha mengkristenkan
Presiden Palestina Yasser Arafat (lihat: www.bahana-magazine.com). Diceritakan,
seorang Pengajar Injil bernama R.T. Kendall, bertemu untuk kedua kalinya dengan
Yasser Arafat di kediamannya di Ramallah. "Ra’is (sebutan presiden dalam bahasa
Arab),” kata Kendall, “Saya ingin mengatakan sesuatu untuk direnungkan. Ada yang
mengatakan pada saya bahwa Yesus Kristus sangat berkesan bagi Anda." Arafat
segera menjawab, "Oh ya, sangat, sangat penting." Dan
seterusnya.....
Terlepas dari kebenaran berita tersebut, isinya bikin
saya jadi heran. Koq bisa-bisanya, ditengah-tengah repotnya mengurusi bangsa
yang lagi dilanda peperangan dan keprihatinan, sang Presiden bisa menerima tamu
yang misinya, astaghfirullah, kristenisasi?
Tapi itulah! Perjuangan
rakyat Palestina nampaknya tidak sesingkat yang kita duga dan bayangkan. Ada
banyak tugas-tugas berat yang diemban oleh mereka, rakyatnya. Sementara saya,
kita? Kayaknya harus ‘puas’ hanya jadi penonton saja. Layaknya filmnya si Dono,
‘mundur kena, maju kena’. Tidak membela kaum Palestina ini tidak pantas karena
kita sesama muslim. Tapi mau ikut ‘berjuang’, nyatanya sebagian dari mereka
malah bekerja sama ‘membangun’ dinding pemisah Israel-Palestina. Bahkan,
Presiden Yasser Arafat sendiri meminta rakyat Palestina untuk ‘menahan diri’
sesudah terbunuhnya Sheikh Ahmad Yassin.
Mungkin himbauan Yasser Arafat
ada benarnya. Tapi bagaimana cara menahan diri sekiranya orangtuanya si bocah
kecil Khaled diatas adalah anda?
Syaifoel
Hardy
shardy@emirates.net.ae
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar