Ketika Al-Musthafa berada dihadapan
Ku pandangi pesonanya dari ujung kaki
hingga kepala,
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!(Abu
Bakar ra)
Nabi demam kembali, kini panasnya semakin tinggi. Lemah ia
berbaring, menghadapkan wajah pada Fatimah anak kesayangan. Sudah beberapa hari
terakhir, kesehatannya tidak lagi menawan. Senin itu, kediaman manusia paripurna
didatangi seorang berkebangsaan Arab dengan wajah rupawan. Di depan pintu, ia
mengucapkan salam "Assalamu’alaikum duhai para keluarga Nabi dan sumber
kerasulan, bolehkah saya menjumpai kekasih Allah?". Fatimah yang sedang
mengurusi ayahnya, tegak dan berdiri di belakang pintu "Wahai Abdullah,
Rasulullah sedang sibuk dengan dirinya sendiri". Fatimah berharap tamu itu
mengerti dan pergi, namun suara asing semula kembali mengucapkan salam yang
pertama.
"Alaikumussalam, hai hamba Allah" kali ini Nabi yang
menjawabnya.
"Anakku sayang, tahukah engkau siapakah yang kini sedang
berada di luar?"
"Tidak tahu ayah, bulu kudukku meremang mendengar
suaranya"
"Sayang, dengarkan baik-baik, di luar itu adalah dia, pemusnah
kesenangan dunia, pemutus nafas di raga dan penambah ramai para ahli kubur".
Jawaban nabi terakhir membuat fatimah jatuh terduduk. Fatimah menangis seperti
anak kecil.
"Ayah, kapan lagi aku akan mendengar dirimu bertutur, harus
bagaimana aku menuntaskan kerinduan kasih sayang engkau, tak akan lagi ku
memandang wajah kesayangan ayahanda" pedih Fatimah. Nabi tersenyum, lirih ia
memanggil " Sayang, mendekatlah, kemarikan pendengaranmu sebentar". Fatimah
menurut, dan Kekasih Allah itu berbisik mesra di telinga anaknya, "Engkau adalah
keluargaku yang pertama kali menyusul sebentar kemudian". Seketika wajah fatimah
tidak lagi pasi tapi bersinar.
Lalu kemudian, Fatimah mempersilahkan
tamu itu masuk. Malaikat pencabut maut berparas jelita itu pun kini berada di
samping Muhammad.
"Assalamu’alaikum ya utusan Allah" dengan takzim
malaikat memberi salam.
"Salam sejahtera juga untukmu pelaksana perintah
Allah, apakah tugasmu saat ini, berziarah ataukah mencabut nyawa si lemah?"
tanya nabi. Angin berhembus dingin.
"Aku datang untuk keduanya,
berziarah dan mencabut nyawamu, itupun setelah engkau perkenankan, jika tidak
Allah memerintahkanku untuk kembali"
"Di manakah engkau tinggalkan
Jibril? Duhai izrail?"
"Ia ku tinggal di atas langit dunia".
Tak
lama kemudian, Jibril pun datang dan memberikan salam kepada seseorang yang juga
dicintanya karena Allah.
"Ya Jibril, gembirakanlah aku saat ini" pinta
Al-Musthafa.
Terdengar Jibril bersuara pelan di dekat telinga manusia
pilihan, "Sesungguhnya pintu langit telah di buka, dan para Malaikat tengah
berbaris menunggu sebuah kedatangan, bahkan pintu-pintu surga juga telah di
lapangkan hingga terlihat para bidadari yang telah berhias menyongsong kehadiran
yang paling ditunggu-tunggu".
"Alhamdulillah, betapa Allah maha
penyayang" sendu Nabi, wajahnya masih saja pucat pasi.
"Dan Jibril,
masukkan kesenangan dalam hati ini, bagaimana keadaan ummatku nanti".
"Aku beri engkau sebuah kabar akbar, Allah telah berfirman,
"Sesungguhnya Aku, telah mengharamkan surga bagi semua Nabi, sebelum engkau
memasukinya pertama kali, dan Allah mengharamkan pula sekalian umat manusia
sebelum pengikutmu yang terlebih dahulu memasukinya" Jawaban Jibril itu begitu
berpengaruh. Maha suci Allah, wajah Nabi dilingkupi denyar cahaya. Nabi
tersenyum gembira. Betapa ia seperti tidak sakit lagi. Dan ia pun menyuruh
malaikat izrail mendekat dan menjalankan amanah Allah.
Izrail, melakukan
tugasnya. Perlahan anggota tubuh pembawa cahaya kepada dunia satu persatu tidak
bergerak lagi. Nafas manusia pembawa berita gembira itu semakin terhembus
jarang. Pandangan manusia pemberi peringatan itu kian meredup sunyi. Hingga
ketika ruhnya telah berada di pusat dan dalam genggaman Izrail, nabi sempat
bertutur, "Alangkah beratnya penderitaan maut". Jibril berpaling tak sanggup
memandangi sosok yang selalu ia dampingi di segala situasi.
"Apakah
engkau membenciku Jibril"
"Siapakah yang sampai hati melihatmu dalam
keadaan sekarat ini, duhai cinta," jawabnya sendu.
Sebelum segala
tentang manusia terindah ini menjadi kenangan, dari bibir manis itu terdengar
panggilan perlahan "Ummatku… Ummatku….". Dan ia pun dengan sempurna kembali.
Nabi Muhammad Saw, pergi dengan tersenyum, pada hari senin 12 Rabi'ul Awal,
ketika matahari telah tergelincir, dalam usia 63 tahun.
Muhammad, Nabi
yang Ummi, Kekasih para sahabat di masanya dan di sepanjang usia semesta,
meninggalkan gemilang cahaya kepada dunia. Muhammad, pemberi peringatan kepada
semua manusia, menorehkan dalam-dalam tinta keikhlasan di lembaran sejarah.
Muhammad, yang bersumpah dengan banyak panorama indah alam: "demi siang bila
datang dengan benderang cahaya, demi malam ketika telah mengembang, demi
matahari sepenggalah naik", telah membumbungkan Islam kepada cakrawala megah di
angkasa sana. Ia, Muhammad, menembus setiap gendang telinga sahabatnya dengan
banyak kuntum-kuntum sabda pengarah dalam menjalani kehidupan. Ia, Muhammad,
yang di sanjung semua malaikat di setiap tingkatan langit, berbicara tentang
surga, sebagai tebusan utama, bagi setiap amalan yang dikerjakan. Ia, Muhammad
yang selalu menyayangi fakir miskin dan anak yatim, menggelorakan perintah untuk
senantiasa memperhatikan manusia lain yang berkekurangan. Dan Ia, Muhammad, tak
akan pernah kembali lagi.
Sungguh, Madinah berubah kelabu. Banyak
manusia terlunta di sana.
Dan Aisyah ra, yang pangkuannya menjadi tempat
singgah kepala Rasulullah di saat terakhir kehidupannya, menyenandungkan syair
kenangan untuk sang penerang, suaranya bening. Syahdunya membumbung ke jauh
angkasa. Beginilah Aisyah menyanjung sang Nabi yang telah pergi:
Wahai
manusia yang tidak sekalipun mengenakan sutera,
Yang tidak pernah sejeda pun
membaringkan raga pada empuknya tilam
Wahai kekasih yang kini telah
meninggalkan dunia,
Ku tau perut mu tak pernah kenyang dengan pulut lembut
roti gandum
Duhai, yang lebih memilih tikar sebagai alas pembaringan
Duhai, yang tidak pernah terlelap sepanjang malam karena takut sentuhan
neraka Sa’ir
Dan Umar r.a yang paling dekat dengan musuh di setiap medan
jihad itu, kini menghunus pedang. Pedang itu menurutnya diperuntukkan untuk
setiap mulut yang berani menyebut kekasih kesayangannya telah kembali kepada
Allah. Umar tatap wajah-wajah para sahabat itu setajam mata pedangnya,
meyakinkan mereka bahwa Umar sungguh-sungguh. Umar terguncang. Umar bersumpah.
Umar berteriak lantang. Umar menjadi sedemikian garang. Ia berdiri di hadapan
para sahabat yang terlunta-lunta menunggu kabar manusia yang dicinta.
Dan Abu Bakar, sahabat yang paling lembut hatinya, melangkah pelan
menuju jasad manusia mulia. Langkahnya berjinjit, khawatir kan mengganggu
seseorang yang tidur berkekalan, pandangannya lurus pada sesosok cinta yang
dikasihinya sejak pertama berjumpa. Raga berparas rembulan itu kini bertutup
kain selubung. Abu bakar hampir pingsan. Nafasnya berhenti berhembus, tertahan.
Sekuat tenaga, ia bersimpuh di depan jasad wangi al-Musthafa. Ingin sekali
membuka penutup wajah yang disayangi arakan awan, disanjung hembusan angin dan
dielu-elukan kerlip gemintang, namun tangannya selalu saja gemetar. Lama Abu
bakar termenung di depan jenazah pembawa berkah. Akhirnya, demi keyakinannya
kepada Allah, demi matahari yang masih akan terbit, demi mendengar rintihan
pedih ummat di luar, Abu bakar mengais sisa-sisa keberanian. Jemarinya perlahan
mendekati penutup tubuh suci Rasulullah, dan dijumpailah, wajah yang tak pernah
menjemukan itu. Abu bakar memesrai Nabi dengan mengecup kening indahnya. Hampir
tak terdengar ia berucap, "Demi ayah dan bunda, indah nian hidupmu, dan indah
pula kematianmu. Kekasih, engkau memang telah pergi". Abu bakar menunduk. Abu
Bakar mematung. Abu Bakar berdoa di depan tubuh nabi yang telah sunyi.
Dan Bilal bin Rabah, yang suaranya selalu memenuhi udara Madinah dengan
lantunan adzan itu, tak lagi mampu berseru di ketinggian menara mesjid. Suaranya
selalu hilang pada saat akan menyebut nama kekasih ‘Muhammad’. Di dekat angkasa,
seruannya berubah pekik tangisan. Tak jauh dari langit, suaranya menjelma isak
pedih yang tak henti. Setiap berdiri kukuh untuk mengumandangkan adzan, bayangan
Purnama Madinah selalu saja jelas tergambar. Tiap ingin menyeru manusia untuk
menjumpai Allah, lidahnya hanya mampu berucap lembut, "Aku mencintaimu duhai
Muhammad, aku merindukanmu kekasih". Bilal, budak hitam yang kerap di sanjung
Nabi karena suara merdunya, kini hanya mampu mengenang Sang kekasih sambil
menatap bola raksasa pergi di kaki langit.
Dan, terlalu banyak cinta
yang menderas di setiap jengkal lembah madinah. Yang tak pernah bisa
diungkapkan. Semesta menangis.
***
Sahabat, Sang penerang telah
pergi menemui yang Maha tinggi. Purnama Madinah telah kembali, menjumpai kekasih
yang merindui. Dan semesta, kehilangan pelita terindahnya. Saya mengenangmu ya
Rasulullah, meski hanya dengan setitik tinta pena. Saya mengingatimu duhai
pembawa cahaya dunia, meski hanya dengan selaksa kata. Dan saya meminjam untaian
indah peredam gemuruh dada, yang dilafadzkan Hasan Bin Tsabit, salah seorang
sahabat penyair dari masa mu:
Engkau adalah ke dua biji mata ini
Dengan kepergianmu yang anggun,
Aku seketika menjelma menjadi seorang
buta
Yang tak perkasa lagi melihat cahaya
Siapapun yang ingin mati
mengikutimu
Biarlah ia pergi menemui ajalnya,
Dan Aku,
Hanya risau
dan haru dengan kepergian terindah mu
Sahabat, kenanglah Nabi Muhammad
Saw, meski dalam kelengangan yang sempurna, agar hal ini menjadi obat ajaib,
penawar dan penyembuh kegersangan hati yang kerap berkunjung. Agar, di akhirat
kelak, dengan agung Nabi memanggil semua manusia yang senantiasa merindukan dan
mencintainya. Adakah yang paling mempesona dihadapanmu, ketika suara suci Nabi
menyapamu anggun, menjumpaimu dengan paras yang tak pernah kau mampu bayangkan
sebelumnya. Adakah yang paling membahagiakan di kedalaman hatimu, ketika sesosok
yang paling kau cinta sepenuh jiwa dan raga, berada nyata di dekatmu dan
menemuimu dengan senyuman yang paling manis menembusi relung kalbu. Dan adakah
di dunia ini yang paling menerbangkan perasaanmu ke angkasa, ketika jemari
terkasih menggapaimu untuk memberikan naungan perlindungan dari siksa pedih azab
neraka. Adakah sahabat???
Jika saat ini ada yang bening di kedua sudut
kelopak matamu, berbahagialah, karena mudah-mudahan ini sebuah pertanda.
Pertanda cinta tak bermuara. Dan, ketika kau tak dapati air mata saat ini, kau
sungguh mampu menyimpan cinta itu di dasar hatimu.
Salam saya, untuk
semua sahabat. Mari bersama bergenggaman, saling mengingatkan, saling memberikan
keindahan ukhuwah yang telah Rasulullah tercinta ajarkan. Mari
Sahabat!
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar