Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di
hadapannya. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu
saja saat kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi
diri kita. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana
rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu
untuk menunggu yang terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka
lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan
pengorbanan yang tak rela dipecahkan…
Merasakan cinta seperti merasakan
hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyirami diri.
Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai
karena kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali,
menghangati ujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan
dia pasti setia.
Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi
hidup itu adalah hamba dari Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan
matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau
pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena
ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi,
karenanya ia bisa pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau
tidak, kita hanya bisa terima. Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa
tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau
lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan
ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang
bisa dikenai. Sekarang coba dulu lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada
yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.
Maka ketika
kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari, kita bisa
apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan kepahitan
yang kita ciptakan sendiri.
Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita
melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang
abadi di dunia ini. Mengapa?
Allah menciptakan cinta di antara manusia.
Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai,
bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu sok, merasa paling mencintai, merasa
paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma
dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Mungkin tak
cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Hanya cinta yang begitukah yang
kita inginkan?
Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah,
yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur,
dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh.
Masa’? Itu karena kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha
mendekati-Nya. Allah menjadi asing karena kita memposisikan Allah sebagai
sesuatu yang berada di langit yang tinggi dan tak mungkinlah kita mencapainya.
Jangankan mencintai, membayangkan untuk mendekatinya saja tak mungkin.
Tahukah kamu, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat ‘kan? Kita?
Manusia yang hina dina yang berasal dari setetes sperma yang hina? Ditawarkan
cinta dari pembuat cinta? Cck… ckk… Apa nggak salah, nih? Kemudian kita malah
menolak dan menjauh? Wah… wah… betapa bodohnya ...
Kalau cinta seperti
itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang membawa pada
kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh
tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah… cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah
menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan
memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan di manapun
kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.
Apakah kita
tak berniat membalas ketulusan cinta itu?
al
Birru
emine_mm@maktoob.com
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar