"Eee... itu kan cucuku? Waduh sudah besar, mana cantik lagi!" seru seorang nenek
bangga campur terkejut, melihat sang Cucu tampil modis di layar kaca. Perempuan
yang disanjung si nenek berdandan ala wanita karir metropolitan. Stelan rok
dengan atasan model jas. Saking sukacitanya, si nenek spontan memanggil semua
penghuni rumah untuk menyaksikan buah hatinya yang nampak "matang"
penampilannya.
Paparan kisah di atas, merupakan potongan iklan sebuah
bank yang mungkin cukup sering kita saksikan di layar televisi. Tayangan iklan
itu menyajikan luapan ekspresi cinta seorang nenek demi menyaksikan cucunya
telah menjadi "orang". Karena itu untuk bisa mengantarkan buah cinta kita bisa
jadi "orang", pesan itu selanjutnya, tanamkanlah uang kita di bank.
Kita, insya Allah, sama faham apa yang dimaksud "menjadi orang". Seperti
tayangan potongan iklan di atas, "menjadi orang" selalu berkonotasi pada
kesuksesan dunia. Dengan kata lain, jangan buru-buru mengklaim diri telah
berhasil alias "jadi orang" kalau belum mampu meraih "3 Ta" paling tidak. Tahta,
Wanita, dan Toyota.
Terus terang, bagi kita yang hidup di era kiwari,
idiom ini terkesan membawa beban amat berat. Bayangkan, untuk bisa jadi "orang",
kita kudu bisa meraih segepok keberhasilan. Entah itu harus berhasil meraih
jabatan atau kekuasaan. Entah berhasil dalam suatu profesi.
Pendek kata
yang dimaksud "jadi orang" tak lain tak bukan, sukses meraih materi. Tak heran,
promosi bank-bank yang amat bombastis juga menjual janji: "Anda ingin sukses,
raihlah hadiah bernilai milyaran rupiah dari kami." Sekolah-sekolah,
kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga kursus pun mempromosikan diri dengan
janji-janji muluk "sukses masa depan".
Mahal memang harga sebuah sukses,
harga untuk menjadi "orang". Boleh jadi premis yang cukup kuat mengkooptasi
pikiran masyarakat kita ini, menyebabkan banyak anak muda yang ngeper duluan
untuk melamar seorang gadis. Apalagi bila si gadis telah lebih dulu meraih
sukses. Celakanya, tak sedikit orangtua juga mematok harga tinggi untuk
anak-anak gadisnya, lantaran termakan premis itu.
Eksesnya? Tentu ada.
Mereka akhirnya lebih senang berfantasi jadi orang "sukses" dan berkhayal telah
hidup berdua dengan pasangannya. Dicarilah saluran-saluran untuk fantasinya yang
liar itu. Dan celakanya, saluran untuk pelampiasan fantasi liarnya begitu banyak
bertebaran. Ada VCD esek-esek. Ada situs-situs cabul yang bisa dinikmati dengan
murah di warnet-warnet. Ada film-film tivi maupun tabloid yang menjual syahwat.
Atau apa saja yang bisa melampiaskan fantasi seksualnya.
Ekses lainnya,
mungkin saja untuk bisa meraih sukses dengan mudah, banyak orang yang menempuh
jalan pintas. Sangat boleh jadi, kasus-kasus korupsi yang kian marak, akibat
banyak manusia dilanda penyakit "harta maniac".
Kita tentu bukan ingin
menafikan bahwa manusia pasti cinta pada harta, wanita, dan kekuasaan. Itu hal
yang fitri, sebagaimana Alquran juga mengisyaratkan. "Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah)" (QS 3:14).
Cinta kepada lawan jenis, keturunan, harta, perhiasan, kendaraan, atau
tabungan uang untuk persiapan masa depan anak, tidak pernah dilarang oleh Islam.
Selama cinta kepada semua itu, tidak mengalihkan kewajiban manusia untuk
beribadah dan taat kepada Allah swt.
Mencintai anak adalah wajib. Karena
ia merupakan amanah Allah yang mesti dijaga. Penjagaan di sini tentunya
memelihara anak dari hal-hal yang akan menjatuhkannya pada murka Allah. Dengan
begitu, cinta kepada anak sesungguhnya menuntut orangtua berupaya keras
memelihara dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang taat kepadaNya hingga
akhir hayat. Dan itulah sesungguhnya yang dikehendaki Allah terhadap amanah
(anak) yang dipercayakan pada setiap orangtua.
Tentang tanggungjawab
menjaga anak, Allah mengabadikan kisah keluarga Luqman di dalam Alquran, agar
bisa menjadi pedoman bagi tiap keluarga Muslim. "(Luqman berkata): "Hai anakku,
sesungguhnya jika ada (sesuatu) perbuatan seberat atom, dan berada dalam batu
atau di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku
tegakkanlah salat dan perintahkanlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlan (mereka) dari perbuatan yang mungkar. Bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan
sederhanakanlah kamu dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS 31:16-19)
Begitu sarat
pesan Luqman pada anaknya, agar kelak anaknya menjadi "orang". Cobalah kita
simak kandungan ayat di atas, adakah pesan itu mengarahkan anak agar kelak
menjadi orang yang getol mengejar materi?
Kita yakin, Luqman bukan sosok
sembarangan hingga Allah perlu mengukir kisah pengajaran Luqman kepada anaknya
di dalam Al quran suci. Ia (Luqman) sesungguhnya tipikal ayah yang amat sangat
mencintai anaknya. Karena itu Luqman mengarahkan anaknya untuk tetap istiqomah
berada pada garis titahNya.Lantaran ia faham betul, sukses dunia tak ada artinya
sama sekali bila hal itu akan mendatangkan murka Allah. Sukses di dunia tapi
sengsara selamanya di akhirat, bukanlah pola pengajaran yang diterapkan Luqman
pada keluarganya. Itulah cinta hakiki yang telah dipersembahkan Luqman pada
isteri dan keturunannya.
Adakah kita pernah memahami makna cinta
sesungguhnya kepada anak? Adakah kita pernah terobsesi untuk bisa mengikuti
jejak pelajaran keluarga Luqman? Kitalah yang bisa menjawabnya dengan jujur.
Terus terang, kini tak sedikit orang terobsesi untuk menjadi "orang"
alias sukses. Pikiran-pikiran itupun diparalelkan pada keturunan. Bayangan
ketakutan bila anak tak bisa berhasil jadi orang, boleh jadi menyebabkan banyak
orangtua yang rela mengeluarkan dana besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Jangan heran bila sekolah-sekolah plus yang konon menjanjikan masa depan ceria,
full diantri orangtua saban tahun.
Bahkan bukan hanya itu, untuk
melengkapi modal masa depan, anak jika perlu diikutkan segala kursus. Entah
kursus piano, kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus tari, senam, les
privat, dan entah apa lagi. Walaupun biayanya besar, sebisa-bisanya diusahakan.
Sehingga ada kisah ironis. Sebuah keluarga Muslim di komplek perumahan A
(sebut saja begitu), untuk mengkursuskan komputer dan les privat matematik
anaknya, walau bayar Rp 100.000 per bulan enggak masalah. Tapi si ibu pernah
ngomel-ngomel lantaran iuran infaq TPA anaknya dinaikkan oleh pihak TPA menjadi
Rp 10.000. "Uuu mahal betul sih!" serunya ketus.
Wajar saja barangkali,
banyak TPA yang gulung tikar, atau minimal hidupnya kembang-kempis. Lantaran
sarana yang digunakan untuk belajar anak-anak apa adanya. Bayaran buat para
pengajarnya pun pas-pasan. Akhirnya saya baru sadar, Kepala Sekolah TPA dekat
rumah saya pernah mengeluh, lantaran banyak santri-santrinya yang nunggak
bayaran sampai 2-3 bulan. Astaghfirullah!
Cinta kepada anak harus. Tapi
cinta kepada Allah tentu lebih dari sekedar harus. Ia merupakan kewajiban. Cinta
kepada anak, pada hakikatnya merupakan aktualisasi cinta kita kepada Allah.
Artinya? Anak itu harus kita pelihara sungguh-sungguh agar betul-betul menjadi
orang sebagaimana yang dikehendaki Penciptanya. Agar Allah cinta kepadanya, dan
diapun mencintai Allah.
Betapa sedih bila kita mendengar kisah-kisah
orangtua yang gembar-gembor bahwa mereka sangat mencintai anak-anak mereka. Tapi
pada kenyataannya mereka tidak pernah mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi
insan yang dicintai Allah. Bahkan tak sedikit orang tua yang malah terobsesi
kelak dapat menyaksikan anak-anak mereka menjadi orang terkenal. Bisa menjadi
artis, menjadi pramugari, atau entah menjadi apa saja dalam dunia selebritis.
Astagfirullah! Mudah-mudahan kita tidak terjebak pada dunia glamour yang penuh
tipuan mematikan itu.
Karena itu sadarilah, cinta sejati selalu saja
akan direcoki oleh cinta palsu. (sultoni)
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar