Cintamu Abadi, Wahai Khubaib!
Oleh cinta,sang pribadi kian abadi.
Lebih
hidup, lebih menyala, lebih berkilau.
(Sir. M Iqbal)
Apa kabar
sahabat ? Tidakkah Allah masih menumbuhkan kuku-kuku jarimu hingga tanganmu
perkasa melakukan banyak hal ? Pada jenak ini, indera pandanganmu masihkah mampu
membaca tulisan saya ini dengan baik ? Udara masih terjaga bukan untuk mengisi
penuh paru-parumu hingga kau bernafas dengan leluasa? Dan jantungmu masihkah
pula berdetak untuk mereguk sisa porsi waktu ? Jika demikian, saya pasti
mendapat jawaban “Alhamdulillah luar biasa” untuk pertanyaan
pertama.
Sahabat, pinjam waktumu sebentar. Bersiaplah untuk sejenak
mengalun bersama kisah seseorang. Insya Allah sebuah kisah cinta, yang
mudah-mudahan pesonanya membuat kita juga menjadi sepertinya. Menjadi seorang
pecinta.
Sahabat, hafalkan dengan baik nama yang mulia ini, meski untuk
itu, engkau harus pula bersusah payah. Bergegaslah mempersiapkan sebuah ruang
dalam benak, untuk mengingatnya. Hingga suatu saat, kau mampu menebar hikmahnya
kepada yang lain. Dan Insya Allah, hal ini adalah ekspresi cintamu, sama seperti
tokoh utama pada kisah berikut. Seorang pecinta.
***
Seorang
ksatria tengah tersenyum. Lembah Badar baru saja usai dari sebuah peperangan.
Pekikan semangat Allah Maha Besar tak lagi terdengar. Senjata saling beradu
sudah tak terjadi. Sebuah kemenangan baru saja tergenggam. Kaum kafir Quraisy
beranjak pulang tanpa kepala yang tegak. Mereka merunduk malu setelah meneguk
sebelanga pahit kekalahan. Tak pernah mereka kira jika manusia-manusia pencinta
Muhammad, lebih memilih darahnya tumpah dibanding melihat Al-Musthafa terkena
seujung kuku senjata. Untuk mereka, hari itu adalah kisah kelam yang amat sulit
terlupa.
Cinta kepada Nabi yang Mulia menyemerbak di Lembah Badar. Nafas
di raga bukanlah apa-apa dibandingkan keselamatan Al-Amin dan tegaknya Islam
yang agung. Seorang ksatria masih saja tersenyum. Hatinya berbunga, karena
Al-Harits bin ‘Amr bin Naufal meregang nyawa di ujung pedangnya. Ia sungguh
senang, bangsawan sekaligus pemimpin Quraisy pengganggu purnama Madinah itu,
kini mati. Hari itu ia adalah salah satu perindu surga. Hari itu ia adalah salah
seorang sahabat yang membuktikan kecintaannya kepada Rasulullah dengan turut
menjadi pasukan para pemberani. Hari itu, ia adalah seorang ksatria pembela
agama, yang kemudian cintanya abadi. Khubaib bin ‘Ady.
***
Suara
Rasulullah memenuhi udara. Mesjid hening mendengar tuturnya. Semua pandangan
berarah pada satu titik. Di sana, di atas mimbar, sesosok cinta tengah berdiri,
memandang syahdu mereka semua. Dari bibir manisnya terlantunkan sebuah
titah.
“Aku, baru saja didatangi, utusan dari kabilah ‘Udal dan Qarah.
Berita tentang Islam telah sampai kepada mereka. Mereka sungguh berharap
orang-orang yang akan membagi cahaya kebenaran, yang akan menghunjamkan bahwa
Allah adalah Esa, yang akan mengajarkan Islam. Akan ada dari kalian yang
terpilih untuk mengemban amanah itu”
Sesaat, Purnama Madinah menyapu
pandangannya ke setiap penjuru. Para sahabat, tiba-tiba saja membusungkan dada,
dan menegakkan kepala, seperti ingin dilihat Nabi. Setiap dari mereka berharap
bisa dipilih sebagai duta. Padahal, ada beberapa dari sahabat yang masih terluka
karena peperangan Badar. Melihatnya, Nabi tersenyum, bahagia berkelindan di
sepenuh kalbu. Selanjutnya Nabi menyebut nama-nama, sepuluh orang terpilih. Ada
satu nama di sana. Nama seorang ksatria. Khubaib bin
‘Ady.
***
Esoknya, dihantarkan do’a yang dialunkan, mereka
berperjalanan. Bersemangat mereka pergi. Sesungguhnya mereka tahu, perjalanan
itu tidaklah untuk bersenang. Mereka tahu, akan ada hal-hal yang tak terduga.
Orang-orang kafir dari kabilah yang mendiami lembah-lembah bisa kapanpun
menghadang dan membunuh mereka. Namun, kecintaan kepada Nabi yang Ummi, keimanan
yang bersemayam dalam dada, membuat mereka berpantang menyurutkan
langkah.
Benar saja.
Dari sejarah, kita tahu ketika mereka sampai
di daerah antara ‘Usfan dan Makkah, sebuah perkampungan dari suku Hudzail yang
dikenal dengan nama Banu Lihyan, para kafir mencium keberadaan mereka. Hampir
seratus penduduknya memburu para duta Rasulullah. Tujuannya tidak lain, membunuh
dan membuat para pengikut Rasulullah itu kembali kepada ajaran nenek moyang
Arab. Orang-orang dari suku Hudzail itu terus membuntuti mereka, beratus anak
panah disiapkan.
Sebuah ujian, Allah berikan kepada para pemberani,
didikan Rasulullah. Mereka ditemukan para penyembah berhala tengah berlindung di
sebuah bukit. Riuh rendah, gerombolan itu mengepung dan berteriak lantang
:
“Kami berjanji tidak akan membunuh kalian, jika kalian turun dan
menemui kami”.
“Kami tidak menerima perlindungan orang kafir “ seru
Ashim, yang diamanahi Rasulullah sebagai pemimpin para utusan.
Mendengar
itu, gerombolan itu menyerbu dan memanah mereka satu persatu. Para pencinta
Rasul dan agama itu roboh. Ada yang luput dari panah dan pembunuhan itu. Tahukah
kalian siapa dia? Ya.. dia adalah ksatria itu. Khubaib bin
‘Ady
***
Khubaib dibawa ke Makkah. Seperti mengikat unta, ia
diiringkan. Dan dengan harga yang mahal, Khubaib dijual sebagai budak, kepada
keluarga Al-Harits. Seluruh keluarga itu, bersuka cita, pembunuh kepala
keluarga, Al-Harits bin ‘Amr bin Naufal di peperangan Badar, kini berada nyata
di tengah mereka. Para wanita bersyair dan berpesta. Bara dendam semakin
berkobar. Darah harus dilunasi dengan darah. Ksatria pencinta Rasulullah itu
tetap bertenang.
Khubaib kemudian ditawan. Ia dirantai seperti binatang
peliharaan di halaman rumah Banu Harits. Mereka membiarkan Khubaib kedinginan di
malam-malam gulita. Mereka menyaksikan Khubaib di terik panas matahari. Mereka
tidak memberi Khubaib makan dan senang dengan haus yang Khubaib derita.
Suatu hari, seorang anak kecil merangkak menjumpai Khubaib. Khubaib
menyambutnya dengan senyum tulus, dibiarkannya anak kecil itu bermain-main di
paha lelahnya. Mereka bercengkrama dalam keakraban, hingga wanita dari keluarga
Harits berteriak penuh kekhawatiran. Tahukah apa yang diucapkan Khubaib
:
“Tenanglah duhai ummi, Rasulullah tidak pernah mengajarkan aku membunuh
seseorang yang tidak berdosa. Ia hanya ingin bermain-main.”
Si ibu segera
merengkuh si kecil, dan dengan penuh keheranan ia memandang setangkai besar
anggur yang berada di samping Khubaib. Makkah tidak sedang musim buah. Seluruh
keluarganya tak ada satupun yang rela memberi makanan. Sedang Khubaib di rantai
besi. Bagaimana mungkin buah ranum itu berada di sana. Masih dengan takjub, ia
berkata :
“Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik engkau duhai Khubaib.
Anggur yang berada di sampingmu adalah rezeki bertubi yang Allah turunkan
kepadamu.” Khubaib tersenyum.
***
Hari sudah sampai di
pertengahan. Terik matahari, debu-debu yang berterbang garang di antara jubah
indah yang dikenakan para pemuka Quraisy, hingga kilau pasir sahara yang panas
tak terkira, menemani Khubaib yang tengah mendirikan shalat dua rakaat panjang.
Ia masih ingin shalat sebenarnya, menjumpai zat yang dicinta sepenuh jiwa,
Allah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy yang menyemut memperhatikannya “
Demi Allah, jika bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati,
niscaya aku menambah shalatku”. Yah, mereka memutuskan hari itu, Khubaib harus
pergi selama-lamanya.
Beberapa dari orang Quraisy kini tengah bersiap
dengan pelepah kurma yang mereka jelmakan serupa kayu salib raksasa. Tubuh
Khubaib kemudian diikat kukuh disana. Khubaib mengatupkan kelopak mata,
mengheningkan semua rasa yang meruah tumpah. Sesaat ia seperti terbang ke jauh
angkasa. Salib pelepah terpancang sudah. Khubaib membuka mata, hamparan sahara
terlihat mempesona. Di bawah sana berpuluh pasang mata menatapnya lekat. Khubaib
memandang tangan mereka, beratus runcing anak panah tergenggam, beratus senjata
tajam terkepal.
Di ketinggian, dengan sepenuh kalbu, Khubaib mengalunkan
syair indah, mengenang cinta manusia terpilih yang mengirimnya untuk sebuah
amanah indah. Merengkuh kembali ingatan atas sabda dari bibir manis Rasul mulia,
syahid di jalan Allah akan menghantar setiap jiwa bertamasya di surga. Tiba-tiba
saja Khubaib merindukan Al-musthafa. Tiba-tiba saja, ia menginginkan kembali
saat-saat ia terpesona dengan wajah rembulah Rasulullah. Betapa ingin ia
menjumpai manusia sempurna itu untuk menuntaskan utuh kerinduannya. Angin sahara
menghantar suara Khubaib, membuat langit bersuka atas setiap untaian katanya
:
Mati bagiku tak menjadi masalah.
Asalkan ada dalam ridha dan rahmat
Allah.
Dengan jalan apapun kematian itu terjadi.
Asalkan kerinduan kepada
Nya terpenuhi.
Ku berserah kepada Nya.
Sesuai dengan takdir dan kehendak
Nya.
Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah.
Pada setiap sobekan
daging dan nanah
Ucapan Khubaib terhenti. Beratus anak panah menghunjam
tubuhnya. Pepasir Jan’im tersaput darah yang tumpah. Tubuh Khubaib perih. Tubuh
Khubaib terkoyak. Luka menganga dimana-mana, namun jiwanya merasakan ketenangan
yang tak pernah diresapi sebelumnya. Suara lesat anak panah terdengar riuh.
Tenaga Khubaib melemah, dengan pandangan yang kian samar, ia menengadah. Ia tak
perkasa bertutur lagi. Hingga doa yang ia pinta, hanya terdengar lirih di
lengang udara :
Allahu Rabbi, ku telah menunaikan tugas dari Rasul
Mu,
Maka mohon disampaikan pula kepadanya,
Tindakan orang-orang ini
terhadap kami.
Sesaat kemudian tubuh Khubaib sunyi, sesenyap lembah yang
ditinggalkan para kuffar setelah puas melihat nyawanya terhembus dari raga.
Angkasa berdengung menyambut ruh ksatria perindu surga. Khubaib kembali, menuju
Allah yang Maha Tinggi.
Tak seberapa lama, burung-burung bangkai memutari
tubuh Khubaib yang masih mengucurkan darah. Berombongan mereka terbang datang
dari kejauhan. Namun, Allah mencintai mu wahai Khubaib. Dengan cinta yang paling
berkilau menyala. Dengan rahmat Nya, tak satupun burung pelahap bangkai dan
nanah itu menyentuh tubuhmu yang dipenuhi panah. Satu persatu burung bangkai
menghambur pergi, mengepak sayap terbang teramat jauh. Tubuhmu semerbak wahai
Khubaib, hingga mereka malu dan tak mampu menyentuh meski hanya setipis
kulit.
Allah mengabadikan cinta Khubaib. Doa Khubaib sebelum syahid
dikabulkan. Kerinduan Khubaib saat akan dibunuh, sampai juga kepada Rasulullah
di Madinah. Rasulullah merasakan sesuatu yang tak biasanya, sambil tertunduk ia
terkenang seseorang yang tak diketahuinya. Ia memohon petunjuk Allah, dan
tergambarlah sesosok tubuh yang melayang-layang di udara. Segera saja Nabi
mengutus Miqdad bin ‘Amn dan Zubair bin Awwam untuk mencari tahu. Sebelum
keduanya pergi, suara Al-Amin terdengar syahdu dan penuh rindu “Paculah kuda
kalian seperti kilat, aku sungguh mengkhawatirkannya”.
Allah mengarahkan
dan memudahkan perjalanan kedua sahabat. Mereka takjub melihat tubuh Khubaib
yang masih utuh. Dalam hening, mereka menurunkan tubuh yang semerbaknya tidak
hilang. Bumi menyambut Khubaib, akhirnya setelah sekian lama menunggu, bumi
mendapat kehormatan untuk merengkuh dan memeluk Khubaib sepenuh
cinta.
Kisah Khubaib berakhir di sana, namun di hati para perindu surga,
Khubaib tetaplah hidup, menggelorakan cinta yang tiada pernah berakhir. Cinta
yang abadi.
***
Sahabat, kadang saya senang berandai-andai. Andai
Purnama Madinah itu bisa saya temui sekarang, andai Al-Musthafa itu mampu saya
hubungi melalui telepon, andai manusia berparas rembulan itu bisa saya kirimi
pesan singkat sms. Satu hal yang ingin saya sampaikan kepadanya, “Meski tidak
sekemilau cintanya Khubaib, meski tidak sebenderang cinta Khubaib, tidak
seberdenyar cinta Khubaib, tidak seabadi cinta Khubaib, perkenankanlah saya
mencintaimu wahai kekasih yang ummi, dengan sebentuk cinta yang sederhana,
dengan cinta yang tertatih ringkih, dengan cinta yang lahir dari hati yang
kadang ujudnya buruk rupa”.
mahabbah12@yahoo.com
***
Disarikan
dari :
1. Sejarah Hidup Muhammad, Haekal.
2. Sirah Nabawiyah,
Dr.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy.
3. Para Sahabat yang akrab dengan
kehidupan Rasul, Khalid Muhammad Khalid.
* Untuk sesosok ukhti di Pondok
Pelangi, syukran atas banyak cintanya.
sumber :
eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar