Sabtu, 06 Februari 2016

Harga Sebuah Kebutuhan

'Air menjadi barang mahal saat ini'. Begitu sub judul salah satu berita di Republika terbitan Senin, 25 Agustus 2003 lalu. Kekeringan yang melanda berbagai wilayah di tanah air telah menjadikan air sebagai barang yang sangat mahal harganya, yang demi mendapatkannya, warga rela melakukan apa saja, termasuk bertengkar dengan sesama warga gara-gara rebutan air.

Saya jadi ingat dengan pertanyaan yang diajukan dosen Manajemen Proyek saya pada pertemuan lalu. Pertanyaannya sederhana saja dan sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa kalau kita menjahitkan baju dan kemudian kita minta baju itu jadi 2x lebih cepat daripada waktu semula yang disanggupi si penjahit, kita juga harus membayar sampai 2x lebih mahal? Kinerja, servis, prioritas dan jawaban-jawaban lain dari mahasiswa tak memuaskan Pak Dosen. "Ya sudah, pertanyaan ini jadi PR kalian untuk minggu depan" kata Pak Dosen menutup kuliahnya hari itu.

Sekarang, sepertinya saya tahu jawabannya. Kebutuhan akan air yang mendesaklah yang menjadikan harga air menjadi mahal. Begitu pula kasus penjahit tadi. Kebutuhan pelanggan akan pakaian yang mendesak (misalnya karena akan dipakai ke pesta) yang membuat ongkos jahit itu lebih mahal dari harga normal.

Saya pernah baca di Koran Tempo edisi 16 Agustus 2003 lalu. Seorang pria bernama Syamsul Arifin bahkan rela menukar kebebasannya demi sepiring nasi. Syamsul sebenarnya adalah seorang gelandangan pengelap kaca mobil di perempatan sebuah jalan di Jakarta. Agar dipenjara, Syamsul mengaku sebagai sopir Asmar Latin Sani, tersangka pelaku pemboman hotel Marriot dan kemudian setelah dilakukan serangkaian tes psikologi ternyata pengakuan Syamsul ini bohong belaka. Syamsul menganggap bahwa jika ia dipenjara, pemenuhan kebutuhan pokoknya(baca:makan dan minum) akan jauh lebih terjamin ketimbang saat dia menggelandang di jalan. Saking mendesaknya kebutuhan itu, bahkan sepiring nasi dan segelas air pun menjadi jauh lebih mahal daripada harga sebuah kebebasan.

Lain lagi Haryanto, anak kelas 6 SD di Garut ini bahkan rela mengorbankan hidupnya demi sebuah sebab yang mungkin sangat sepele bagi kita. Orangtuanya tak mampu membelikan alat peraga ketrampilan seharga 2500 rupiah. Ia malu dan mencoba mengakhiri masalahnya dengan gantung diri. Haryanto selamat, tapi berisiko menderita gangguan syaraf bahkan koma seumur hidupnya. Sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah harga diri, perasaan malu dan takut seorang anak SD yang sekarang bahkan tak banyak dimiliki orang-orang dewasa saat ini.

Seperti yang saya lihat di Jakarta beberapa waktu lalu. Di sebuah angkot 06 jurusan Pasar Minggu -Kampung Melayu, seorang pemuda tegap dan sehat, berwajah lumayan, bertopi dan bercelana pendek tiba-tiba masuk ke dalam angkot di tengah kemacetan lalu lintas Jakarta. Sesaat setelah duduk, ia berpidato, mengucapkan beberapa kalimat retoris yang intinya meminta pemakluman para penumpang kenapa dia harus melakukan itu semua. Saya belum makan dari pagi, saya tak bermaksud jahat, lebih baik saya begini daripada saya ngerampok dan berbagai alasan lain yang membuat perut saya sakit mendengarnya. Topinya yang masih bagus dia ulurkan ke arah penumpang, menunggu beberapa receh turun di sana, tak lebih dari 5 jumlahnya. Tanpa tertunduk dia selesaikan pertunjukannya hari itu dengan ucapan "Salam Indonesia" --entah apa maksudnya-- dan meninggalkan angkot begitu saja seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dari balik kaca angkot, saya melihatnya berjalan tenang menerobos antrean kendaraan. Tak nampak dosa di pundaknya. Betapa kasihan dia, demi uang receh yang tak sampai 500 rupiah yang sepiring bubur ayam pun tak bisa ia beli, ia gadaikan rasa malu dan harga dirinya. Dan saya mendapat pelajaran betapa harga sebuah diri bisa berbeda-beda tergantung siapa yang memilikinya dan apa kebutuhannya.

sumber : eramuslim

0 komentar:

Posting Komentar