Jumat, 05 Februari 2016

Catatan Akhir Tahun : Antara Keprihatinan dan Harapan

Libur akhir pekan yang panjang, jelang akhir tahun 2003. KRL ekonomi jurusan Jakarta-Bogor sangat longgar dibanding hari-hari biasa. Seperti hari-hari lainnya, pedagang, pengamen, peminta sumbangan dan pengemis bergantian mendekati penumpang. Tak ada yang aneh. Semua sudah menjadi sesuatu yang lumrah, wajar dalam keseharian warga Jabotabek.

Saya duduk di bangku dekat pintu, di ujung sebuah gerbong sambil membaca buku, menikmati kesiur angin pagi yang meniup lewat jendela. Sesekali saya mengangkat muka, sekedar memperhatikan para penumpang yang naik turun, atau sesekali menikmati alunan musik dari pengamen, dan kadang membeli beberapa pernik kecil seperti peniti dan lem dari pedagang yang berseliweran.

Suatu kali, pandangan saya tertahan oleh sosok yang menyita perhatian. Di ujung lain gerbong yang saya naiki, sesosok balita laki-laki tengah tertatih menggerakkan sapu lidi. Dia bergerak maju dengan jalan jongkok, sebentar-bentar berhenti dan menatap ke sekeliling dengan mata sayu dan memelas. Dan ternyata, bukan saya saja yang tercopet perhatiannya oleh bocah kecil itu. Nyaris semua penumpang memperhatikannya dan mengulurkan receh ke dalam kantong permen yang dia tenteng. Siapa yang tega menyaksikan anak berusiasekitar 4 tahun ‘menyapu’ lantai gerbong demi menghidupi diri? Saya pun juga menyiapkan beberapa keping recehan.

Namun menjelang sampai di hadapan saya, tiba-tiba seorang anak perempuan yang sedari tadi duduk santai di pintu dekat tempat duduk saya, kira-kira seusia anak kelas enam SD, bangkit dan membentak si bocah laki-laki dan mengajaknya pergi. Si balita tergesa-gesa bangun dan membiarkan sampah yang sudah disapunya terserak kembali dan segera menyusul ‘sang kakak’ ke gerbong sebelah. Saya mengikuti mereka dengan pandangan mata saya. Di gerbong sebelah, si perempuan ABG duduk menyender di dinding sambungan antar gerbong sambil asyik menghitung uang yang dikumpulkan si kecil. Tak peduli sekeliling, juga tak peduli dengan ‘adiknya’. Saya pun mengelus dada.

Nyeri! Banyak orang tua (dewasa) yang ‘memberdayakan’ anak-anaknya untuk mendapat penghidupan, tapi sekaligus ‘menjadikan’ seorang remaja putri usia 10 tahun menjadi demikian tidak berperikemanusiaan terhadap ‘adik sendiri’ sungguh membuat miris hati.

Turun di stasiun bogor, kami melanjutkan perjalanan dengan naik angkot menuju tugu kujang. Lagi-lagi, pada rute yang ditempuh dalam 10menit itu dua kali ‘anak jalanan peminta-minta’ menginterupsi perjalanan. Bahkan saat kami berjalan menuju angkot berikutnya, kami pun tak lepas dari peminta-minta anak-anak.

Duhai, kian memar saja dada ini. Di lokasi yang kami tuju, Jalan Bang Barung, tempat warga Tegal Gundil menyelenggarakan sebuah acara akhir tahun, nyeri itu sedikit terobati. Puluhan warga berbaur, meriah sekali, menyelenggarakan kegiatan akhir tahun-menyambut tahun baru yang mereka beri nama “PESTA WARGA di KAMPUNG HALAMAN”. Tahukah anda apa jenis acaranya? Ada kampanye “SAY NO TO DRUGS”, ada obrolan “NO FREE SEX”, ada dialog warga dengan pamong desa, ada diskusi tentang Buku dan Perpustakaan Komunitas, ada pendidikan politik warga dengan mengundang pengurus Partai-partai untuk beraudiensi dengan warga, ada lomba anak-anak, games dan panggung musik alternatif (anak jalanan, slankers hingga tim nasyid). Semuanya dipandegani oleh para remaja kampung tersebut dari berbagai kalangan: ikatan pemuda kampung, kelompok anak jalanan, tongkrongers hingga remaja masjid. Semua bersatu, bersemangat, kompak, mempersembahkan acara yang seakan bicara “Kami, generasi baru Indonesia, dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kami dan masyarakat!”

Haru menyeruak di dada saya, saat seorang pemuda kecil berbaju lusuh, menyanyikan lagu-lagu yang belum familiar di telinga saya, namun sangat indah dari sisi harmoni maupun liriknya. Suaranya yang tinggi, mendayu, menghentak, tidak fals, senada seirama dengan musik yang mengiringi. “Andai saya seorang produser, akan saya ajak dia rekaman”, bisik teman saya.

Pulang dari Tegal Gundil, nyeri kembali merujit-rujit hati. Sepanjang jalur lingkar kebun raya, entah berapa anak jalanan kembali menginterupsi. Di Kebon raya, bahkan banyak yang meminta dengan sedikit maupun sangat memaksa. Bahkan dalam hujan deras menuju stasiun, peminta-minta dan pengamen anak-anak masih terus ada. Sungguh saya terkejut dan bertanya-tanya giris: Bogor memiliki lebih banyak anak jalanan dibanding Jakarta kah?

Hingga dalam perjalanan pulang, dalam KRL yang basah, dalam kondisi kami juga basah, saya masih terus bertanya: Adakah sedemikian parah nasib sebagian besar calon generasi baru ummat dan bangsa ini?

Tahun baru menjelang, saya menyambutnya dengan keprihatinan dan nyeri yang mendalam. Meski, harapan tetap menyalakan lilin di hati. Masih ada, pasti masih ada, calon-calon pengubah wajah negeri, menjadi lebih baik lagi.

sumber : eramuslim

0 komentar:

Posting Komentar