Libur akhir pekan yang panjang, jelang akhir tahun 2003. KRL ekonomi jurusan
Jakarta-Bogor sangat longgar dibanding hari-hari biasa. Seperti hari-hari
lainnya, pedagang, pengamen, peminta sumbangan dan pengemis bergantian mendekati
penumpang. Tak ada yang aneh. Semua sudah menjadi sesuatu yang lumrah, wajar
dalam keseharian warga Jabotabek.
Saya duduk di bangku dekat pintu, di
ujung sebuah gerbong sambil membaca buku, menikmati kesiur angin pagi yang
meniup lewat jendela. Sesekali saya mengangkat muka, sekedar memperhatikan para
penumpang yang naik turun, atau sesekali menikmati alunan musik dari pengamen,
dan kadang membeli beberapa pernik kecil seperti peniti dan lem dari pedagang
yang berseliweran.
Suatu kali, pandangan saya tertahan oleh sosok yang
menyita perhatian. Di ujung lain gerbong yang saya naiki, sesosok balita
laki-laki tengah tertatih menggerakkan sapu lidi. Dia bergerak maju dengan jalan
jongkok, sebentar-bentar berhenti dan menatap ke sekeliling dengan mata sayu dan
memelas. Dan ternyata, bukan saya saja yang tercopet perhatiannya oleh bocah
kecil itu. Nyaris semua penumpang memperhatikannya dan mengulurkan receh ke
dalam kantong permen yang dia tenteng. Siapa yang tega menyaksikan anak
berusiasekitar 4 tahun ‘menyapu’ lantai gerbong demi menghidupi diri? Saya pun
juga menyiapkan beberapa keping recehan.
Namun menjelang sampai di
hadapan saya, tiba-tiba seorang anak perempuan yang sedari tadi duduk santai di
pintu dekat tempat duduk saya, kira-kira seusia anak kelas enam SD, bangkit dan
membentak si bocah laki-laki dan mengajaknya pergi. Si balita tergesa-gesa
bangun dan membiarkan sampah yang sudah disapunya terserak kembali dan segera
menyusul ‘sang kakak’ ke gerbong sebelah. Saya mengikuti mereka dengan pandangan
mata saya. Di gerbong sebelah, si perempuan ABG duduk menyender di dinding
sambungan antar gerbong sambil asyik menghitung uang yang dikumpulkan si kecil.
Tak peduli sekeliling, juga tak peduli dengan ‘adiknya’. Saya pun mengelus
dada.
Nyeri! Banyak orang tua (dewasa) yang ‘memberdayakan’ anak-anaknya
untuk mendapat penghidupan, tapi sekaligus ‘menjadikan’ seorang remaja putri
usia 10 tahun menjadi demikian tidak berperikemanusiaan terhadap ‘adik sendiri’
sungguh membuat miris hati.
Turun di stasiun bogor, kami melanjutkan
perjalanan dengan naik angkot menuju tugu kujang. Lagi-lagi, pada rute yang
ditempuh dalam 10menit itu dua kali ‘anak jalanan peminta-minta’ menginterupsi
perjalanan. Bahkan saat kami berjalan menuju angkot berikutnya, kami pun tak
lepas dari peminta-minta anak-anak.
Duhai, kian memar saja dada ini. Di
lokasi yang kami tuju, Jalan Bang Barung, tempat warga Tegal Gundil
menyelenggarakan sebuah acara akhir tahun, nyeri itu sedikit terobati. Puluhan
warga berbaur, meriah sekali, menyelenggarakan kegiatan akhir tahun-menyambut
tahun baru yang mereka beri nama “PESTA WARGA di KAMPUNG HALAMAN”. Tahukah anda
apa jenis acaranya? Ada kampanye “SAY NO TO DRUGS”, ada obrolan “NO FREE SEX”,
ada dialog warga dengan pamong desa, ada diskusi tentang Buku dan Perpustakaan
Komunitas, ada pendidikan politik warga dengan mengundang pengurus Partai-partai
untuk beraudiensi dengan warga, ada lomba anak-anak, games dan panggung musik
alternatif (anak jalanan, slankers hingga tim nasyid). Semuanya dipandegani oleh
para remaja kampung tersebut dari berbagai kalangan: ikatan pemuda kampung,
kelompok anak jalanan, tongkrongers hingga remaja masjid. Semua bersatu,
bersemangat, kompak, mempersembahkan acara yang seakan bicara “Kami, generasi
baru Indonesia, dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kami dan
masyarakat!”
Haru menyeruak di dada saya, saat seorang pemuda kecil
berbaju lusuh, menyanyikan lagu-lagu yang belum familiar di telinga saya, namun
sangat indah dari sisi harmoni maupun liriknya. Suaranya yang tinggi, mendayu,
menghentak, tidak fals, senada seirama dengan musik yang mengiringi. “Andai saya
seorang produser, akan saya ajak dia rekaman”, bisik teman saya.
Pulang
dari Tegal Gundil, nyeri kembali merujit-rujit hati. Sepanjang jalur lingkar
kebun raya, entah berapa anak jalanan kembali menginterupsi. Di Kebon raya,
bahkan banyak yang meminta dengan sedikit maupun sangat memaksa. Bahkan dalam
hujan deras menuju stasiun, peminta-minta dan pengamen anak-anak masih terus
ada. Sungguh saya terkejut dan bertanya-tanya giris: Bogor memiliki lebih banyak
anak jalanan dibanding Jakarta kah?
Hingga dalam perjalanan pulang, dalam
KRL yang basah, dalam kondisi kami juga basah, saya masih terus bertanya: Adakah
sedemikian parah nasib sebagian besar calon generasi baru ummat dan bangsa
ini?
Tahun baru menjelang, saya menyambutnya dengan keprihatinan dan
nyeri yang mendalam. Meski, harapan tetap menyalakan lilin di hati. Masih ada,
pasti masih ada, calon-calon pengubah wajah negeri, menjadi lebih baik
lagi.
sumber : eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar